Liputan6.com, Yogyakarta Lima puluh tujuh foto karya dosen dan mahasiswa Institut Seni Indonesia Yogyakarta dipamerkan di Galeri Pandeng FSMR ISI Yogyakarta pada 17 sampai 23 Juni 2019. Pameran yang diselenggarakan sebagai rangkaian Dies Natalis XXXV Lustrum VII ISI Yogyakarta ini mengambil tema Kecerdasan Buatan dalam Seni di Era Revolusi Industri 4.0.
Dari deretan foto yang dipajang, setidaknya ada tiga foto yang memiliki pesan kuat dan responsif terhadap tema menurut kurator Pitri Ermawati.
Foto berjudul "Sarapan" karya Dyna menggambarkan teknologi dan kehidupan manusia pemakainya. Foto still life bersubjek piring, kabel data yang sekaligus berfungsi sebagai charger, sendok, dan garpu. Benda-benda yang berwarna serba putih keabu-abuan dan berlatar belakang putih ini difoto dengan teknik high key.
Baca Juga
Advertisement
Foto ini merupakan sindiran terhadap orang-orang yang sangat tergantung pada gawai. Termasuk sang fotografer sendiri. Setiap bangun tidur, orang cenderung mencari ponsel pintar dan memegangnya.
Bukan hanya itu, sarapan yang harusnya diisi dengan menikmati santapan justru dipenuhi dengan kesibukan bersama dengan dunia di ponselnya. Tak jarang, orang sarapan sambil mengisi daya baterai ponsel pintarnya pada era Revolusi Industri 4.0 ini.
Foto kedua berjudul "Tak Bisa Lepas" karya Rakhmat Mukhlasin. Foto ekspresif ini bersubjek pada tangan yang terikat kabel yang tersambung dengan ponsel pintar, buku catatan, kertas-kertas makalah, dan pulpen.
Ini bentuk respon satire kehidupan mahasiswa kekinian yang keranjingan bermain gim online dalam genggaman ponsel pintarnya. Gim yang mengasyikkan telah membelenggu sehingga membuat kewajibannya sebagai mahasiswa terabaikan, bahkan prestasinya jatuh ke titik nadir.
Pada era Revolusi Industri 4.0, teknologi seolah-olah telah merampas kecerdasan si mahasiswa, sehingga membuatnya menjadi pasif, antisosial, dan mengalami keterbelakangan.
Simak video pilihan berikut:
Distorsi Ritus Ibadah
Foto ketiga berjudul "Prosesi Waisak" karya Michael Richard Anugrah juga menunjukkan dampak negatif teknologi. Foto ini membekukan momentum prosesi penerbangan lampion-lampion Waisak di Candi Borobudur pada malam hari dengan latar depan para biksu.
Subjek pada latar depan sebelah kiri adalah biksu yang sedang mengambil gambar lampion terbang dengan kamera ponsel. Persis di depannya, biksu lainnya juga melakukan hal yang sama. Di sekitar mereka, ada biksu-biksu lainnya yang sedang menunduk dan menegadah.
Teknologi kamera ponsel hi-res memudahkan orang, termasuk mereka yang sedang beribadah, untuk mengambil foto atau video. Kemudahan lainnya, mereka dapat langsung mengirimkan foto atau video ke kerabatnya lewat media sosial.
"Tidak dapat dihindari, teknologi sudah merasuki seluruh kehidupan manusia, namun akan lebih baik jika manusia bisa mengontrol dirinya agar tidak terjebak menjadi korban karena racun teknologi big data yang dapat membunuh secara perlahan," ujar Pitri di sela-sela pembukaan pameran.
Advertisement
Fotografi yang Adaptif
Pitri menuturkan fotografi sangat adaptif dengan teknologi. Saat ini era mengejar megapiksel sudah selesai dan fotografi kembali bermain konsep.
"Jadi ada nilai yang ditawarkan dari foto itu," ucapnya.
Meskipun demikian, ia menekankan jangan sampai peralatan yang canggih menggurui manusia, karena alat hanya sebagai sarana.
Menurut Pitri, anak muda yang berkecimpung di dunia fotografi saat ini lebih berani dalam bereksperimen. Mereka tidak takut gagal karena data foto yang tersimpan dalam bentuk digital dan memungkinkan untuk dihapus.
"Berbeda dengan zaman saya yang masih mengandalkan rol film dan berpikir jangan sampai salah karena berarti menghilangkan satu slide rol film," tuturnya.