Liputan6.com, Jakarta - Tiga nama purnawirawan menjadi sorotan publik terkait peristiwa kelam kerusuhan Jakarta, 21-22 Mei 2019. Dua hari itu, sebagian Ibu Kota, dari Jalan Thamrin hingga kawasan Slipi, mencekam. Sembilan orang jadi korban tewas.
Mereka yang terseret dalam pusaran kasus kerusuhan Jakarta adalah mantan Kepala Staf Kostrad Mayjen (Purn) Kivlan Zen, eks Danjen Kopassus Mayjen (Purn) Soenarko, dan mantan Kapolda Metro Jaya Komjen (Purn) Mohammad Sofjan Jacoeb.
Advertisement
Ketiganya menjadi tersangka kasus dugaan makar dan kepemilikan senjata ilegal. Bahkan keterlibatan mereka dikaitkan dengan kembalinya Tim Mawar yang bubar sejak 1999 lalu -- informasi itu dibantah keras oleh mantan komandannya, Mayjen Purnawirawan Chairawan.
Polisi juga menangkap para tersangka lain, termasuk politikus PPP Habil Marti yang diduga sebagai sosok donatur untuk membeli senjata guna mengeksekusi sejumlah target yang telah ditentukan: empat tokoh nasional dan seorang pimpinan lembaga survei.
Proses hukum masih berlangsung untuk menguak, apakah mereka yang telah ditangkap adalah dalang kerusuhan 21-22 Mei, atau mereka hanya 'wayang' yang dikendalikan pihak lain.
Dugaan ada elite politik yang ikut bermain sempat disuarakan sejumlah pihak. Salah satunya, Wakil Ketua Umum PAN Bara Hasibuan. Ia menduga ada dalang di balik terjadinya kerusuhan Jakarta pada 21-22 Mei lalu. Dalang tersebut sengaja memanfaatkan momen itu untuk kepentingan politiknya.
"Jelas sekali ada mastermind ada orang aktor-aktor intelektual yang mendesain ini semua, memanfaatkan demonstrasi damai minggu lalu itu untuk menyebar teror demi kepentingan politik mereka yang sampai sekarang belum kita tahu. Tapi, jelas itu ada orang kuat yang melakukan pendanaan yang mendesain ini semua," kata Bara di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa 28 Mei 2019.
"Jadi saya minta kepada pihak kepolisian untuk tidak ragu-ragu mengambil tindakan hukum terhadap orang tersebut atau beberapa orang tersebut. Yang bisa saja merupakan bagian dari elite politik," ungkapnya.
Sementara itu, pengamat intelijen, Diyauddin mengaku yakin, ada elite politik yang bermain dalam kerusuhan itu. Terlebih saat itu nuansa Pilpres masih kental terasa.
"Tapi saya ndak berani nyebutinnya. Yakin banget. Dan, ini benar-benar situasi kerusuhan kemarin itu adalah situasi yang di-setting untuk menciptakan situasi 1998, ada chaos dan sebagainya, sampai seolah-olah ini menjadikan pilpres ini deligitimate," kata dia kepada Liputan6.com, Rabu (12/6/2019).
Sementara itu, pengamat politik sekaligus Anggota Dewan Pakar the Habibie Center, Indria Samego mengungkapkan, harus jelas siapa yang dimaksud dengan elite politik yang diduga terkait.
"Kalau misalnya, sebut saja Prabowo, belum tentu," kata dia. Sejauh ini belum ada indikasi yang mengarah bahwa Capres 02 itu bisa dikaitkan dengan kasus kerusuhan dan dugaan makar.
"Atau, mungkin, ini bagian dari elemen-elemen yang mengharapkan Prabowo menang. Sehingga menggunakan cara-cara yang diperkirakan bisa mewujudkan kemenangan, tanpa harus menyampaikan kepada Prabowo," tambah dia.
Apapun, menurut Indria, semua prasangka harus diuji dengan pembuktian yang kuat.
"Menurut saya, belum tentu juga. Curiga boleh, tapi itu bukan hukum. Bukti yang harus dijadikan pegangan," tambah dia.
Jawaban Polisi
Dikonfirmasi, Kabag Penum Divisi Humas Polri, Kombes Asep Adi Saputra belum memberikan jawaban secara pasti terkait adanya dugaan keterlibatan elite politik. Kasus ini, kata dia, masih terus dikembangkan.
"Dugaan keterlibatan kelompok-kelompok tertentu, yang disebutkan salah satu media, juga jadi bagian sumber informasi yang terus didalami penyidik," kata Adi Saputra kepada Liputan6.com, Rabu (12/6/2019).
