Liputan6.com, sampang Hikmah bisa datang dari mana saja, tapi sangat sedikit orang yang bisa melihat hikmah di balik setiap peristiwa. Mastuki (33), pengelola wisata Pantai Lon Malang adalah pengecualian.
Ketika membuka pantai Lon Malang pada 2017, yang ramai datang bukan wisatawan, melainkan protes dan kritikan bertubi-tubi. Tak tanggung-tanggung, para pengkritik adalah tokoh agama di Kecamatan Sokobanah, Kabupaten Sampang, tempat pantai itu berada.
Pangkal soalnya adalah bahasa. Awal dibuka untuk umum, Mastuki memilih nama 'Pantai Cuma Kamu' sebagai branding. Ia mengira, nama yang inspirasinya berasal dari judul lagu dangdut itu, bakal jadi magnet yang bisa menarik minat wisatawan berkunjung.
Sebab, untuk sebuah kawasan wisata, nama begitu bukan hanya tidak lazim, tapi perpaduan yang komplet antara unik, aneh, dan alay.
Baca Juga
Advertisement
Karena sudah zamannya narsis, Mastuki menginisiasi pembuatan beberapa spot swafoto. Ada jembatan, ayunan juga gazebo. Tiap-tiap spot swafoto diberi tulisan dengan kalimat-kalimat nakal. Misalnya, 'Kamar Janda Mendesah', 'Danau Asmara', juga 'Papa Pulang, Mama Basah'.
Tujuannya, agar banyak pengunjung berswafoto ria dan lantas mengunggahnya ke akun media sosial masing-masing. Kemudian, dia mengharap menjadi viral. Kira-kira begitu jalan pikiran Mastuki.
Namun, justru aneka kalimat nakal itu, malah jadi biang perkara. Alih-alih membuat orang datang berwisata ke Lon Malang. Para kiai menganggap kalimat itu tidak mendidik, sebaliknya bisa mengajak wisatawan berpikir ngeres. Mereka khawatir, pantai itu bukan sekadar tempat wisata tapi jadi tempat maksiat.
Dapat Promosi Gratis
Meski pikirannya rungsing, Mastuki menghadapi kritik itu dengan tenang. Ia memilih tak banyak berkomentar karena bisa membuat suasana kian panas.
Dan lama-lama, protes dan kritikan itu sampai juga ke Pemda Sampang yang lantas memfasilitasi sebuah forum pertemuan guna mencari solusi bersama.
Mastuki hadir ke forum. Ia tetap berusaha tenang meski hatinya mulai panas oleh kritikan. Semua luapan kritik, dia simak dengan seksama dan besoknya semua masukan itu ia realisasikan.
Semua papan berisi kalimat nakal itu ia cabut, pun nama pantai turut diganti menjadi Lon Malang, sesuai nama asli kawasan sebelum disulap jadi pantai yang indah.
"Karena polemik itu diberitakan semua media, pantai ini jadi viral, jadi perbincangan dan perdebatan. Saya dapat promosi gratis," Mastuki menuturkan hikmah yang ia petik, ketika menceritakan lagi suka duka membuka Lon Malang.
Kini, tiga tahun setelah masalah itu, kunjungan wisatawan ke Lon Malang merupakan salah satu yang tertinggi di Pulau Madura.
Saat Lebaran Idul Fitri hingga lebaran ketupat lalu, tercatat 60 ribu wisatawan mampir ke Lon Malang. Pada hari normal, pengunjung stagnan di angka 200 hingga 300 pengunjung per hari.
"Kebanyakan wisatawan lokal Madura," ujar pria yang akrab disapa Tuki itu.
Advertisement
Lon Malang, dari Wisata ke Ekowisata
Tak pernah terlintas dibenak Mastuki, suatu saat dia bakal bergelut dengan dunia wisata. Setelah lulus pesantren, dia cukup puas dengan meneruskan usaha orangtuanya jadi pengepul ikan teri basah. Pendapatannya lebih dari cukup untuk kebutuhan sehari-hari.
Namun, jalan hidupnya berubah, ketika Martuli, kakaknya terpilih jadi kepala desa Bira Tengah, Kecamatan Sokobanah, Kabupaten Sampang pada 2016.
Dia kemudian diminta membantu kakaknya mengelola dan mengembangkan potensi desa. Salah satu potensi yang ia lihat adalah destinasi wisata. Di Bira Tengah, ada satu kawasan pesisir yang disebut Lon Malang. Dulunya, kawasan ini hanya ditumbuhi semak belukar, oleh warga juga dikeramatkan karena ada kuburan kuno tak bernama di sana.
"Lon Malang itu artinya kali melintang. Di sana ada kali tapi aliran ke hilirnya tidak lurus tapi melintang," tutur dia.
Maka dibersihkanlah semak belukar itu, diganti dengan cemara udang agar wisatawan bisa berteduh setelah berjemur. Di Indonesia, cemara jenis ini hanya tumbuh di Pantai Lombang Sumenep, dua jam dari Lon Malang.
Warung dan kafe juga dibangun, lengkap dengan musala, dan wahana permainan, dari motor cross hingga banana boat, agar pengunjung tak hanya bermain dengan ombak dan pasir.
Meski sempat diprotes sana sini, tetapi ketika protes itu reda, Lon Malang terus berkembang menjadi objek wisata yang paling hits di Madura saat ini.
Keberhasilan Mastuki mengelola Lon Malang membuatnya dilirik oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Pria yang pernah nyantri di Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan Sumenep ini pun didapuk menjadi Ketua Kelompok Pengawas Masyarakat Pesisir Sokobanah.
Tugasnya, kata Mastuki, berat. Karena harus mengawasi dan melarang nelayan bercantrang menangkap ikan di sepanjang perairan Desa Bira Tengah sejauh 4 mil dari garis pantai.
Menurut dia, perairan yang kerusakan ekosistemnya telah akut itu akan dijadikan kawasan konservasi dengan menanam terumbu karang buatan.
"Tahun ini kami dapat anggaran Rp1,6 miliar dari DAK untuk memperbaiki ekosistem laut di sini," kata Mastuki.
Mastuki mengakui melarang nelayan di kawasan itu mungkin hal paling sulit. Sebab, beberapa nelayan adalah teman sekolah dulu bahkan sebagian masih kerabat dekatnya. "Harus sosialisasi perlahan, tapi saya yakin bisa," kata dia.
Dan bila nanti kawasan konservasi itu berhasil, hikmah berikutnya yang akan disadari Mastuki adalah sebuah hijrah dari sekadar pengelola wisata menjadi pahlawan lingkungan.
Simak video pilihan berikut ini: