Liputan6.com, Jakarta Indonesia tengah menantikan uji coba vaksin yang akan diterbangkan menggunakan drone ke pelosok desa terpencil di Sulawesi Selatan. Saat ini pemerintah sedang melakukan kajian independen mengenai manfaat ekonomi, sosial, dan keamanan nasional terkait rencana operasionalisasi drone. Proses panjang uji coba drone optimis akan segera dilakukan.
Ahli Sistem Kesehatan Zipline Indonesia, Udin Malik memaparkan, teknologi drone tidak hanya mengirimkan vaksin saja. Namun, mampu membawa kantong kebutuhan darah dan bantuan medis lainnya ke daerah-daerah terpencil.
Baca Juga
Advertisement
Seluruh jenis vaksin, seperti vaksin hepatitis B, polio, campak, dan BCG untuk mencegah tuberkulosis dapat dibawa menggunakan drone. Ini juga termasuk vaksin yang mengandung mikroba hidup yang dilemahkan (live attenuated vaccine).
“Dalam satu kali pengiriman, satu perangkat drone dapat membawa sekitar 40 botol vaksin atau setara dengan 1,8 kilogram muatan. Drone juga dapat melaju dengan kecepatan 110 kilometer per jam dan mampu menempuh perjalanan bolak-balik berjarak 160 kilometer dalam cuaca apa pun,” papar Udin kepada Health Liputan6.com melalui wawancara tertulis, ditulis Senin (17/6/2019).
Drone ditempatkan di sebuah terminal distribusi (distribution center) untuk tempat lepas landas dan mendarat sehingga tidak membutuhkan infrastruktur tambahan di klinik kesehatan atau pusat layanan kesehatan, seperti puskesmas. Vaksin yang akan dibawa di setiap terminal drone akan diterbangkan ke area seluas 20.000 km.
“Pengiriman vaksin dilakukan lewat perjalanan udara. Ketika mendekati lokasi tujuan, drone akan turun pada ketinggian aman untuk melepaskan paket pengiriman. Pelepasan paket vaksin menggunakan parasut yang menyasar ke tempat yang ditunjuk, yakni pusat layanan kesehatan yang dilayaninya,” lanjut Udin
Simak Video Menarik Berikut Ini:
Direndam di Air Sungai
Tantangan membawa vaksin dengan drone perlu persiapan matang demi menjaga kualitas vaksin. Kualitas vaksin harus mampu dipertahankan agar kinerja vaksin untuk melindungi tubuh dari penyakit dapat bekerja maksimal. Kunci menjaga kualitas vaksin harus sesuai manajemen rantai dingin (cold chain).
Manajemen rantai dingin terkait dengan indeks mutu vaksin, yang mana vaksin harus disimpan dalam suhu tertentu selama beberapa waktu. Mekanisme ini mensyaratkan pendistribusian vaksin dengan pola dan waktu yang rapi demi menjaga suhu dan kualitasnya.
Vaksin yang telah dibawa sampai ke lokasi tujuan harus disimpan dalam tempat penyimpanan khusus vaksin. Kepala Puskesmas Seko Sulsel, Frans Karrai sangat menantikan kiriman vaksin menggunakan drone. Ini karena pengiriman vaksin yang selama ini dilakukan melalui perjalanan darat penuh kendala.
Frans bercerita, setiap kabupaten memiliki tempat penyimpanan vaksin yang terletak di puskesmas. Di sana, petugas layanan kesehatan perlu memastikan kualitasnya terus terjaga hingga vaksin tersebut disuntikkan ke anak.
“Untuk menjaga kestabilan suhu vaksin, saat menempuh perjalanan darat menggunakan motor yang bisa memakan waktu selama 4-6 jam, vaccine carrier (tempat penyimpanan vaksin) kami rendam ke dalam sungai yang dingin selama 5-10 menit,” ujar Frans dalam keterangan rilis.
Merendam tempat penyimpanan vaksin ke dalam air sungai, ungkap Udin, juga salah satu cara yang dilakukan oleh petugas kesehatan puskesmas di Kecamatan Rampi, Kabupaten Luwu Utara untuk menjaga kualitas vaksin. Mereka pun harus menempuh perjalanan selama 4-5 jam untuk dapat menjangkau desa terjauh dan membawa vaksin yang dibutuhkan untuk imunisasi.
Advertisement
Risiko Kualitas Vaksin Turun
Vaksin biasanya dimasukkan ke dalam vaccine carrier yang telah dilengkapi dengan cool pack dan gel dan dibawa dengan menggunakan sepeda motor. Air sungai diharapkan dapat mendinginkan vaksin yang ada di dalam tempat penyimpanan. Namun, risiko yang mungkin terjadi adalah ketidaksabilan suhu air sungai.
“Jika vaksin direndam pada suhu di atas 8 derajat Celsius, kualitas vaksin akan menurun dan bisa rusak,” Udin melanjutkan.
Proses selanjutnya, saat vaksin tiba di puskesmas lewat jalur darat, petugas layanan kesehatan menggunakan pelepah pisang untuk membungkus setiap botol vaksin. Pelepah pisang berfungsi menjaga suhu vaksin selama pelayanan imunisasi berlangsung, lanjut Frans Karrai.
