Sri Mulyani Dianggap Tak Mampu Curi Kesempatan dari Perang Dagang

Seharusnya perang dagang dijadikan momen kebangkitan industri manufaktur dalam negeri.

oleh Liputan6.com diperbarui 11 Jun 2019, 15:17 WIB
Menkeu Sri Mulyani memberi sambutan saat seremonial pembangunan Kantor Pusat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di Jakarta, Selasa (2/4). Gedung Indonesia Financial Center diperuntukkan bagi OJK dan Kementerian Keuangan. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia menggelar rapat paripurna bersama pemerintah yang diwakili oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani pada Selasa siang ini. Dalam rapat ini muncul pembahasan mengenai perang dagang.

Agenda rapat kali ini yaitu tanggapan pemerintah terhadap pandangan fraksi atas kerangka-kerangka ekonomi makro (KEM) dan pokok-pokok kebijakan fiskal (PPKF) RAPBN Tahun Anggaran (TA) 2020.

Rapat dibuka sekitar pukul 14.02 WIB oleh Anggota Dewan Fraksi Gerindra, Fadli Zon. dalam rapat paripurna ini dhadiri oleh 121 anggota dewan.

Salah satu anggota rapat dari fraksi Gerindra, Bambang Haryo menyampaikan pandangannya terkait kondisi ekonomi global saat ini yakni terkait perang dagang atau trade war antara Amerika Serikat (AS) dengan China. Menurutnya, apa yang selama ini disampaikan oleh pemerintah mengenai dampak trade war adalah tidak benar.

"Selalu menteri kita ini mengatakan ekonomi kita mengalami penurunan akibat dari trade war. Kami tidak sependapat," kata dia, di ruang rapat Paripurna DPR, Jakarta, Selasa (11/6/2019).

Dia menyebutkan, seharusnya perang dagang dijadikan momen kebangkitan industri manufaktur dalam negeri. Namun pada kenyataannya, peluang itu malah berhasil dicuri oleh negara tetangga yaitu Vietnam.

"Banyak sekali industri-industri manufaktur yang tadinya ekspor dari China berpindah ke Vietnam, Kamboja dan Malaysia. Seharusnya Indonesia bisa mendapatkan satu kesempatan atau opportunity ini bisa dimanfaatkan betul oleh pemerintah," ujarnya.

Dia mengungkapkan, industri manufaktur di Vietnam tumbuh hingga 86 persen dan 50 persen diantaranya adalah dampak dari adanya perang dagang.

"Jadi kami tidak sependapat apa yang disampaikan oleh Menteri Keuangan maupun Menko Perekonomian dan di sini juga kami menyampaikan bahwa ekspor Indonesia ke China ini malah lebih besar pada 2012," ujarnya.

Dia mengungkapkan ekspor Indonesia ke China pada 2012 mencapai USD 18,4 M dan pada 2018 sebesar USD 27,13 M. "Jadi China yang dikorbankan oleh Amerika masih mempunyai satu pasar yang bagus sebenarnya untuk Indonesia ke China," tambahnya.

Dia menilai pemerintah tidak jeli memanfaatkan kesempatan untuk memperoleh keuntungan dari adanya perang dagang tersebut. Yang disampaikan selama ini adalah perang dagang membuat pertumbuhan ekonomi melambat.

"Jadi apa yang dikatakan oleh Menkeu itu adalah tidak benar, dan ini sama dengan pembohongan publik terhadap masyarakat ini sama dengan hoax dan kami mohon ini harus diluruskan," tutupnya.

Reporter: Yayu Agustini Rahayu

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Perang Lawan AS, Neraca Dagang China Surplus Rp 592 Triliun di Mei

Perang Dagang China AS

China tampak masih bisa bertahan di tengah panasnya Perang Dagang. Terbukti, ekonomi negaranya berhasil surplus hingga USD 41,6 miliar atau Rp 592 triliun (USD 1 = Rp 14.226).

Capaian itu jauh melewati prediksi para ekonom, yaitu sebesar USD 20,5 miliar (Rp 291,6 triliun). Ekspor juga naik 1,1 persen dibanding Mei tahun lalu dan impor turun 8,5 persen, demikian laporan CNBC.

Surplus dagang China pada bulai Mei juga melesat tinggi dibandingkan bulan April yang sebesar USD 13,8 miliar (Rp 196,3 triliun). Lebih rendahnya surplus dagang pada bulan April karena naiknya impor hingga 4 persen dan ekspor jatuh 2,7 persen. 

Selain itu, surplus dagang China terhadap AS juga makin melebar bulan ini, yakni USD 26,89 miliar (Rp 382,5 triliun). Untuk April surplusnya sebesar USD 21,01 miliar (Rp 298,9 triliun).

Masalah ketidakseimbangan dagang antara kedua negara itulah yang turut menjadi motivasi Presiden Donald Trump untuk melakukan perang tarif dengan China. Tahun lalu, ekspor China ke Amerika Serikat naik jadi 11,3 persen, sementara impornya hanya 0,7 persen.

Meski surplus China naik tajam, analis memperkirakan China tetap terkena pengaruh negatif perang dagang. Data IMF dan Morgan Stanley menurunkan forecast pertumbuhan China akibat kisruh dagang yang terjadi.

Pada sisi lain, data pekerjaan AS bulan Mei yang sedang melemah membuat kedua negara itu berada di posisi yang imbang. Analis ekonomi dan pasar Asia dari City, Johanna Chua, berkata kesepakatan dagang bisa memberi dampak positif bagi AS dan China.

"Untuk sekarang, dari sudut pandang ekonomi, kedua negara itu bisa meraup banyak keuntungan dari sebuah kesepakatan. Tetapi saya pikir dari sisi politik, hal ini makin sulit," ujar Chua.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya