Liputan6.com, Jakarta - Sidang kasus penyebaran berita bohong atau hoaks yang melibatkan aktivis HAM, Ratna Sarumpaet, hari ini, Selasa (18/6/2018) kembali digelar.
Materi sidang kali ini adalah pembacaan pledoi atau nota pembelaan, setelah sebelumnya jaksa penuntut umum menuntut ibu Atiqah Hasiholan itu dengan vonis 6 tahun penjara.
Advertisement
Ratna pun mengaku siap sesaat sebelum menjalani persidangan. "Ya, siap secara moril saja," ucap dia.
Kesiapannya dalam sidang kali ini juga ditunjukkan dengan nota pembelaan setebal 108 halaman yang telah disiapkan bersama kuasa hukumnya untuk meluruskan sangkaan yang menyebutnya dengan sengaja membuat keonaran.
Berikut ini sejumlah hal yang terungkap dari sidang kasus hoaks Ratna Sarumpaet yang digelar hari ini:
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Bandingkan Kasusnya di Era Orba dan 212
Di depan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Ratna Sarumpaet membandingkan kasusnya kali ini dengan kasus yang dia alami di zaman Orba dan tuduhan makar yang pernah menjeratnya pada Maret 1998.
"Saya memang pernah dihukum di era Orde Baru. Pada tanggal 10 Maret 1998, saya bersama beberapa kawan aktivis Pro Demokrasi termasuk putri saya, Fathom Saulina memang ditangkap dengan tuduhan makar dengan pasal berlapis," kata Ratna di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (18/6/2019).
Saat itu, dirinya dihukum 60 hari di Rutan Polda Metro Jaya dan 10 hari di Rutan Pondok Bambu.
"Ditangkap dengan mengerahkan hampir semua kesatuan yang ada, seolah sedang menangkap kriminal besar, tujuh puluh hari setelahnya tanggal 20 Mei 1998 sehari sebelum Presiden Soeharto lengser," ujar Ratna.
Kasus tersebut lalu disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara dengan dakwaan 'Menggelar Acara Tanpa Izin'.
18 tahun setelah itu atau menjelang acara 212, dirinya bersama beberapa tokoh kritis ditangkap sebagai tersangka Makar.
Advertisement
Menyebut Kasusnya Penuh Muatan Politis
Sambil membacakan nota pembelaan di depan majelis hakim, Ratna tak kuasa meneteskan air mata. Sambil terbata-bata, aktivis HAM ini menyebut kasus yang menjeratnya penuh dengan muatan politis.
Dia bahkan menuding media massa, media sosial, bahkan penyidik berusaha keras menggiring kasus yang menjeratnya ke panggung politik.
"Seolah saya telah dengan sengaja menciptakan dan menyebarkan kebohongan demi kepentingan salah satu pasangan calon presiden," ucap Ratna sambil membaca nota pembelaannya.
Meski begitu dia mensyukuri bahwa dari setiap persidangan yang telah diiikuti tidak ada yang mampu membuktikan bahwa apa yang diberbuatnya sebagai upaya untuk menguntungkan salah satu konstestan Pilpres 2019.
Ratna mengaku, apa yang dilakukannya dengan menyebarkan berita bohong hanya semata-mata untuk menutupi bahwa dia telah menjalani operasi plastik kepada anak-anaknya dalam usia yang tak lagi muda.
"Tapi semata-mata untuk menutupi pada anak-anak saya 'dalam usia saya yang sudah lanjut saya masih melakukan operasi plastik sedot lemak," kata Ratna.
Menyiapkan Pledoi yang Dibagi dalam 2 Berkas
Sebelum membacakan nota pembelaan hari ini, pengacara Ratna Sarumpaet, Desmihardi mengungkap bahwa kliennya, selain akan membacakan pleidoi dari pengacara, Ratna Sarumpaet juga akan menyampaikan pledoi pribadi.
"Intinya kami menyimpulkan memang keonaran tidak ada. Hal-hal itu yang akan dicantumkan dalam pleidoi," kata dia.
Sebelumnya, Koordinator Jaksa Penuntut Umum (JPU) Daroe Tri Sadono menilai terdakwa terbukti melanggar Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Menurut Daroe, berita bohong yang disebarkan oleh terdakwa tentang peristiwa penganiyaan yang diperkuat dengan foto atau gambar wajah yang lebam, serta bengkak mendapat reaksi dari beberapa kalangan masyarakat, hingga menyebabkan kegaduhan, keributan atau keonaran di kalangan masyarakat baik di media sosial, media elektronik dan juga terjadinya demonstrasi.
Advertisement
Tidak Merasa Membohongi Publik
Dalam nota pembelaannya, Ratna juga mengatakan bahwa dirinya tidak bermaksud membohongi publik. Menurutnya, kebonhan yang dia lakukan sangat jauh dari menimbulkan rasa kebencian dan permusuhan individu atau golongan berdasarkan SARA.
"Kebohongan yang saya lakukan sangat bersifat pribadi dan disampaikan hanya kepada orang-orang terdekat saya dan beberapa orang kawan. Tidak ada sedikitpun narasi atau kata-kata yang saya pakai dalam kebohongan itu yang dapat menimbulkan rasa kebencian dan permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan SARA," ujar Ratna lebih lanjut.
"Jaksa Penuntut Umum secara terang-terangan mengabaikan kesaksian saudara Teguh Arifiadi sebagai Ahli ITE dariMenkominfo yang notabene ahli dari Pemerintah yang mengatakan bahwa, 'Tidak ada keonaran di Media Sosial, Yang ada Trending Topic'," tambah Ratna.