Didesak Turun oleh 2 Juta Demonstran, Pemimpin Hong Kong Minta Maaf

Pemimpin eksekutif Hong Kong Carrie Lam meminta maaf karena telah menyebabkan konflik.

oleh Siti Khotimah diperbarui 17 Jun 2019, 09:27 WIB
Pengunjuk rasa berkumpul di luar gedung parlemen di Hong Kong, Rabu (12/6/2019). Ribuan pengunjuk rasa memblokir pintu masuk ke kantor pusat pemerintah Hong Kong untuk memprotes RUU Ekstradisi. (AP Photo/Vincent Yu)

Liputan6.com, Hong Kong - Pemimpin eksekutif Hong Kong Carrie Lam meminta maaf karena menyebabkan konflik, namun menolak untuk mengundurkan diri.

Pernyataan itu dibuat setelah sekitar dua juta pengujuk rasa melakukan protes besar-besaran di berbagai jalan utama Hong Kong pada Minggu, 16 Juni 2019, menuntut turun sang pemimpin.

Jumlah massa demonstran itu belum dapat diverifikasi hingga saat ini, dengan pihak penyelenggara memperkirakan berjumlah dua kali lipat dari aksi yang memecahkan rekor pada Minggu sebelumnya.

Sementara kepolisian Hong Kong yang terbiasa memberikan perkiraan jauh lebih rendah, mengatakan sebanyak 338.000 orang terlibat demonstrasi, sebagaimana dikutip dari Channel News Asia pada Senin (17/6/2019).

Kerumunan massa berpakaian serba hitam menempuh jarak bermil-mil melalui jalan-jalan ke parlemen kota.

Ribuan di antaranya rela berkemah untuk melanjutkan protes. Mereka dibakar dengan kemarahan atas RUU ekstradisi yang memungkinkan pengadilan China untuk menangkap dan mengadili warga Hong Kong dengan tidak transparan dan terpolitisasi.

Detail Permintaan Maaf

Permintaan maaf dikeluarkan oleh kantor Carrie Lam pada Minggu malam, 16 juni 2019 mengakui kekurangan pemerintahannya yang telah "menyebabkan banyak konflik dan perselisihan" serta "mengecewakan dan menyusahkan warga."

Ungkapan maaf itu terjadi sehari setelah ia mengumumkan penundaan RUU tanpa batas yang jelas.

Front Hak Asasi Manusia Sipil, yang mengorganisir demonstrasi, mengatakan warga Hong Kong akan kembali protes pada Senin hingga "suara mereka didengar."

Adapun tuntutan mereka hingga saat ini adalah penghapusan RUU ekstradisi secara penuh, permintaan maaf Carrie Lam yang menyebut massa aksi saat protes pada Rabu lalu sebagai "perusuh", serta pengunduran diri sang pemimpin eksekutif tersebut.


Demonstran Membawa Bunga Putih

Ribuan demonstran kenakan pakaian hitam untuk tuntut kepala eksekutif Hong Kong mundur (AFPHector Retamal)

Dalam aksi pada Minggu, 16 Juni 2019 sebagian besar demonstran mengenakan pakaian hitam sebagai tanda untuk menuntut Lam muundur dari jabatannya.

Selain mengenakan pakaian hitam, banyak dari peserta aksi juga tampak membawa bunga putih sebagai perlambang kekecewaan terhadap pemerintah wilayah administratif khusus tersebut.

Para demonstran berjalan dari Victoria Park menuju distrik Admiralty, yang merupakan pusat gedung-gedung pemerintahan Hong Kong.

Sebelumnya, pada Sabtu 15 Juni, Carrie Lam mengumumkan pembahasan RUU ekstradisi ditunda untuk waktu yang tidak ditentukan. Namun, keputusan tersebut belum membuat lega penduduk Hong Kong, yang justru berubah mendesak Lam untuk tidak lagi memimpin wilayah eks koloni Inggris itu.


Trump Akan Singgung Konflik Hong Kong dalam KTT G20

Presiden Amerka Serikat (AS) Donald Trump siap meluncurkan sanksi paling berat terhadap Iran, Senn, 5 November 2018 (AFP).

Sementara itu, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Mike Pompeo mengatakan bahwa Presiden AS Donald Trump akan membahas masalah isu UU ekstradisi dalam KTT G20 mendatang.

Dikutip dari laman Channel News Asia, jika sesuai rencana Donald Trump akan berbincang dengan Presiden China Xi Jinping dalam KTT tersebut.

"Saya pikir kita akan melihat Presiden Xi dalam beberapa minggu mendatang di KTT G20. Saya yakin ini akan menjadi salah satu masalah yang mereka diskusikan," kata Pompeo dalam sebuah wawancara dengan Fox News Sunday.

"Kami melihat apa yang terjadi. Apa yang sedang terjadi di Hong Kong. Kami menyaksikan masyarakat di sana berbicara tentang hal-hal yang mereka hargai," tambah Pompeo.

Sebelumnya, tepat minggu lalu Donald Trump berharap agar permasalahan yang terjadi di Hong Kong segera diselesaikan.

Pompeo menegaskan "presiden selalu menjadi pembela hak asasi manusia."

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya