Liputan6.com, Jakarta Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo menjelaskan, peluru yang bersarang di korban kerusuhan 21 dan 22 Mei berasal dari peluru berkaliber 5,56 mm dan 9 mm.
Namun, Polri menemui kendala ketika melakukan uji alur senjata. Terutama pada kaliber 9 mm karena kondisi proyektil sudah sangat rusak.
Advertisement
"Sementara kaliber 5,56 mm senjata yang digunakan juga masih didalami. Itu harus ditemukan senjatanya. Oke, ketemu senjatanya, ketemu pembandingnya, itu yang digunakan untuk nembak itu senjata siapa, itu perlu pembuktian perlu analisa cukup dalam," ucap Dedi di Mabes Polri, Rabu (19/6/2019).
Dedi menerangkan, peluru tersebut bisa digunakan dengan senjata standar Polri-TNI. Juga senjata rakitan.
"Contoh konflik di Papua, Maluku, termasuk tersangka jaringan teroris kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT). Itu kan peluru organik, cuma senjata yang digunakan itu senjata rakitan," jelasnya.
Cuma ciri khasnya senjata rakitan lebih sulit identifikasi alur senjatanya.
"Uji balistik akan kesulitan, senjata rakitan ada yang punya alur ada yang gak punya alur. Kalau senjata standar jelas, alur ke kanan atau alur kiri,"ujar dia.
Selain uji balistik, penyidik juga sedang menganalisa Tempat Kejadian Perkara (TKP) para korban yang diduga sebagai pelaku perusuh ditemukan.
"Dari berbagai aspek akan dilihat, termasuk penyidik cari CCTV, di sekitar lokasi di beberapa TKP," ujar dia.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Tanpa Peluru Tajam
Dedi menegaskan, pasukan pengamanan langsung 21-22 itu tidak dilengkapi senjata api dan peluru tajam. Mereka hanya dilengkapi, tameng, gas air mata dan water canon.
Dan, yang perlu dicatat sebagian besar dari 9 korban yang diduga perusuh meninggalnya tidak ada yang di depan Bawaslu.
"Semuanya TKP di luar lokasi Bawaslu," ucap dia.
Advertisement