Liputan6.com, Jakarta - Sebuah pertunjukan musik-teater kelas dunia I La Galigo akan kembali hadir di Jakarta, setelah mengelilingi 9 negara. Pertunjukan ini terinspirasi sastra klasik Sulawesi Selatan, Sureq Galigo, ini akan digelar pada 3,5,6, dan 7 Juli 2019 di Ciputra Artpreneur Theater, Jakarta.
Naskah pentas ini diadaptasi dari Sureq Galigo, sebuah wiracerita mitos penciptaan suku Bugis yang diabadikan lewat tradisi lisan dan naskah-naskah. Setelah itu, dituliskan dalam bentuk syair menggunakan bahasa Bugis dan huruf Bugis Kuno.
Baca Juga
Advertisement
Petualangan, perjalanan, peperangan, kisah cinta terlarang, pernikahan yang rumit, serta pengkhianatan tercakup dalam Sureq Galigo. Semua elemen ini dirangkai menjadi sebuah cerita kaya yang sangat menarik, dinamis, dan memiliki benang merah terkait kehidupan di dunia modern saat ini.
Para pemain I La Galigo bertutur lewat tari dan gerak tubuh. Soundscape dan penataan musik gubahan maestro musik Rahayu Supanggah di bawah penyutradaraan salah satu sutradara teater kontemporer terbaik di dunia, Robert Wilson, pun menambah kemegahan dan kekayaan, serta keistimewaan pentas seni ini.
Selain memperkaya pertunjukan, musik spektakuler ini juga menciptakan ekspresi yang lebih dramatis. Maestro musik Rahayu Supanggah bahkan menggunakan 70 instrumen musik tradisional dari Sulawesi, Jawa, dan Bali. Ke-70 instrumen musik tersebut kemudian dimainkan oleh 12 musisi untuk mengiringi pertunjukan ini. Sebelum musik dibuat tim I La Galigo melakukan riset untuk menciptakan iringan musik teater ini kian apik.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Pujian dari Berbagai Kota di Dunia
Sebenarnya, tak mudah mengumpulkan Sureq Galigo yang tercerai-berai, tersebar di Indonesia dan luar negeri. Di Tanah Air sendiri, kitab ini pun tidak berada di satu tempat, sebagian dimiliki kolektor-kolektor pribadi, ada juga yang berada di museum.
Ketika sudah berhasil mendapatkan 'izin' adat yang cukup panjang dan bertahap-tahap, naskah I La Galigo kemudian berhasil ditulis. Namun, perjalanan mempelajari naskah ini pun tak mudah karena membutuhkan waktu 3 tahun hingga akhirnya melakukan pementasan pertama I La Galigo pada 2004, di Esplanade, Singapura.
"Mulai dari 2001 kamu mempelajari naskah tua yang digarap sakral dalam budaya Bugis tersebut, sekaligus mendalami budaya Sulawesi Selatan. Setelah 3 tahun, akhirnya pada 2004 kami melakukan pementasan pertama I La Galigo," cerita Restu I. Kusumaningrum, Ketua Yayasan Bali Purnati dan Direktur Artistik I La Galigo.
Sukses di Singapura, lakon ini terus mendapat pujian saat digelar di berbagai kota besar di dunia, seperti Lincoln Center Festival di New York, Het Muziekhtheater di Amsterdam, Forum Universal de les Cultures di Barcelona, Les Nuits de Fourviere, di Prancis, Ravenna Festival di Italia, dan masih banyak lagi. I La Galigo akhirnya kembali hadir di Jakarta pada Juli nanti (Karla Farhana/Fimela.com)
Advertisement