Liputan6.com, Hong Kong - Pemerintah Hong Kong dikabarkan akan segera menunda pengesahan amandemen RUU Ekstradisi yang selama ini menuai penolakan massal dari ratusan ribu warga lokal --menurut laporan media setempat.
Sebelumnya, Kepala Eksekutif Hong Kong, Carrie Lam telah menolak untuk membatalkan pengesahan RUU Fugitive Offenders and Mutual Legal Assistance in Criminal Matters Legislation (Amendment) Bill 2019 meski kritik mengalir deras.
Namun, menyusul demonstrasi besar-besaran dalam beberapa hari terakhir, sejumlah penasihat pemimpin Hong Kong itu telah mendesak penangguhan amandemen RUU, menurut berbagai laporan media lokal seperti dilansir BBC, Sabtu (15/6/2019).
Baca Juga
Advertisement
Lam diperkirakan akan mengadakan konferensi pers pada Sabtu sore terkait rencana pengumuman itu.
Amandemen RUU itu telah menuai pro dan kritik di kalangan pemerintahan dan warga.
Pemerintah berargumen amandemen RUU ekstradisi yang diusulkan akan "menyumbat celah" sehingga kota itu tidak akan menjadi surga yang aman bagi para penjahat dan buron internasional.
Tetapi, para kritikus mengatakan amandemen RUU akan memungkinkan orang-orang di Hong Kong dipindahkan sistem peradilan Tiongkok yang mereka nilai cacat dan mengarah pada erosi lebih lanjut terhadap independensi peradilan kota.
Hong Kong adalah bekas koloni Inggris, tetapi dikembalikan ke pemerintahan China pada tahun 1997 di bawah sistem "satu negara, dua sistem". Kesepakatan itu juga mewajibkan Tiongkok untuk menjamin tingkat otonomi kepada Hong Kong.
Simak video pilihan berikut:
Memungkinkan China Mengajukan Ekstradisi
Amandemen RUU itu akan memungkinkan permintaan ekstradisi kriminal dari pihak berwenang di China daratan, Taiwan dan Makau - diputuskan berdasarkan kasus per kasus oleh pengadilan Hong Kong.
Itu terjadi setelah kasus besar di mana seorang pria Hong Kong dituduh membunuh pacarnya pada hari libur di Taiwan tetapi tidak dapat diekstradisi.
Pejabat Hong Kong, termasuk Carrie Lam, mengatakan RUU itu diperlukan untuk melindungi dan mencegah kota sebagai surga pelarian para penjahat.
Tetapi banyak yang takut hukum itu bisa digunakan untuk menargetkan lawan politik negara China.
Aktivis oposisi juga mengutip dugaan penggunaan penyiksaan, penahanan sewenang-wenang dan pengakuan paksa di China daratan.
Advertisement
Demonstran Mendapat Dukungan Global
Bentrok antara puluhan ribu pengunjuk rasa dan polisi Hong Kong menyita perhatian komunitas internasional. Beberapa pemimpin dunia bahkan menyerukan agar hak pemrotes dihormati.
Sehari sebelumnya, pada Rabu 12 Juni, polisi menggunakan peluru karet, pentungan, dan gas air mata untuk memukul mundur barisan pengunjuk rasa di jalan-jalan utama Hong Kong.
Di lain pihak, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengtaakan di Gedung Putih bahwa dia yakin China dan Hong Kong dapat menyelesaikan konflik terkait dengan damai.
"Saya mengerti alasan demonstrasi itu, tetapi saya yakin mereka akan bisa menyelesaikannya," ungkap Trump tanpa merinci bagaimana cara penyelesaian yang dimaksudnya.
Sementara itu, sebagaimana dikutip dari The Guardian pada Kamis (13/6/2019), para demonstran bersumpah tidak akan mundur memperjuangkan tuntutan mereka agar RUU ekstradisi --yang akan memperketat cengkeraman China di wilayah semi-otonom-- dihapuskan.