Liputan6.com, Hanoi - Perusahaan asal China diketahui berupaya mengakali aturan tarif yang ditetapkan Amerika Serikat (AS). Taktik yang digunakan adalah memasang label palsu Made in Vietnam pada produk yang mereka buat.
Tujuannya agar produk tersebut tidak terkena tarif tambahan. Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menambah tarif impor barang China yang masuk negaranya yang menyebabkan terjadinya kondisi perang dagang.
Baca Juga
Advertisement
Vietnam pun siap memberantas penipuan tersebut agar negara mereka tidak ikut-ikutan kena masalah. Tetapi, itu diperkirakan tidak akan mudah.
"Ini menjadi permainan kejar-kejaran. Selama ada pihak yang memang berniat mengambil risiko untuk menghindari 25 persen tarif bea, maka (aturan) sulit ditegakan," ujar Managing Partner di firma hukum Baker & McKenzie (Vietnam) Ltd, seperti dikutip Bloomberg.
Pemerintah Vietnam mengaku menemukan paket-paket barang China yang ditulis Made in Vietnam, sebelum ada proses Certificate of Origin (Surat Keterangan Asal). Selain itu, petugas bea cukai AS menemukan ada plywood asal China yang dikirim lewat perusahaan Vietnam.
Analis Bloomberg Intelligence di Singapura berkata praktik memalsukan label demikian relatif kecil. Namun, ekonom berkata pemerintah ASEAN akan bersiap untuk melawan taktik perusahaan China demi melindungi reputasi negara masing-masing.
"Pemerintah ASEAN kemungkinan beasr akan menumpas pengalihan rute (re-routing) itu, sebab mereka takut dianggap sebagai pintu belakang," ujar Chua Hak Bin, Ekonom Senior Maybank Kim Eng Research Pte di Singapura.
Sejak perang dagang dimulai, Vietnam mengalami lonjakan pengiriman barang ke AS. Ini dipengaruhi karena banyak perusahaan yang memindahkan pabrik mereka dari China ke Vietnam.
Pada kuartal pertama 2019, barang impor Vietnam yang masuk AS naik 40 persen ketimbang periode sama tahun lalu. Sementara, impor China turun 13,9 persen.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Ekonomi RI Bakal Hanya Tumbuh 5 Persen Imbas Perang Dagang
Situasi perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China kini kian memanas. Hal ini turut berdampak terhadap kegiatan ekonomi negara-negara dunia lainnya, termasuk Indonesia.
Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) bahkan memperkirakan, gejolak perang dagang bisa membuat pertumbuhan ekonomi RI meleset dari target yang telah ditetapkan dalam Rancangan APBN (RAPBN) 2020 sebesar 5,3 persen, yakni hanya bergerak di angka 5 persen.
Ekonom INDEF, Bhima Yudhistira mengatakan, perang dagang AS-China memiliki dampak cukup besar yang mempengaruhi kinerja ekspor komoditas perkebunan, tambang dan energi. Pergerakan harga komoditas juga masih terpantau rendah lantaran perang dagang turunkan permintaan.
"Ini masalah serius dan bisa ciptakan kiamat bagi neraca dagang kita. Sampai bulan April 2019, total ekspor migas dan non-migas sudah turun -9.39 persen dibanding periode yang sama tahun lalu," ujar dia kepada Liputan6.com, Kamis (13/6/2019).
Di sisi investasi, dia menambahkan, eskalasi perang dagang turut menambah risiko berinvestasi di negara berkembang, termasuk Indonesia.
"Kita bisa cek data BKPM menunjukkan, realisasi investasi asingnya anjlok cukup dalam selama 2018. Apalagi trade war berlanjut hingga 2020," keluh dia.
Berdasarkan faktor-faktor tersebut, Bhima beranggapan, itu dapat membuat pertumbuhan ekonomi negara pada 2019 tertahan di angka 5 persen.
Dia pun mewanti-wanti eskportir Indonesia yang dapat terkena imbas pencabutan fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) oleh AS.
"Maka dari itu, INDEF prediksi pertumbuhan ekonomi tahun ini mentok di 5 persen atau dibawah asumsi makro APBN 5.3 persen. Kita harus bersiap hadapi situasi terburuk karena perang dagang ternyata tidak hanya menyasar China, tapi juga Meksiko, India dan Turki," imbuhnya.
"Bukan tidak mungkin Trump akan sasar Indonesia dengan revisi fasilitas GSP (Generalized System of Preferences) yang selama ini eksportir indonesia nikmati," dia menandaskan.
Advertisement
Menkeu: RI Waspadai Risiko Ekonomi Global yang Semakin Nyata
Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyatakan Indonesia harus semakin mewaspadai gejolak ekonomi global. Hal ini akibat adanya perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China yang tak kunjung usai.
Dalam pertemuan antar menteri keuangan negara-negara G20 di Fukuoka, Jepang, Sabtu kemarin, Sri Mulyani menyatakan jika ketegangan antar negara anggota G20 masih terasa, khususnya antara AS dan China.
"Kemarin pertemuan G20 di Fukuoka Jepang, harapannya dengan pertemuan ini sebelum pertemuan tingkat leaders di Osaka pada akhir bulan ini diharapkan akan ada jembatan antara Amerika, China dan negara-negara lain. Tapi kalau kita lihat suasananya memang masih terasa bahwa posisi belum berubah. Dalam artian ketegangan internasional dari sisi retorika maupun action-nya masih sama. Bahkan ada kecenderungan lebih bold," ujar dia di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa, 11 Juni 2019.
Menurut Sri Mulyani, selama ini China ingin agar masalah perang dagang ini dilakukan secara multilateral sesuai dengan kerangka yang telah ada. Namun, AS lebih berharap masalah tersebut diselesaikan secara bilateral.
"Kemudian harapan-harapan di antara kedua belah pihak untuk saling adanya temuan dari sisi pemikiran policy-nya masih cukup jauh. China masih menganggap mereka melakukan apa yang telah diminta selama ini, tetapi dari AS menganggap itu belum cukup. Sehingga kita melihat dalam keseluruhan G20 ini risiko global itu terealisir (nyata)," ungkap dia.
Akibat ketegangan yang terjadi ini, lanjut Sri Mulyani, pertumbuhan ekonomi global di tahun ini diperkirakan akan mengalami perlambatan. Hal tersebut seperti apa yang telah diproyeksikan oleh lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia.
"Makanya IMF, OECD, World Bank, mengatakan dengan adanya risiko down site risk yang terealisir ini proyeksi output tahun ini menurun. Kalau di IMF 3,3 persen, sudah 0,5 persen lebih rendah dari original projection 2019. World Bank juga sama," kata dia.