Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) mencatat pada akhir April 2019, utang luar negeri Indonesia (ULN) sebesar USD 389,3 miliar. Utang tersebut dinilai BI masih terkendali dengan struktur yang sehat.
Dikutip dari data BI, utang tersebut terdiri dari utang pemerintah dan bank sentral sebesar USD 189,7 miliar, serta utang swasta (termasuk BUMN) sebesar USD 199,6 miliar. ULN Indonesia tersebut tumbuh 8,7 persen (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan pada Maret 2019 sebesar 7,9 persen (yoy).
Baca Juga
Advertisement
Hal ini karena transaksi penarikan neto ULN dan pengaruh penguatan nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS sehingga utang dalam Rupiah tercatat lebih tinggi dalam denominasi dolar AS. Peningkatan pertumbuhan ULN terutama bersumber dari ULN sektor swasta, di tengah perlambatan pertumbuhan ULN pemerintah.
BI mengungkapkan pertumbuhan ULN pemerintah melambat. Posisi ULN pemerintah pada April 2019 tercatat sebesar USD 186,7 miliar atau tumbuh 3,4 persen (yoy), melambat dibandingkan dengan pertumbuhan pada bulan sebelumnya sebesar 3,6 persen (yoy). Perkembangan tersebut dipengaruhi oleh pembayaran pinjaman senilai USD 0,6 miliar dan penurunan kepemilikan Surat Berharga Negara (SBN) milik nonresiden senilai USD 0,4 miliar akibat ketidakpastian di pasar keuangan global yang bersumber dari ketegangan perdagangan.
Pengelolaan utangpemerintah diprioritaskan untuk membiayai pembangunan, dengan porsi terbesar pada beberapa sektor produktif yang dapat mendukung pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, yaitu sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial (18,8 persen dari total ULN pemerintah), sektor konstruksi (16,3 persen), sektor jasa pendidikan (15,8 persen), sektor administrasi pemerintah, pertahanan, dan jaminan sosial wajib (15,1 persen), serta sektor jasa keuangan dan asuransi (14,4 persen).
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Utang Luar Negeri Swasta
Sementara itu, pertumbuhan ULN swasta mengalami peningkatan. Posisi ULN swasta pada akhir April 2019 tumbuh 14,5 persen (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan pada bulan sebelumnya sebesar 13,0 persen (yoy). ULN swasta didominasi oleh sektor jasa keuangan dan asuransi, sektor industri pengolahan, sektor pengadaan listrik, gas, uap atau air panas dan udara (LGA), serta sektor pertambangan dan penggalian dengan total pangsa 75,2 persen terhadap total ULN swasta.
BI menyatakan, struktur ULN Indonesia hingga saat ini tetap sehat. Kondisi tersebut tercermin antara lain dari rasio ULN Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada akhir April 2019 sebesar 36,5 persen, relatif stabil dibandingkan dengan rasio pada bulan sebelumnya. Selain itu, struktur ULN Indonesia tetap didominasi oleh ULN berjangka panjang yang memiliki pangsa 86,2 persen dari total ULN.
Dengan perkembangan tersebut, meskipun ULN Indonesia mengalami peningkatan, namun masih terkendali dengan struktur yang tetap sehat. Bank Indonesia dan Pemerintah terus berkoordinasi untuk memantau perkembangan ULN dan mengoptimalkan perannya dalam mendukung pembiayaan pembangunan, dengan meminimalisasi risiko yang dapat memengaruhi stabilitas perekonomian.
Advertisement
Faktor Ini Bikin Rupiah Kembali Tembus 14.500 per dolar AS
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali melemah pada perdagagan Rabu pekan ini. Sentimen internal dan eksternal terutama perang dagang antara AS-China masih bayangi pergerakan rupiah.
Mengutip data Bloomberg, rupiah kini berada di posisi 14.512 per dolar AS. Pada pembukaan perdagangan, rupiah dibuka melemah tipis 8 poin ke posisi 14.488 per dolar AS dari penutupan perdagangan kemarin di kisaran 14.480 per dolar AS. Pada Rabu siang ini, rupiah berada di kisaran 14.488-14.512 per dolar AS.
Sementara itu, kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), rupiah merosot 0,17 persen atau 26 poin ke posisi 14.488 per dolar AS pada 22 Mei 2019 dari posisi 21 Mei 2019 di kisaran 14.462 per dolar AS.
Ekonom PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede menuturkan pergerakan rupiah cenderung melemah terhadap dolar AS sejak ketegangan perang dagang AS-China meningkat pada 10 Mei 2019.
Selain itu, meski bursa AS bervariasi pada perdagangan Selasa waktu setempat, indeks dolar AS menguat.
Josua menuturkan, dolar AS menguat ini dipicu pernyataan pimpinan bank sentral AS atau the Federal Reserve Jerome Powell yang menyatakan peluang memangkas suku bunga acuan kecil pada 2019.
Selain itu, menurut Josua, pelaku pasar juga wait and see untuk pengumuman notulensi rapat bank sentral AS dan perkembangan perang dagang.
Dari sentimen internal, Josua menilai pelaku pasar merespons langkah calon pasangan presiden dan wakil presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno yang menggugat hasil rekapitulasi pemilu 2019 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Hal itu memberikan sedikit ketidakpastian.
"Akan tetapi berkaca pada 2014, gugatan ke MK ditolak. Keputusan KPU itu final," ujar Josua.
Selain itu, kondisi keamanan dengan ada aksi 22 Mei 2019 diharapkan terkendali. "Bagaimana kondisi keamanan terkendali sehingga tidak beri kepanikan yang berlanjut," kata dia.
Josua menambahkan, tekanan terhadap rupiah juga didorong permintaan dolar AS yang besar tapi suplasi terbatas. Permintaan dolar AS ini untuk pembayaran dividen dan utang luar negeri. Josua perkirakan, rupiah belum dapat menguat signifikan dalam waktu dekat.
Pada Rabu pekan ini, ia prediksi rupiah berada di kisaran 14.075-14.535 per dolar AS.