Liputan6.com, Aceh - Ruangan seluas 3x4 itu sebenarnya adalah ruang tamu. Namun disulap menjadi dapur oleh Ita Kumala Sari (35).
Di situlah ibu beranak tiga ini menjalankan aktivitas sehari-hari sebagai pembuat kue tradisional khas Aceh. Ia dibantu oleh keluarga serta beberapa pekerja yang diberi upah.
Advertisement
Para pelintas yang lewat di depan jalan nasional Meulaboh-Tapak Tuan dapat dengan jelas melihat aktivitas masak-memasak yang di tempat itu. Hawa panas meruap saat Liputan6.com mengunjungi usaha yang berada di Desa Langung, Kecamatan Meureubo, Kabupaten Aceh Barat.
Dua buah etalase diletakkan di sisi kiri dan kanan depan ruangan. Isinya aneka kue kering seperti keukarah, bungong kayee, kipang, bolu, pret, sagon bakar, dan beberapa jenis kue tradisional lainnya.
Hampir semua kue dikemas dengan kantong plastik kecuali keukarah. Kue berbentuk unik itu ditumpuk dan dibiarkan terbuka di atas nampan.
Bentuk keukarah terlihat seperti gumpalan bihun kering berbentuk lembing. Namun, warnanya cenderung lebih gelap.
Bahan utama keukarah adalah tepung beras. Proses pembuatannya pun terbilang sederhana.
Tepung beras yang telah diencerkan diaduk dengan gula pasir. Kemudian dituang ke dalam batok kelapa yang telah diberi lubang kecil-kecil.
Adonan yang tumpah dari cetakan berwujud seperti serat. Inilah yang membuat keukarah memiliki struktur berupa gumpalan seperti benang.
Adonan dituang ke atas minyak panas sambil diaduk sehingga berbentuk seperti jaring. Pembuatannya menuntut kegesitan karena adonan mudah hangus.
Rasa keukarah manis dan renyah, cocok dinikmati bersama kopi atau teh. Kue ini sering ditemukan di acara pernikahan hingga peringatan kematian.
Usaha Turun Temurun
Usaha pembuatan kue tradisional milik Ita dirintis sejak 2005. Keahliannya membuat kue diturunkan dari orang tua.
"Dulu nenek saya. Ibu saya juga. Saya melanjutkan sendiri merintis. Ada lima orang kerja. Tiga orang luar, lain keluarga," jelas Ita, kepada Liputan6.com, Selasa sore (18/6/2019).
Alat-alat yang digunakan terbilang sederhana. Hanya bermodal oven, loyang, kompor, dan beberapa alat lainnya.
Selain memanfaatkan pembeli setempat, Ita memasarkan kue-kue tersebut melalui 'Bukalapak'. Salah satu pusat perbelanjaan daring di Indonesia.
"Kalau melalui online, pembeli bisa dari Medan, bahkan Pulau Jawa," katanya.
Dijual dengan harga paling murah Rp5 ribu per bungkus, Ita bisa meraup keuntungan hingga Rp1 juta lebih dalam sehari. Kebanyakan kuenya dijual borongan.
"Modal awal beli bahan untuk sehari Rp300 ribu. Kadang laku paling kecil Rp500 ribu, kadang sampai Rp1,5 juta lebih," sebut Ita.
Advertisement
Bertahan di Tengah Gempuran Zaman
Bergerak di usaha pembuatan kue tradisional tentu tidak mudah. Terlebih kebutuhan masyarakat Aceh akan kue jenis itu bersifat musiman atau pada saat tertentu saja.
"Kalau orang Aceh, kan ada musim orang kawin. Memang ada bulannya. Seperti bulan Safar. Dalam adat Aceh tidak boleh," kata Ita.
Tidak sedikit yang memilih menyediakan kue yang lebih kekinian untuk para tamu undangan. Karena itu, Ita harus berjuang agar kue-kue miliknya mendapat tempat di hati pembeli.
"Selain jaga rasa, saya iklankan di 'Bukalapak' seperti saya bilang tadi. Biar banyak yang tahu," ujarnya.
Usaha Ita sedikit banyak telah menyokong kehidupan ekonomi keluarga kecilnya. Murtala, suaminya hanyalah seorang buruh bangunan.
"Banyak membantu. Anak 4. Anak paling kecil baru mau masuk SD. Ada SMP, terakhir SMA," ucapnya.
Seperti nama usahanya 'Asoe Jaroe' berarti 'buah tangan'. Ita berharap kue-kue tradisional miliknya menjadi oleh-oleh bagi pelancong yang berpelisaran ke Serambi Makkah.
Simak juga video pilihan berikut ini: