Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menangkap satu Kapal Perikanan Asing (KIA) berbendera Malaysia pada Sabtu (15/6/2019) di Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Selat Malaka.
"Penangkapan dilakukan oleh KP. Hiu 12 yang dinakhodai Capt. Novry Sangiang pada sekitar pukul 06.30 WIB terhadap KM. KHF 1786 dengan alat tangkap trawl yang merupakan alat penangkapan ikan yang dilarang Pemerintah Indonesia,” ungkap Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Agus Suherman, seperti dikutip dari keterangan tertulis, Sabtu pekan ini.
Kapal ikan Malaysia yang ditangkap ini dinakhodai oleh warga negara Thailand dengan Anak Buah Kapal (ABK) sebanyak empat orang berkewarganegaraan Myanmar.
Baca Juga
Advertisement
Selanjutnya, kapal dan seluruh awak kapal dibawa ke Pangkalan PSDKP Lampulo Aceh dan akan dilakukan penyidikan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Perikanan.
"Kapal tersebut melakukan penangkapan ikan di WPP-NRI tanpa dilengkapi dokumen perizinan dan menggunakan alat tangkap dilarang trawl," tambah Agus.
Kegiatan tersebut diduga melanggar Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 dengan ancaman pidana penjara paling lama enam tahun dan denda paling banyak Rp 20 miliar.
Penangkapan tersebut menambah jumlah KIA yang berhasil ditangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan sejak Januari hingga Juni 2019 menjadi total 33 KIA, yang terdiri dari 15 kapal Vietnam, 15 kapal Malaysia, dan tiga kapal Filipina.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Kementerian Kelautan Tertibkan 21 Rumpon Ilegal Filipina
Sebelumnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) kembali menertibkan 21 alat bantu penangkapan ikan "rumpon" ilegal di perairan Sulawesi Utara, perbatasan Indonesia-Filipina.
"Penertiban 7 rumpon dilakukan pada Sabtu 25 Mei 2019 dan 14 rumpon lainnya pada Minggu 26 Mei 2019 oleh Kapal Pengawas Perikanan (KP) Orca 04 yang dinakhodai Capt. Eko Priyono," ungkap Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Agus Suherman, Selasa, 28 Mei 2019.
Rumpon-rumpon yang ditertibkan tersebut dipasang di perairan Indonesia tanpa izin dan diduga kuat dimiliki oleh nelayan asing.
"Berdasarkan identitas yang didapati, rumpon-rumpon tersebut diduga kuat dimiliki oleh nelayan Filipina," tambah Agus.
Pemasangan rumpon oleh oknum warga Filipina di perairan Indonesia disinyalir untuk meningkatkan hasil tangkapan.
Hal ini tentu dapat merugikan nelayan Indonesia karena ikan-ikan akan berkumpul di area rumpon dan kemudian ditangkap oleh nelayan Filipina.
Selanjutnya rumpon-rumpon tersebut dibawa dan diserahkan ke Pangkalan PSDKP Bitung, Sulawesi Utara.
Sesuai Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 26/Permen-KP/2014 tentang Rumpon, setiap orang yang melakukan pemasangan rumpon di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP-RI) wajib memiliki surat izin pemasangan rumpon (SIPR).
Advertisement
KKP Proses 33 Kasus Nelayan yang Rusak Lingkungan
Sebelumnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) bekerja sama dengan Pemerintah Daerah, POLRI, dan TNI Angkatan Laut (AL) berhasil memproses 33 kasus kegiatan penangkapan ikan dengan cara merusak (destructive fishing) selama tahun 2019.
Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal PSDKP KKP, Agus Suherman menjelaskan, kasus-kasus destructive fishing ini umumnya dipahami sebagai kegiatan penangkapan ikan menggunakan cara-cara yang tidak ramah lingkungan, seperti penggunaan bom, racun, dan setrum.
Dari sejumlah kasus tersebut, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Perikanan Direktorat Jenderal PSDKP telah berhasil memproses 11 kasus di beberapa lokasi, yaitu:
- 1 kasus di Lombok Timur (NTB)
- 1 kapal di Kupang (NTT)
- 4 kapal di Kapoposang (Sulsel)
- 5 kapal di Raja Ampat (Papua Barat).
Sementara kasus yang ditangani oleh Penyidik Polri sebanyak 21 kasus, yaitu 7 kasus di Lampung, 4 kasus di Kalimantan Selatan, 1 kasus di Sulawesi Selatan, 3 kasus di Nusa Tenggara Timur, 2 kasus di Jawa Timur, dan 4 kasus di Nusa Tenggara Barat.
Dalam hal pengungkapan kasus destructive fishing, Penyidik TNI AL telah berhasil menangkap 1 kapal pelaku pengebom ikan di Luwuk, Sulawesi Selatan pada 2019 ini.
Kegiatan penangkapan ikan dengan cara merusak atau tidak ramah lingkungan merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009. Adapun bagi pelaku diancam dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan denda paling banyak Rp 1,2 miliar,”.
Tingkatkan Intensitas Pengawasan Destructive Fishing
Dalam rangka mengatasi kegiatan destructive fishing di perairan Indonesia, KKP melalui Direktorat Jenderal PSDKP meningkatkan intensitas pengawasan khususnya pada area-area yang memiliki kerawanan tinggi terjadinya destructive fishing.
Lokasi-lokasi yang telah diidentifikasi, antara lain Nias, Anambas, Lampung, Madura, Lombok, Sumbawa, Kendari, Konawe, Pangkajene Kepulauan, Maluku Utara, Banggai, Balikpapan, dan Raja Ampat.
Hal ini merupakan langkah penting untuk terus menjaga kelestarian sumber daya perikanan dari dampak besar yang akan ditimbulkan dari kegiatan penangkapan ikan yang merusak.
“Dampak yang ditimbulkan akibat destructive fishing tidak kalah dibandingkan dampak akibat illegal fishing. Sebagai contoh penggunaan bom dan racun ikan dengan target ikan-ikan karang mengakibatkan kerusakan dan kematian terumbu karang di sekitarnya," tambah Agus.
Selain itu, langkah-langkah pengawasan yang sifatnya persuasif dan pencegahan juga akan dilakukan oleh Direktorat Jenderal PSDKP bekerja sama dengan pihak-pihak terkait baik pemerintah maupun swasta.
Advertisement