Namun dia menegaskan, semua itu masih dalam proses penyelidikan. Perlu ada fakta kuat di lapangan untuk membuktikan adanya kelompok tertentu yang ikut bermain dalam kejadian tersebut.
"Kita juga perlu konfirmasi terhadap aspek-aspek lain seperti adanya saksi-saksi, barang bukti, dan lainnya," kata dia.
Adi menegaskan, tak ada niatan Polri untuk mendiskreditkan para purnawirawan. Yang dilakukan Polri murni penegakan hukum yang didasarkan oleh fakta.
"Tidak boleh sebuah asumsi. Kenapa? Karena dalam penegakan hukum ini, ada aspek hak asasi manusia," ujar dia.
Karena itu, lanjut Adi, penjelasan yang sudah disampaikan Polri terkait penegakan hukum kasus kerusuhan Jakarta menjadi bagian upaya pengembangan kasus ini.
"Jadi kalau ada pendapat itu menggiring opini, saya rasa tidak tepat. Fakta hukum menjadi pijakan utama, merupakan bentuk akuntabilitas Polri ke masyaralat. Penegakan hukum berdasarkan aturan yang ada," jelas Adi.
Saksikan Video Menarik Berikut Ini:
Sikap BPN
Sementara itu Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, mengaku prihatin atas kasus yang menjerat tiga purnawirawan. Tudingan terhadap para mantan perwira itu dinilainya salah alamat.
"Para purnawirawan adalah patriot bangsa, ya tidak punya keinginan makar dan pembunuhan terhadap tokoh-tokoh bangsa," ujar Juru Bicara BPN, Andre Rosade saat dihubungi Liputan6.com, Rabu (12/6/2019).
"Agak mustahil lah beliau ingin melakukan makar, tapi mari kita uji di pengadilan saja kita hormati proses hukum," imbuh Politikus Partai Gerindra itu.
Dia menambahkan, BPN mendorong agar ada proses hukum yang berkeadilan dan transparan sehingga dapat diuji kebenarannya di pengadilan.
"Apakah betul atau salah, harapan kami tentu tuduhan itu tidak benar, makanya tentu kami mencoba menghormati proses hukum yang ada dan kami serahkan sepenuhnya kepada pengadilan," ujar dia.
Andre mengungkapkan, pihaknya akan memberikan bantuan hukum kepada para purnawirawan itu. Namun dia tidak menyebut jumlah kuasa hukum yang disiapkan membantu mereka.
"Belum tahu itu, direktorat hukum dan advokasi yang mengurus. Tapi komunikasi sedang berjalan dan berlangsung," ujar dia.
Andre menegaskan, nama-nama purnawirawan yang terseret dalam kasus makar itu bukanlah pengurus BPN. Kendati mereka mendukung Prabowo-Sandiaga di Pilpres 2019.
"Saya rasa enggak ada di struktur, tapi tentu mereka Pak Kivlan, Pak Soenarko, Pak Sofjan Jacoeb mendukung Pak Prabowo," ujarnya.
Saat ditanya soal dugaan keterlibatan elite politik dalam kasus makar tersebut, Andre mengimbau agar semua pihak menunggu hasil penyidikan polisi.
"Kita lihat saja prosesnya seperti apa. Yang jelas, kami menghormati proses penyidikan polisi," kata dia.
Politisi Gerindra itu menegaskan, pihaknya tidak terlibat. "Yang pasti, kami BPN Prabowo-Sandi tidak melakukan hal-hal yang di luar konstitusi. Semua langkah kami adalah konstitusional dan jauh dari hal-hal yang anarkis," tambah dia.
Advertisement
Misteri Dalang Kerusuhan 22 Mei
Markas Besar Polri sebelumnya membeberkan perkembangan penyelidikan dan penyidikan terkait kerusuhan 21-22 Mei 2019.
Dua purnawirawan TNI dan Polri, ratusan perusuh, serta berbagai alat bukti dipaparkan kepada publik. Namun, polisi mengaku masih mencari benang merah dari perjalanan penyidikan kasus ini.
"Tentu kami sedang bekerja merangkai apakah ada benang merah, mengerucut menjadi satu. Tolong doakan," kata Kadiv Humas Polri M Iqbal dalam konferensi pers di Kemenko Polhukam, Selasa 12 Juni 2019.
Iqbal menambahkan, Kapolri Jenderal Tito Karnavian telah membentuk tim, bahkan sub-tim, untuk menuntaskan proses hukum ini. Petunjuk dan alat bukti sudah dikantongi. Pun hubungan dengan massa yang sudah diproses juga sudah digali.
"Tapi belum waktunya kami sampaikan karena memang ini masih dalam proses," ujar Iqbal.