Para petugas kesehatan di Sulses percaya bahwa pelepah pisang mengandung kadar air yang tinggi sehingga dapat dijadikan insulator agar vaksin tetap dingin. Sayangnya, menurut Udin, pelepah pisang tidak memiliki kemampuan untuk menjaga kestabilan suhu vaksin untuk jangka waktu yang lama.
Namun, para petugas kesehatan tetap menggunakannya untuk menjaga suhu vaksin selama perjalanan dari dan ke desa yang dituju serta selama layanan imunisasi berlangsung. Perjuangan panjang pengiriman vaksin melalui jalur darat pun tak ayal membuat ketersediaan vaksin terbatas.
Kapasitas transportasi yang dapat mengirim muatan vaksin menjadikan ketersediaan dan cakupan vaksin terbatas di desa-desa terpencil Sulsel.
Oleh karena itu, pengiriman vaksin menggunakan drone diharapkan menjadi solusi pengiriman vaksin secara lancar, yang mampu memangkas waktu tempuh dan menjangkau luas hingga ke pelosok desa terjauh di Sulsel. Serangkaian persiapan matang akan dilakukan sebelum menerbangkan vaksin menggunakan drone.
“Persiapan yang dilakukan adalah menyediakan tempat penyimpanan yang memadai agar suhu vaksin selalu terjaga dengan baik. Setelah itu, transportasi yang cepat, tepat waktu, dan aman juga menjadi salah satu faktor agar vaksin yang dikirim dapat terjaga kualitasnya,” jelas Udin.
Belajar dari Rwanda dan Ghana
Inovasi mengirimkan vaksin menggunakan drone ke desa-desa terpencil di Sulsel rupanya mencontoh upaya pemerintah Rwanda dan Ghana. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin sekaligus Koordinator Bidang Kesehatan Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) Provinsi Sulawesi Selatan, Budu menyampaikan, Indonesia bisa mencontoh apa yang dilakukan oleh pemerintah Rwanda dan Ghana baru-baru ini.
“Pemerintah dua negara di Afrika tersebut bekerja sama dengan sektor swasta dalam memanfaatkan teknologi drone untuk mengantarkan kantong darah, vaksin, dan obat-obatan ke wilayah-wilayah terpencil mereka. Drone dapat terbang sejauh maksimal 80 kilometer dan direncanakan menjangkau 500 pusat layanan kesehatan yang tersebar di berbagai wilayah Ghana.
Indonesia dapat belajar dari solusi unik ini untuk menjawab berbagai tantangan yang masih dihadapi dalam mengejar capaian cakupan imunisasi bagi masyarakat,” jelas Budu.
Hasil Riset Kesehatan Dasar 2018 Kementerian Kesehatan RI menunjukkan, cakupan status imunisasi dasar lengkap (IDL) pada anak usia 12-23 bulan menurun dari 59,2 persen (2013) menjadi 57,9 persen (2018). Angka ini menunjukkan, sekitar 6 juta anak berusia 12-23 bulan dan kira-kira 3,5 juta anak di atas usia tersebut belum mendapatkan imunisasi lengkap.
Jumlah tersebut hampir setara dengan separuh jumlah penduduk Singapura. Apalagi angka imunisasi dasar lengkap anak di pedesaan lebih rendah (53,8 persen) dibandingkan anak-anak di perkotaan (61,5 persen). Bahkan angka ini lebih rendah dari negara-negara di Afrika, seperti Rwanda dan Ghana. Anak-anak di sana sudah mencapai lebih dari 90 persen menerima imunisasi dasar lengkap.
Advertisement
Waktu Tempuh Hitungan Menit
Terobosan pengiriman vaksin dengan drone pun bisa memangkas waktu. Waktu tempuh bisa dalam hitungan menit. Teknologi drone jadi solusi mengatasi kesenjangan akses pelayanan kesehatan, khususnya mengantarkan bantuan medis ke tempat-tempat yang sulit dijangkau.
Drone ini memungkinkan pusat layanan kesehatan di pelosok Sulsel menerima vaksin hanya dalam waktu 15-20 menit.
“Drone semacam ini dapat mengangkut 40 botol vaksin dalam sekali pengiriman. Kita juga dapat berharap pada frekuensi terbangnya, yaitu maksimal 30 drone dengan selang penerbangan tiap 30 detik. Bayangkan, kalau hal ini dapat diadopsi oleh pemerintah kita dengan mengambil momentum Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional dan Daerah yang baru. Maka, kendala distribusi vaksin dan banyak bantuan medis lainnya dapat terpecahkan secara efektif,” lanjut Budu.
Budu berharap Indonesia dapat bergerak maju dan mulai melibatkan teknologi tepat guna yang belum pernah digunakan di dunia medis Indonesia selama ini.
“Transportasi tanpa awak ini secara gesit bergerak dan terbebas kendala, baik di darat maupun kepulauan. Alat ini juga membantu meredam wabah penyakit yang muncul tiba-tiba atau pun hal-hal yang terkait mitigasi bencana alam,” Budu menegaskan.
Upaya inovatif, ujar Budu, dibutuhkan meningkatkan dan mempertahankan cakupan pemerataan imunisasi. Ini demi keberlanjutan program imunisasi serta mendorong inovasi teknologi untuk memastikan akses pada ketersediaan vaksin hingga ke pelosok daerah terpencil di Indonesia.