Liputan6.com, Jakarta - Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core), Piter Abdullah mengatakan, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak akan terpengaruh sekalipun Bank Dunia telah memangkas pertumbuhan ekonomi global.
Sebab, menurut dia, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih ditopang oleh konsumsi domestik.
"Sesungguhnya karakteristik perekonomian kita itu tidak bergantung pada global. Pertumbuhan ekonomi kita kontribusinya itu justru adalah dari konsumsi rumah tangga. Artinya itu domestik itu," kata Piter saat dihubungi merdeka.com, Senin (17/6/2019).
Baca Juga
Advertisement
Piter menyebut, selama ini terdapat dua faktor penyumbang laju pertumbuhan ekonomi Indonesia, yakni konsumsi rumah tangga dan investasi. Masing-masing keduanya telah memberikan kontribusi besar terhadap pertumbuhan nasional.
"Sumbangan terbesar dari konsumsi rumah tangga ya kontribusinya di atas 50 persen. Kemudian sekitar 30-40 persen disumbang oleh investasi. Jadi kita itu sangat bergantung kepada domestik demand sebenernya, bukan global," kata dia.
Di sisi lain, dengan potensi sumber daya yang melimpah Indonesia tidak perlu khawatir terhadap dampak dari pemangkasan pertumbuhan ekonomi global tersebut. Apalagi Indonesia juga telah memiliki pangsa pasar yang cukup bagus.
"Ini kalau kita gabungkan dengan dua kondisi ini kita sebenarnya tidak perlu khawatir dengan perlambatan global," pungkasnya.
Seperti diketahui sebelumnya, Bank Dunia (World Bank) kembali merevisi target pertumbuhan ekonomi global menjadi 2,6 persen. Angka tersebut turun 0,3 persen dari proyeksi semula sebesar 2,9 persen.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Ekonomi RI Bakal Hanya Tumbuh 5 Persen Imbas Perang Dagang
Sebelumnya, situasi perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China kini kian memanas. Hal ini turut berdampak terhadap kegiatan ekonomi negara-negara dunia lainnya, termasuk Indonesia.
Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) bahkan memperkirakan, gejolak perang dagang bisa membuat pertumbuhan ekonomi RI meleset dari target yang telah ditetapkan dalam Rancangan APBN (RAPBN) 2020 sebesar 5,3 persen, yakni hanya bergerak di angka 5 persen.
Ekonom INDEF, Bhima Yudhistira mengatakan, perang dagang AS-China memiliki dampak cukup besar yang mempengaruhi kinerja ekspor komoditas perkebunan, tambang dan energi.
Pergerakan harga komoditas juga masih terpantau rendah lantaran perang dagang turunkan permintaan.
"Ini masalah serius dan bisa ciptakan kiamat bagi neraca dagang kita. Sampai bulan April 2019, total ekspor migas dan non-migas sudah turun -9.39 persen dibanding periode yang sama tahun lalu," ujar dia kepada Liputan6.com, Kamis (13/6/2019).
Di sisi investasi, dia menambahkan, eskalasi perang dagang turut menambah risiko berinvestasi di negara berkembang, termasuk Indonesia.
"Kita bisa cek data BKPM menunjukkan, realisasi investasi asingnya anjlok cukup dalam selama 2018. Apalagi trade war berlanjut hingga 2020," keluh dia.
Berdasarkan faktor-faktor tersebut, Bhima beranggapan, itu dapat membuat pertumbuhan ekonomi negara pada 2019 tertahan di angka 5 persen.
Dia pun mewanti-wanti eskportir Indonesia yang dapat terkena imbas pencabutan fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) oleh AS.
"Maka dari itu, INDEF prediksi pertumbuhan ekonomi tahun ini mentok di 5 persen atau dibawah asumsi makro APBN 5.3 persen. Kita harus bersiap hadapi situasi terburuk karena perang dagang ternyata tidak hanya menyasar China, tapi juga Meksiko, India dan Turki," imbuhnya.
"Bukan tidak mungkin Trump akan sasar Indonesia dengan revisi fasilitas GSP (Generalized System of Preferences) yang selama ini eksportir indonesia nikmati," dia menandaskan.
Advertisement
Menkeu: RI Waspadai Risiko Ekonomi Global yang Semakin Nyata
Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyatakan Indonesia harus semakin mewaspadai gejolak ekonomi global. Hal ini akibat adanya perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China yang tak kunjung usai.
Dalam pertemuan antar menteri keuangan negara-negara G20 di Fukuoka, Jepang, Sabtu kemarin, Sri Mulyani menyatakan jika ketegangan antar negara anggota G20 masih terasa, khususnya antara AS dan China.
"Kemarin pertemuan G20 di Fukuoka Jepang, harapannya dengan pertemuan ini sebelum pertemuan tingkat leaders di Osaka pada akhir bulan ini diharapkan akan ada jembatan antara Amerika, China dan negara-negara lain. Tapi kalau kita lihat suasananya memang masih terasa bahwa posisi belum berubah. Dalam artian ketegangan internasional dari sisi retorika maupun action-nya masih sama. Bahkan ada kecenderungan lebih bold," ujar dia di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa, 11 Juni 2019.
Menurut Sri Mulyani, selama ini China ingin agar masalah perang dagang ini dilakukan secara multilateral sesuai dengan kerangka yang telah ada. Namun, AS lebih berharap masalah tersebut diselesaikan secara bilateral.
"Kemudian harapan-harapan di antara kedua belah pihak untuk saling adanya temuan dari sisi pemikiran policy-nya masih cukup jauh. China masih menganggap mereka melakukan apa yang telah diminta selama ini, tetapi dari AS menganggap itu belum cukup. Sehingga kita melihat dalam keseluruhan G20 ini risiko global itu terealisir (nyata)," ungkap dia.
Akibat ketegangan yang terjadi ini, lanjut Sri Mulyani, pertumbuhan ekonomi global di tahun ini diperkirakan akan mengalami perlambatan. Hal tersebut seperti apa yang telah diproyeksikan oleh lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia.
"Makanya IMF, OECD, World Bank, mengatakan dengan adanya risiko down site risk yang terealisir ini proyeksi output tahun ini menurun. Kalau di IMF 3,3 persen, sudah 0,5 persen lebih rendah dari original projection 2019. World Bank juga sama," kata dia.