Cerita Petugas Lapas, dari Dikelabui hingga Dampingi Napi Melahirkan

Suka dan duka dijalani para petugas lapas ketika mengawasi dan mengawal para narapidana.

oleh Ika Defianti diperbarui 17 Jun 2019, 06:03 WIB
Lapas High Risk Pasir Putih, Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Jakarta - Menjadi sipir atau petugas Lapas memiliki risiko dan tantangan tersendiri. Tak terkecuali bagi Fajar Kurniawan. Ia nekat memilih menjadi sipir, meski harus menanggalkan ijazah S1 jurusan informatika dan komputernya untuk ikut seleksi menggunakan ijazah SMA.

"Iya yang lain juga ada yang sudah S1, tapi pakai ijazah SMA. Yang penting itu lolos seleksi semuanya, dan usianya tidak melampaui aturan," tutur Fajar saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Minggu (16/6/2019).

Fajar masih tergolong baru di pekerjaannya. Terhitung dia baru memasuki tahun kedua usai menjalani masa CPNS, sebelum diangkat menjadi PNS.

"Masih lebih banyak di bagian luar, tidak terlalu interaksi dengan tahanan. Itu mereka yang senior-senior," kata Fajar.

Pengalaman menjaga tahanan sendiri digambarkan secara sederhana oleh dua orang pegawai Kemenkumham yang hampir 10 tahun menjadi sipir di Lapas Klas IIA Paledang, Bogor, Jawa Barat. Mereka adalah Evie Loliancy dan Putu Aryuni Damayanti.

Evie Loliancy merasakan langsung beban menjadi petugas Lapas. Dia bertugas di Lapas berkapasitas maksimum 459 orang, namun dihuni hingga 2 ribu Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP).

Kondisi lainnya, Lapas tersebut hanya dijaga sekitar 30 petugas dengan satu regu pengamanan yang beranggotakan enam orang.

"Jadi, jangan tanya bagaimana enam petugas pengamanan ini bisa mengatasi 2 ribuan orang bila mereka berontak dan membuat kerusuhan. Jelas nyaris mustahil," ujar Evie.

Rasa khawatir dengan kerusuhan warga binaan yang dipicu hal-hal sepele pun menghantui setiap hari. Hidup dibalik jeruji besi tidaklah mudah dan sangat mempengaruhi psikologi pada tahanan.

"Berapa lama pun hukuman yang diterima WBP, tetap saja membuat merasa terkekang dan terbatasi kebebasannya. Dan itu yang bisa memantik kekecewaan dan rasa marah WBP," jelasnya.

Tekanan hidup di penjara hanya bisa dirasakan para warga binaan. Apalagi mereka harus berbagi sel dan mengontrol sikap masing-masing. Belum tentu rasa saling menerima satu sama lain itu mudah terbentuk.

"Belum lagi beragam penyakit yang dibawa atau bisa tiba-tiba tumbuh di dalam penjara. Bahkan semisal HIV, TBC, depresi, kecenderungan homoseksual dan sebagainya. Sementara petugas yang terbatas itu dituntut menjaga keadaan tetap aman dan kondusif," ujarnya.

Ada pengalaman menarik selama Evie menjadi sipir penjara. Dia bersama petugas lainnya pernah melakukan tes urine terhadap beberapa warga binaan yang diduga masih menggunakan narkoba dalam Lapas.

Mereka pun banyak berkilah untuk mengelabui petugas. Mulai dari mengaku belum mau buang air kecil, tidak bisa buang air kecil, menolak didampingi petugas saat masuk ke kamar mandi, bahkan mencoba mencampur urine dengan air.

"Kami tidak kurang akal. Kami minta yang menolak untuk minum air sebanyak-banyaknya, sampai kami sediakan air minum segalon," ujarnya.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:


Pantau Situasi Lapas

Ilustrasi narapidana.

Sipir lainnya, Putu Aryuni Damayanti menambahkan, petugas mesti dapat menciptakan kondisi yang membuat warga binaan tenang dalam menjalani masa pidana.

"Tidak sedikit WBP yang memang sengaja ngeyel dan memancing-mancing," kata Putu.

Pernah Putu menemukan warga binaan yang secara administrasi adalah laki-laki, namun kejiwaannya perempuan.

"Itu jelas cukup menyulitkan petugas untuk melakukan pembinaan dan penempatannya, apakah di blok pria sesuai jenis kelamin yang tercantum atau di blok wanita sesuai kenyataan yang tampak," terangnya.

Ada pula warga binaan perempuan yang menjalani pidana dalam keadaan hamil dan akhirnya melahirkan dalam Lapas. Bayi tersebut pun sesuai ketentuan hanya bisa dibesarkan ibunya dalam Lapas sampai berusia dua tahun.

"Dalam banyak hal, menjadi petugas pemasyarakatan seakan dituntut menjadi super human. Balai Pemasyarakatan Bogor misalnya, harus menangani tujuh wilayah kerja dari Kota Depok hingga Kabupaten Bekasi dan Sukabumi. Meliputi semua Lapas, Rutan, Polresta, Polsek, pengadilan negeri dan kejaksaan negeri di semua tempat itu," jelas Putu.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya