Liputan6.com, Bandung - Soejati (90) terkejut mengamati rumahnya di Jalan Aceh No 71, Kota Bandung dikepung puluhan orang dari beragam usia. Wanita tua yang pernah jadi guru di SMAN 3 Bandung itu kedatangan tamu yang tak diduga sebanyak 70 orang yang merupakan para peserta tur wisata sejarah Komunitas Aleut, Minggu, 16 Juni 2019.
Baca Juga
Advertisement
Meski sempat terkaget dengan kehadiran orang-orang di rumahnya, Soejati tetap bergembira. Karena inilah kesempatan dia bercerita kepada para peserta tur bertajuk Jejak Freemasonry yang digelar tepat di samping Rumah Kentang yang menjadi saksi sejarah gerakan Freemason di Bandung.
Rumah Kentang yang tepat bersebelahan dengan rumah Soejati, ialah bangunan loji. Dulu, bangunan yang tampak seperti rumah biasa itu bernama Loji Hermes. Diambil dari nama seorang dewa Yunani kuno.
Loji tersebut menjadi yang teraktif dalam menyelenggarakan kegiatan Freemason di Hindia Belanda pada masa itu.
Menurut Soejati, loji yang digunakan sebagai pertemuan para anggota Freemason merupakan tempat untuk bertukar pikiran. Mereka yang datang ke sana untuk mempelajari ilmu-ilmu yang berguna bagi masyarakat.
"Belajarnya ada banyak, ada ilmu dari Mesir Kuno, Mesopotamia. Jadi kalau mau anggota harus tahu diri kita sendiri sampai di mana. Orang yang bukan anggota tidak boleh masuk, mereka yang bisa memasuki wilayah hanya anggota," kata Soejati.
Wanita berkerudung itu menjelaskan, anggota Freemason bukan sembarangan orang. Awalnya, mereka adalah orang Eropa. Meski belakangan para cendekiawan atau kaum terpelajar Indonesia mengerti Bahasa Inggris dan Belanda, turut bergabung.
Simak video pilihan di bawah ini:
Terhenti pada Masa Kependudukan Jepang
Kata mason sendiri berasal dari bahasa Perancis, maçon, yang artinya "tukang batu". Francis Bacon ialah pencetusnya, yang mana cita-cita Bacon ini menjadi inspirasi jiwa Freemasonry.
"Freemasonry artinya, tukang batu yang bebas. Karena mereka membangun jiwa orang dengan bebas tidak terikat agama, suku, negara, bangsa. Islam, Hindu, Buddha, Kristen Katolik. Anggota ini membangun gedung ini dengan iuran," kata Soejati.
Dia meluruskan adanya anggapan para anggota Freemason, yang ada sejak ratusan tahun adalah kelompok misterius. Salah satunya cerita fitnah mengenai Freemasonry itu suka berkumpul dengan ritual yang sunyi dan dikaitkan dengan pemujan setan.
"Ketika upacara atau ritual itu keadaan harus sunyi supaya nuansa itu (kesunyian) bisa menggiring pada meditasi," ujarnya.
Meditasi, kata Soejati, bertujuan agar setiap anggota mengerti apa arti hidup kita dan menghargai orang lain. "Kuncinya adalah harus berusaha diri sendiri, berusaha memperoleh ilmu yang lebih tinggi," ujar Soejati.
Perkumpulan Freemason, kata Soejati, berkaitan juga dengan kegiatan sosial. Bahkan, beberapa tokoh nasional pada era kemerdekaan sering ditawari bantuan berupa beasiswa ke luar negeri pada masa itu.
"Ada yang sekolah di sini dibiayai. Bung Hatta termasuk yang pernah ditawari beasiswa. Hal paling penting adalah tolong menolong persaudaraan," ujarnya.
Namun, kegiatan Freemason di loji tersebut tidak bertahan lama ketika masa pendudukan Jepang di Hindia Belanda. Seluruh akrivitas freemason praktis ditiadakan karena orang-orang Eropa dikembalikan ke asalnya.
Kiprah perkumpulan Freemasonry juga semakin terhimpit setelah Presiden RI pertama mengeluarkan Keputusan Presiden nomor 264 tahun 1962 mengenai larangan beberapa perkumpulan.
Advertisement
Bukan Cuma Loji Hermes
Loji Hermes bukan satu-satunya tempat yang pernah meninggalkan jejak freemasonry di Bandung. Komunitas Aleut sudah mengajak peserta berkeliling ke Museum Kota Bandung, Masjid Agung Al-Ukhuwah, Mapolrestabes Bandung, pusat perbelanjaan Bandung Indah Plaza dan Gereja Katolik Bebas.