Polri tidak ingin terburu-buru mengungkap itu. Karena khawatir dapat mengganggu jalannya penyidikan.
"Percayakan kepada Polri, tentu di-back up oleh TNI untuk mencari benang merah dari kasus yang kami tangani," ujar Iqbal.
Dalam paparannya, Polri dan TNI membuka perkembangan kasus kepemilikan senjata api yang melibatkan Mayjen (Purn) Soenarko dan Mayjen (Purn) Kivlan Zen. Beberapa keterangan tersangka yang diperintahkan Kivlan dibeberkan melalui video.
Mereka yang diduga menjadi sasaran pembunuhan adalah Menko Polhukam Wiranto, Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan, mantan Kepala BNN Gories Mere, dan Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya.
Polisi juga merinci pembagian duit untuk operasional para eksekutor dan pembelian senjata api pistol dan senapan. Indikasi pertemuan demi pertemuan antara Kivlan dan orang-orang yang dipilih sebagai eksekutor diperlihatkan.
"Mereka bermufakat jahat melakukan pembunuhan berencana empat tokoh nasional dan direktur lembaga survei," tegas Wakil Direskrimum Polda Metro Jaya AKBP Ade Ary.
Tidak berhenti di Kivlan Zen, polisi menguak sumber pendanaan yang diduga berasal di Politikus PPP Habil Marati. Dana sekitar Rp 150 juta itu digunakan untuk membeli senjata guna mengeksekusi target yang telah ditentukan.
"Tersangka HM ini berperan memberikan uang. Jadi uang yang diterima tersangka KZ (Kivlan Zen) berasal dari HM. Maksud tujuan untuk pembelian senjata api," kata Ade Ary.
Selain itu, HM juga diduga memberikan uang sebesar Rp 60 juta untuk tersangka Harry Kurniawan alias Iwan untuk operasional dan memberi senjata api.
Polri juga mengamankan telepon genggam yang diduga sebagai alat komunikasi Kivlan dengan para tersangka permufakatan jahat untuk melakukan pembunuhan.
"Dan print out bank dari tersangka HM," pungkasnya.
Dalam kasus ini, polisi menetapkan delapan tersangka. Mereka dijerat kepemilikan senjata ilegal dan permufakatan membunuh empat tokoh nasional.
Kedelapan tersangka itu adalah Kivlan Zen (KZ), HK alias Iwan, If, Az, TJ, AD, dan politikus PPP Habil Marti.
Sementara dalam kasus kepemilikan senjata api ilegal yang menjerat Mayjen (Purn) Soenarko, terungkap senjata itu merupakan hasil razia Gerakan Aceh Merdeka (GAM) saat ia masih aktif sebagai Pangdam Iskandar Muda 2008-2009.
"Kemudian ada dalam penguasaannya secara tanpa hak sejak 1 September 2011, yaitu pada saat saudara S pensiun dari anggota TNI," kata Kasubdit I Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri, Kombes Daddy Hartadi, dalam konferensi pers di Kemenko Polhukam, Selasa 11 Juni 2019.
Polri menegaskan, senjata api ilegal laras panjang yang dimiliki Soenarko berfungsi dengan baik. Senjata itu bisa mematikan bagi makhluk hidup.
Bantahan Pihak Tersangka
Atas tudingan itu, Tim kuasa hukum Mayjen (Purn) Soenarko, Ferry Firman Nurwahyu menegaskan, kliennya tidak pernah menyelundupkan senjata api. Termasuk tindakan merakit senjata M16 A1 maupun M4 Carbine.
"Tuduhan yang diarahkan kepada Mayjen (Purn) Soenarko yang diberitakan secara luas di media massa merupakan adalah pernyataan yang tidak benar dan menyesatkan serta telah menimbulkan keresahan di masyarakat," kata Ferry di Hotel Atlet Century Park, Jakarta, Jumat 31 Mei 2019.
Dia melanjutkan, Soenarko tak pernah menerima ataupun mencoba memperoleh senjata itu. Apalagi mengangkut dan menyembunyikannya dengan jalur tidak resmi.
"Soenarko tidak pernah mempergunakan atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi, atau sesuatu bahan peledak. Apalagi senjata M16 A1 maupun M4 Carbine," ungkap dia.
Tak hanya itu, Soenarko juga diklaim tidak pernah ikut campur dalam aksi 21-22 Mei sebagaimana yang dituduhkan dalam Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP).
"Mayor Jenderal TNI (Purn) Soenarko, dengan kapasitas yang melekat padanya dengan riwayat militer selama 33 tahun berkarier tidak pernah melanggar hukum maupun tidak pernah dihukum," ucap Firman.