Liputan6.com, Jakarta - Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengatakan, sistem informasi penghitungan suara (Situng) Komisi Pemilihan Umum (KPU) bukan acuan untuk menentukan hasil akhir resmi pemenang Pilpres 2019. Situng bertujuan sebagai bentuk keterbukaan publik dari KPU selama proses perhitungan suara berjenjang.
Pernyataan Arief tersebut menjawab permintaan dari tim hukum Prabowo-Sandi agar ada perintah dari MK untuk melakukan audit forensik terhadap Situng.
Advertisement
"Harus ingat bahwa untuk menetapkan perolehan suara yang benar bukan dari Situng. Bukan dari itu. Undang-undang jelas mengatakan begini, hasil Situng bukan hasil resmi. Hasil resmi adalah hasil penghitungan suara manual yang dilakukan secara berjenjang sehingga Situng tidak mempengaruhi atau tidak digunakan untuk penghitungan suara resmi," kata Arief di Gedung MK, Jakarta, Kamis (20/6/2019).
Arief menyatakan, keberadaan situng agar masyarakat dapat memantau dan mengoreksi apabila ada kekeliruan. Sementara, rekapitulasi atau penghitungan suara berjenjang yang dipakai untuk hasil akhir, tetap berpatokan dengan formulir C1 yang berhologram.
"Jadi yang dipakai penghitungan suara manual yang dilakukan secara berjenjang dari TPS sampai tingkat nasional," ujarnya.
Dalam sidang sengketa Pilpres yang digelar hari ini, KPU hanya menghadirkan satu ahli. Rencananya sidang lanjutan akan digelar pada Jumat 21 Juni pukul 09.00 WIB dengan agenda pemeriksaan saksi pihak terkait.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Kesaksian Ahli KPU
Sidang sengketa Pilpres 2019 pada Kamis (20/6/2019) mendengarkan ahli yang diajukan Termohon, dalam hal ini KPU, Marsudi Wahyu Kisworo, profesor utama teknologi informasi--yang juga arsitek IT KPU.
Marsudi berpendapat bahwa merancang aplikasi Situng bagaikan membuat arsitektur sebuah rumah. Lantas, kuasa hukum Pemohon, Iwan Setiawan, menanyakan apakah Marsudi juga menjaga Situng KPU dari hacker (peretas).
BMarsudi mengatakan bahwa dirinya hanya sebagai perancang atau arsitek yang merancang sistem Situng-nya saja, bukan mengatur dan memprogramnya.
"Saya bukan yang menjaga web-nya itu. Saya yang 2003 dulu merancang arsitekturnya. Ibarat dibangunnya rumah itu kan harus ada rancangan arsitekturnya dulu dan itu bukan hanya saya saja, tetapi ada teman-teman dari ITB, UI, dan yang lainnya," jawab Marsudi di ruang sidang MK, Jakarta, Kamis (20/6/2019).
Lalu, saat Marsudi belum selesai menjawab, Iwan langsung memotongnya dan mengajukan pertanyaan kembali.
"Apakah sistem yang Bapak buat dulu arsitekturnya masih sama?" tanya Iwan.
"Arsitekturnya masih sama, tapi komponennya berbeda karena teknologi zaman dulu dan zaman sekarang berubah. Karena kan dulu masih Pentium, sekarang sudah tak ada. Kalau yang saya pernah amati, KPU selalu mengganti perangkat keras setiap lima tahun, tapi secara struktural masih sama," ucap Marsudi.
Karena belum ada jawaban dari Iwan, Marsudi melanjutkan kembali dengan menggambarkan Situng tiap tahun ke tahun seperti rumah yang terus melakukan perubahan tanpa mengganti arsitektur awalnya.
"Kayak rumah, arsitekturnya sama, terus jendelanya berubah lebih baru, pintunya ganti warna misalnya seperti itu," tuturnya.
Advertisement