Liputan6.com, Washington DC - Beberapa pengamat mengatakan bahwa serangkaian aksi protes di Hong Kong dalam sepekan terakhir, berpotensi menjadi sandungan lain dalam ketegangan perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China.
Dikutip dari South China Morning Post pada Jumat (14/6/2019), risiko itu bisa terjadi jika Presiden AS Donald Trump menyinggung aksi protes Hong Kong saat bertemu timpalannya dari China, Xi Jinping, pada KTT G-20, akhir Juni nanti.
Aksi protes di Hong Kong menyasar sebuah rancangan undang-undang (RUU), di mana memungkinkan ekstradisi sepihak dari wilayah bekas koloni Inggris itu ke China daratan.
Baca Juga
Advertisement
Menurut Shi Yinhong, direktur Pusat Studi Amerika di Renmin University di Beijing, jika Trump akan mengangkat isu Hong Kong di hadapan Xi, dia mungkin tidak akan mengambil tindakan dalam waktu dekat.
"Trump suka berbicara, tetapi itu tidak berarti bahwa akan ada tindakan nyata," kata Shi.
Sementara itu, pada hari Selasa, Ketua DPR AS Nancy Pelosi mengatakan bahwa jika RUU ekstradisi disahkan, Kongres harus menilai kembali apakah Hong Kong memiliki "otonomi yang memadai".
Sehari setelahnya, Donald Trump ikut berkomentar di tengah pertemuannya dengan Presiden Polandia Andrzej Duda di Gedung Putih, dengan mengatakan bahwa kdia mengerti "alasan demonstrasi" merebak di Hong Kong.
Tetapi, Trump melanjutkan dengan berkata: "Saya yakin mereka (demonstran Hong Kong) akan bisa menyelesaikannya dengan China."
Turut Menyinggung Isu HAM dan Demokrasi
Selain menyinggung tentang aksi protes di Hong Kong, DPR AS juga membahas tentang antisipasi terhadap kemungkinan perubahan terbaru pada Undang-Undang Hak Asasi Manusia dan Demokrasi, yang dituding akan "menekan kebebasan mendasar" di pusat keuangan Asia itu.
Namun, menurut Shi, sementara kebijakan antisipatif tersebut membutuhkan waktu untuk lolos di Kongres AS, Trump masih bisa menggunakan perintah eksekutif untuk menjatuhkan sanksi dengan "efek jangka panjang" yang lebih besar pada masa depan Hong Kong.
RUU Hak Asasi Manusia dan Demokrasi Hong Kong pertama kali diusulkan pada 2015 dan direvisi dua tahun kemudian, setelah hilangnya lima penjual buku anti-Tiongkok di distrik Causeway Bay, yang kemudian dilaporkan muncul kembali di China daratan.
Ditambahkan oleh Shi, jika RUU ekstradisi disahkan, maka hal itu berisiko mengubah Undang-Undang Kebijakan AS-Hong Kong yang diteken pada 1992 silam, di mana Washington terus memperlakukan perdagangan secara terpisah dari China daratan, menyusul penyerahan kembali wilayah koloni tersebut dari Kerajaan Inggris pada tahun 1997.
Sebagai gantinya, dibutuhkan masukan dari Kementerian Luar Negeri AS untuk memberikan sertifikasi tahunan kepada Kongres, apakah Hong Kong "cukup otonom" untuk membenarkan perlakuan terpisah dari China.
Advertisement
Menebak Sikap Trump Terkait Aksi Protes Hong Kong
Wang Yiwei, seorang profesor hubungan internasional di Renmin University, menambahkan tentang kemungkinan adanya unsur-unsur di Kongres AS, yang akan berselisih tentang hukum ekstradisi dan HAM untuk alasan ideologis.
"Tetapi saya tidak berpikir Trump tertarik pada topik ini," ujar Wang.
"Tentu saja ini adalah kartu yang bisa dia gunakan melawan Beijing. Dan ketika dia memulai kampanye pemilihannya kembali, dia harus mengatakan sesuatu tentang hal itu untuk menarik perhatian khalayak tertentu," lanjutnya.
Menurut Wang, Trump tampak menginginkan kesepakatan dengan China sebagai prestasinya, dan dia ingin berbicara dengan Xi Jinping di G-20.
"China tidak akan mundur dalam urusan internal dan kedaulatan. Memainkan kartu ini tidak akan membantu dalam mencapai kesepakatan," tambah Wang mengingatkan.
Terlepas dari meningkatnya kekhawatiran internasional, juru bicara kementerian luar negeri China, Geng Shuang, mengatakan pada hari Kamis bahwa Beijing "akan terus mendukung dengan tegas" pemerintah Hong Kong.
China juga menegaskan pihaknya menentang segala campur tangan eksternal dalam apa yang dianggap Beijing sebagai urusan dalam negerinya.
Shuang juga mengatakan tidak perlu khawatir tentang perkembangan Hong Kong di masa depan.
Baca Juga
Tanggapan Budayawan Sugi Lanus Tentang Rencana Prabowo Jadikan Bali The New Singapore dan Hong Kong: Pariwisata Bali Tidak Korbankan Alam
4 November 1993: Pesawat Boeing 747-400 China Airlines Tergelincir ke Pelabuhan Victoria Hong Kong Saat Mendarat
Badai Topan Kong-rey Hantam Taiwan, 300 Penerbangan Internasional Dibatalkan