Liputan6.com, Khartoum - Satu unit pasukan keamanan Sudan dituduh memperkosa sejumlah perempuan ketika mereka membubarkan paksa para demonstran pro-demokrasi yang berkemah di luar markas militer 12 hari yang lalu, saksi mata mengatakan kepada BBC.
Demonstrasi itu merupakan bagian dari tekanan masyarakat yang mendesak dewan militer Sudan segera melakukan transisi kekuasaan kepada sipil, menyusul kudeta tentara terhadap Presiden Omar al-Bashir pada April 2019 lalu.
Militer menyangkal tuduhan pemerkosaan itu. Dewan Militer Transisi, yang sekarang mengakui telah memerintahkan tindakan keras kepada demonstran, membantah tuduhan kekerasan seksual.
Baca Juga
Advertisement
"Informasi palsu yang disebarkan kepada orang-orang kami dan seluruh dunia dirancang untuk menyesatkan," kata juru bicara Letjen Shams el-Din Kabashi.
Tetapi seorang saksi mata bernama samaran 'Khalid' di lokasi kejadian mengatakan tentang kekerasan seksual yang ia saksikan pada hari penumpasan brutal terhadap demonstran, demikian seperti dilansir BBC, Sabtu (15/6/2019).
Pria itu menjelaskan bahwa apa yang ia saksikan terjadi di tengah kekacauan besar pada 3 Juni 2019, ketika tentara membubarkan protes duduk (sit-in) di luar markas militer di ibukota, Khartoum, yang membentang ke kampus Universitas Khartoum dan utara ke Sungai Nil.
Ketika penembakan dimulai tak lama setelah sholat subuh, ia berlari mencari perlindungan dengan pengunjuk rasa lain ke sebuah gedung di dekatnya.
Tetapi saat dua pemuda yang ketakutan bersembunyi di sebuah kamar di lantai atas dari kekacauan di luar, mereka mendengar teriakan dan merangkak keluar untuk mengintip menuruni tangga untuk melihat apa yang sedang terjadi.
"Kami melihat enam tentara yang memperkosa dua gadis," katanya kepada BBC di Sudan.
Simak video pilihan berikut:
Pria Juga Hampir Menjadi Korban Kekerasan Seksual
Khalid dan temannya mencoba mengintervensi para tentara yang memperkosa kedua perempuan itu dengan meneriakkan "pergi, pergi". Para personel bersenjata, bagian dari Pasukan Gerak Cepat Sudan (RSF), yang dikenal bernama Janjaweed, merespons dengan menembaki mereka.
Ketika mereka berhasil mendekat, para tentara telah melarikan diri. Di lokasi tersebut, Khalid menemukan dua perempuan yang putus asa.
"Gadis-gadis itu tidak mengatakan apa-apa. Mereka hanya menangis dan menjerit, menangis dan menjerit, menangis dan menjerit. Aku berusaha menenangkan mereka," kata Khalid.
"Aku mencoba membuat mereka merasa lebih baik, tetapi mereka tidak berhenti berteriak."
Mereka memutuskan untuk membawa para perempuan itu ke sebuah masjid di mana mereka akan lebih aman dan dirawat --dan dua pria kemudian mencoba untuk melihat apakah mereka dapat melarikan diri dari daerah itu, di mana letupan gas air mata dan penembakan berlanjut.
Ketika mereka meninggalkan masjid, Khalid ditangkap oleh sekelompok Janjaweed dan akhirnya menemukan dirinya berhadapan dengan salah satu dari enam orang yang sebelumnya telah memperkosa para wanita.
"Dia mendorongku ke lantai dan mengeluarkan sepotong baja panjang," kata Khalid, menjelaskan bahwa dia kembali ke gedung tempat perkosaan lain terjadi, di kantor lantai atas.
"Mereka mencoba membuka pakaian saya dan mencoba memperkosa saya. Saya berteriak-teriak di sekitar untuk membuat siapa pun datang.
"Setelah tiga atau empat menit, tembakan mulai terjadi di bawah kita. Mereka melihat-lihat kantor dan berkata, 'Lebih baik kita keluar.'"
Khalid lalu memanfaatkan kesempatan untuk berlari dan berhasil melarikan diri meskipun dia dipukuli oleh Janjaweed beberapa kali dalam perjalanan pulang.
Advertisement
Kesaksian Lain
Saksi lain, seorang pengemudi ambulans yang meminta untuk tidak disebutkan namanya, mengatakan kepada BBC bahwa ia melihat para pejuang berdebat tentang siapa yang akan memperkosa seorang perempuan.
Dia dibawa oleh petugas medis ke ambulans ketika tentara mulai memperebutkannya: "Mereka meraba-rabanya, mereka berdebat tentang siapa yang mendapatkannya."
Setelah itu ketika para pria bersenjata telah pergi, dia dan rekan-rekannya bergegas untuk membantu perempuan itu dan menemukan bahwa dia sudah mati.
"Kami menemukan bahwa gadis itu sudah mati sejak awal. Tapi mereka tetap tidak membiarkannya."
Aktivis: Pemerkosaan Sebagai Senjata Penumpasan Revolusi
Sulaima Ishaq Sharif, yang mengepalai pusat trauma di Universitas Afhad, mengatakan bahwa kesaksian tersebut tidak mengejutkan.
Dia mengatakan dia dan rekan-rekannya memperlakukan 12 perempuan yang diperkosa pada 3 Juni, melakukan kunjungan rumah atau berbicara kepada mereka di telepon, dan dia percaya jumlah korban kemungkinan akan lebih tinggi karena banyak perkosaan belum dilaporkan karena rasa malu yang terkait dengan itu dan ketakutan akan stigmatisasi.
Berkenaan dengan pemerkosaan, Sharif percaya ini bukan tentang jenis kelamin: "Ini semua tentang degradasi, penghinaan dan pemukulan semangat. Ini adalah bagian dari apa yang mereka lakukan di Darfur - mereka melakukannya sebagai sarana, senjata perang .
"Sekarang ini adalah senjata untuk membunuh revolusi."
Khalid setuju bahwa cedera psikologis lebih sulit diatasi daripada cedera fisik.
"Bahkan di rumah saya berteriak, saya menangis sendirian," katanya, menambahkan bahwa konseling bukanlah pilihan ketika Janjaweed terus mengisi jalan-jalan.
"Setiap kali kamu melihat mereka, kamu mendapatkan kembali semua kenangan dari setiap hal yang pernah kamu lihat tentang mereka."
Namun dia mengatakan penting bagi orang untuk berbicara tentang apa yang telah mereka lihat: "Seluruh dunia harus tahu apa yang sebenarnya terjadi di sana."
Advertisement