Di Masjid Agung Al Ukhuwah misalnya, jejak perkumpulan Freemasonry juga ada di tempat ini. Sebelum dibongkar total dan menjadi masjid, di tempat ini pernah berdiri Loji Sint Jan. Loji ini merupakan salah satu loji Fremasonry terbesar yang ada di Hindia Belanda.
Sama seperti di Batavia, banyak yang menyebut perkumpulan Freemasonry di kota ini adalah pemuja setan. Namun, menurut penutur tur wisata Komunitas Aleut, Hevi Fauzan, tudingan tersebut hanya sebuah plesetan dari nama loji mereka Sint Jan.
"Jadi plesetan masyarakat setempat menyebut setan. Padahal tidak terkait sama sekali," kata Hevi.
Selain berorientasi pada pembangunan infrastruktur, gerakan Freemansory juga terlibat dalam kegiatan sosial. Salah satunya pembangunan sekolah.
Frobelschool dan Kweekschool di antaranya. Frobelschool, gedung yang kini menjadi Museum Kota Bandung digagas oleh seorang berkebangsaan Jerman pada 1980 yang ingin membangun konsep sekolah anak usia dini.
Awal berdirinya taman kanak-kanak itu hanya diikuti 13 siswa yang menempati bangunan di Paseban Bandung. Karena murid bertambah banyak, penggagas sekolah meminta bantuan pemerintah dan akhirnya dibangun di seberang masjid Al Ukhuwah.
Peminat sekolah tersebut terus bertambah. Hingga pada 1920, atas bantuan pemerintah mereka membangun gedung baru. Jumlah siswa yang tercatat hingga 290 orang.
Sedangkan Kweekschool yang kini menjadi Mapolretabes, sempat dipinjamkan sebagai tempat aktivitas Freemason. Peminjaman sebagian gedung dilakukan mengingat pada awal gerakan ini belum memiliki Loji Sint Jan.
"Sebelum mendirikan Gedung Sint Jan, mereka pinjam gedung Kweekschool. Sebagian gedung Kweekschool dipakai pertemuan. Salah satu perpustakaan yang dikelola sampai 1897 punya koleksi buku yang lengkap. Kemudian dipindah ke Sint Jan 1922," kata pemandu lainnya, Puspita.
Selain Freemansonry, kelompok yang menganut ajaran okultisme atau kebatinan lainnya yang pernah eksis di Bandung ialah Teosofi.
Jejak Teosofi ini terdapat di komplek Olcottpark. Sebelum jadi pusat perbelanjaaan BIP, dulunya kawasan itu merupakan kompleks taman yang memiliki vila. Taman tersebut didedikasikan untuk Presiden Teosofi pertama, Henry Steel Olcott pada 1931 atau bertepatan dengan Kongres Teosofi di Hindia Belanda.
Pada 1950-an, Olcottpark berubah menjadi Hotel Paku Negara. Kemudian pada 1980-an berubah jadi pusat perbelanjaan seperti sekarang.
Satu tempat yang dikunjungi adalah Gereja Katolik Bebas. Gereja ini sempat digunakan sebagai loji. Namun, seiring jemaatnya berkurang, tidak ada lagi aktivitas di gereja tersebut saat ini.
Koordinator acara tur jejak Freemansory, Muhamad Erfan Masoem mengatakan, kegiatan wisata sejarah bukan hanya tentang ikut serta, membayar tiket, dan berfoto-foto. Sejarah dan cerita yang melingkupi bangunan-bangunan tersebut memberi banyak pelajaran baru.
"Tujuan utamanya ingin meluruskan sejarah, bahwa yang kita datang tidak berkaitan dengan setan atau lambang-lambang pemujaan," katanya.
Dia mencontohkan, kiprah kedua kelompok itu di Bandung dan seluruh Hindia Belanda berhenti seiring kedatangan Jepang. Keberadaan kelompok atau organisasi okultisme di Bandung tempo dulu, menunjukkan bahwa penduduk Bandung sejak dahulu telah memiliki kekayaan dan keberagaman dari segi sosial spiritual.
Reza Ardian (18), salah satu peserta tur mengakui pengalaman ikut wisata sejarah ini pertama kali. Ia yakin informasi yang diberikan penutur sejarah dapat menambah wawasan terkait sejarah kota.
"Menurut saya dengan belajar sejarah, kita bisa lebih cinta dan dengan ini jadi timbul rasa memiliki," ujarnya.