Di Sidang MK, Tim Prabowo Sebut Pemerintahan Jokowi Neo-Orde Baru

Tim hukum Prabowo membandingkan gaya kepemimpinan Jokowi dengan era orde baru Soeharto.

oleh Nafiysul Qodar diperbarui 14 Jun 2019, 11:50 WIB
Tim kuasa hukum paslon 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno selaku pemohon mengikuti sidang perdana sengketa Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Jumat (14/6/2019). Sidang perdana tersebut memiliki agenda pembacaan materi gugatan dari pemohon. (Lputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Tim hukum BPN Prabowo-Sandi membacakan dalil permohonan Perkara Hasil Pemilihan Umum (PHPU) pada sidang sengketa Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam sidang pendahuluan ini, BPN menyinggung gaya pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi.

Mulanya tim hukum Prabowo-Sandi yang diwakili Teuku Nasrullah menyinggung tingginya potensi kecurangan yang dilakukan oleh calon petahana, salah satunya dengan menyalahgunakan kekuasaannya. Dia kemudian membandingkan gaya kepemimpinan Jokowi dengan era Soeharto.

"Gaya otoriter orde baru. Lebih jauh, potensi kecurangan pemilu yang dilakukan presiden petahana akan lebih kuat terjadi kalau karakteristik pemerintahan yang dibangunnya adalah pemerintahan yang cenderung otoriter, yang untuk di Indonesia salah satu contohnya adalah di era orde baru," ujar Nasrullah di sidang MK, Jakarta Pusat, Jumat (14/6/2019).

"Berkait dengan pemerintahan yang otoriter dan orde baru itu, melihat cara memerintah Presiden Joko Widodo, telah muncul pendapat bahwa pemerintahannya adalah neo-orde baru," sambungnya.

Cap itu diberikan kepada pemerintahan Jokowi karena beberapa faktor, antara lain korupsi yang masih masif dan pemerintahan yang represif kepada masyarakat sipil.

Sebutan neo-orde baru yang disematkan kepada pemerintahan Jokowi, dikutip tim hukum Prabowo dari pendapat Guru Besar Hukum dan Indonesianis dari Melbourne University Law School, Tim Lindsey.

"Dalam artikelnya berjudul, “Jokowi in Indonesia’s ‘Neo-New Order’” Profesor Tim berpendapat dengan pengaturan sistem politik yang masih buruk, maka pemenang pemilu akan cenderung bertindak koruptif untuk mengembalikan biaya politiknya yang sangat mahal," ucap Nasrullah membaca dalilnya.

Beberapa sifat otoritarian yang muncul dalam pemerintahan Jokowi, kata Nasrullah, dianggap sebagai pola orde baru, seperti tindakan represif kepada kelompok masyarakat yang kritis dan para aktivis antikorupsi.

"Lebih jauh, Profesor Tim berpandangan, untuk menyenangkan kelompok pemodal (oligarki), maka Presiden Jokowi akan mengambil langkah keras kepada kelompok Islam, pilihan kebijakan yang akan membatasi kebebasan berpendapat, dan membuatnya berhadapan dengan kelompok masyarakat sipil," tuturnya.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:


Pandangan Kandidat Doktor dari Australia

Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman didampingi sejumlah Hakim Konstitusi memimpin sidang perdana sengketa Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Jumat (14/6/2019). Sidang itu memiliki agenda pembacaan materi gugatan dari pemohon. (Lputan6.com/Johan Tallo)

Tim hukum Prabowo juga mengutip pandangan Tom Power, kandidat doktor dari Australian National University yang risetnya tentang politik Indonesia. Dia menyebut pemerintahan Jokowi mempunyai gaya pendekatan otoritarian seperti orde baru.

"Dalam makalahnya di konferensi tahunan “Indonesia Update” di Canberra, Australia, pada September 2018, 14 Tom Power menyoroti bahwa hukum kembali digunakan oleh pemerintahan Jokowi untuk menyerang dan melemahkan lawan politik. Proteksi hukum juga ditawarkan sebagai barter kepada politisi yang mempunyai masalah hukum," kata Nasrullah.

"Hal lain, adalah menguatnya lagi pemikiran dwi fungsi militer. Hal-hal tersebut bagi Tom Power adalah beberapa karakteristik otoritarian orde baru yang diadopsi oleh pemerintahan Jokowi," sambungnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya