Indonesia Perlu Pengembangan Transportasi Publik

Di luar negeri, tidak ada yang menjadikan sepeda motor sebagai transportasi publik.

oleh Ilyas Istianur Praditya diperbarui 12 Jun 2019, 15:00 WIB
Kendaraan melintas di KM 28 Tol Jakarta - Cikampek, Jawa Barat, Kamis (30/5/2019). Contraflow yang diberlakukan lebih awal dari jadwal diharapkan dapat mencairkan kepadatan Jalan Tol Cikampek terutama menjelang titik-titik rest area kilometer 33, 39, 50 dan 57. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta - Keberadaan transportasi publik nasional dinilai masih perlu pengembangan lebih jauh. Sebab sampai saat ini, belum terlihat moda transportasi yang benar-benar bisa menjadi andalan masyarakat.

Ekonom sekaligus pendiri CORE Indonesia Hendri Saparini mencontohkan, pengembangan transportasi publik seperti fungsi jalan tol yang masih dilalui kendaraan pribadi dan kendaraan logistik.

Dia membandingkan dengan transportasi publik di beberapa negara, di mana jalan tol difokuskan untuk angkutan barang. Sedangkan publik lebih banyak menggunakan moda kereta api.

"Sejujurnya kita selama ini belum membangun transportasi publik. Yang kita punyai sekarang hanyalah transportasi masal. Pemerintah harus pilih moda transportasi mana yang akan dikembangkan. Jalan tol itu ternyata di luar negeri tidak untuk transportasi orang tapi untuk transportasi barang," kata Hendri di Hotel Morissey, Jakarta, Rabu (12/6/2019).

Hendri ikut menyoroti pengembangan transportasi publik berbasis kendaraan roda dua. Karena di luar negeri, tidak ada yang menjadikan sepeda motor sebagai transportasi publik.

"Karena pada mumumnya semakin maju negara maka transportasi publik yang dipilih adalah yang paling aman. Motor itu paling tidak aman di negara lain, makanya mereka punya regulais ketat. Jadi cari SIM mobil sama SIM motor jauh lebih sulit cari SIM motor," tegasnya.

Jika pemerintah ke depan fokus pengembangan transportasi publik, Hendri meyakini era kemacetan saat mudik sudah tak ada lagi.

"Karena mereka mudik sudah tidak lagi menggunakan kendaraan pribadi, sudah naik transportasi publik yang nyaman, tepat waktu, aman itu," pungkasnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Proyek Transportasi Massal Tak Boleh Terhalang Batas Administratif

Warga antre untuk menaiki kereta Moda Raya Terpadu (MRT) pada libur lebaran 2019 di Stasiun MRT Bundaran HI, Jakarta, Kamis (6/6/2019). Libur Hari Raya Idul Fitri dijadikan momen bagi warga Jakarta untuk mencoba MRT, meski sudah tak gratis lagi. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) tengah menyelesaikan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Dalam rancangan tersebut akan tertuang sejumlah target makro ekonomi pemerintah yang hendak dicapai dalam kurun lima tahun ke depan.

Menteri PPN/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro mengatakan, salah satu yang akan menjadi fokus dalam RPJMN tersebut adalah mengenai transportasi publik perkotaan. Di mana, dalam hal ini pemerintah menginginkan agar transportasi massal dapat terkoneksi dengan wilayah-wilayah penyanggah Ibu Kota seperti Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang dan Bekasi (Jabodetabek).

"Pertama soal transportasi RPJMN 2020-2024 paling penting aspek perkotaan. Karena mayoritas penduduk sudah tinggal diperkotaan," kata Bambang di Jakarta, Selasa (23/4/2019). 

Bambang mengatakan ke depan pelayanan transportasi perkotaan tidak bisa terkotak oleh batas administratif. Akan tetapi, harus dilakukan secara terpadu dengan berbasis interaksi dan mobilitas dari penduduk dalam satu wilayah maupun lintas wilayah.

Bambang mencontohkan seperti halnya yang terjadi terhadap pembangunan Moda Raya Terpadu atau MRT. Pada fase pertama, transportasi modern ini hanya berujung dan sampai di Stasiun Lebak Bulus. Padahal mayoritas pengguna kebanyakan masyarakat berasal dari Tanggerang Selatan.

Bambang mengakui pemerintah sendiri menyadari kenapa pembangunan tersebut hanya sampai di Lebak Bulus. Sebab, apabila diteruskan hingga ke Tanggerang, terkendala dengan batas administratif perkotaan. Sementara, anggaran pembiayaan sendiri melalui pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

"Kenapa MRT pertama berhenti di Lebak bulus? Saya kira belum ada jawaban teknis, dan tidak ada. Yang pake MRT banyak dari Ciputat, Serpong. Kenapa berhenti di Lebak Bulus? Itu simpel karena kita mengelola transportasi terkotak berdasarkan wilayah administratif," kata Bambang.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya