Liputan6.com, Jakarta - Gubernur DKI Jakarta harus bersinggungan dengan pendahulunya Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok lantaran keputusannya menerbitkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) di pulau reklamasi. Keputusan Anies menerbitkan IMB membuat sejumlah pihak membandingkan kebijakan soal reklamasi dengan Ahok.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) yang juga dikenal sebagai ahli hukum agraria, Nurhasan Ismail angkat bicara. Menurutnya, persinggungan Ahok dan Anies sudah banyak dramaturgi politik.
Advertisement
"Saya sebut sebagai dramaturgi politik karena sudut pandang yang dikemukakan cenderung bersifat politik. Yaitu suka atau tidak suka terhadap pemegang kekuasaan yang menerbitkan IMB atau kepentingan politik lainnya," ucap Nurhasan dalam keterangannya, Kamis (20/6/2019).
Dia menuturkan, jika dikaji dari sudut hukum, semua obyek perdebatan soal pulau reklamasi dan penerbitan IMB sudah bisa terlihat. Karena semua didasarkan pada aturan yang ada dan jelas. Sehingga, secara komprehensif, penerbitan IMB sudah sudah benar dan sah.
Salah satunya soal penyegelan pulau C lantaran tak memiliki IMB. Ini kan sudah dilakukan Pemprov DKI. Dan perusahaan yang disegel sudah diberi waktu untuk mengurusi IMB-nya.
"Sudah mendasarkan pada dan sesuai ketentuan Perda Nomor 7 Tahun 2010 tentang Bangunan Gedung, dan Pergub DKI Nomor 128 Tahun 2012 tentang Sanksi Administratif Bagi Pelanggaran Bangunan. Dengan penerbitan IMB tersebut, sesuai dengan ketentuan, sanksi penyegelan secara otomatis sudah gugur," jelas Nurhasan.
Soal menunggu adanya Perda zonasi untuk keluarnya IMB, menurut dia, perlu diingat bahwa Pemprov sendiri sudah memiliki Perda Nomor 1 tahun 2012 dan Nomor 1 tahun 2014, serta Pergub Nomor 121 tahun 2012 dan Nomor 206 tahun 2016. Sehingga, aturan tersebut sudah cukup untuk menerbitkan IMB.
"Sejumlah peraturan perundang-undangan tersebut, sudah sangat cukup menjadi dasar bagi untuk menerbitkan IMB bagi pembangunan bangunan di pulau-pulau hasil reklamasi. Artinya, Gubernur tidak perlu menunggu adanya Perda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan UU Nomor 27 tahun 2007," kata Nurhasan.
Di samping itu, masih kata dia, jika Gubernur diwajibkan menunggu adanya Perda dimaksud, maka berarti telah mendorong gubernur melakukan pelanggaran terhadap ketentuan UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
"Yaitu melakukan perbuatan sewenang-wenang, karena tidak memproses permohonan IMB yang diajukan oleh warga masyarakat/badan hukum," pungkasnya.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Penjelasan Anies
Sebelumnya, Anies menilai, Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 2016 Tahun 2016 yang dibuat Ahok menjadi dasar hukum pengembang atas bangunan yang ada di pulau reklamasi. Padahal, harusnya peraturan rencana tata kota diatur oleh Peraturan Daerah Rencana Detail Tata Ruang (Perda RDTR) dan tidak oleh Pergub.
Dalam kasus reklamasi, di 2016 itu belum ada Perda RDTR, lalu gubernur saat itu (Ahok) membuat Peraturan Gubernur yaitu Pergub 206/2016 yang isinya adalah rencana tata kota, atau biasa disebut dengan nama resmi Panduan Rancang Kota (PRK)," jelas Anies melalui sebuah pernyataan tertulis, Rabu (19/6/2019).
Anies mengaku tidak mengetahui alasan Ahok menerbitkan Pergub tersebut beberapa saat sebelum cuti kampanye Pemilihan Gubernur DKI 2017. Namun, dia tetap tidak menyalahkan Ahok atas keputusannya.
Meski begitu, Izin Mendirikan Bangunan (IMB) pun akhirnya diterbitkan Anies melalui Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta selaku salah satu pihak dalam Perjanjian Kerjasama sekaligus regulator.
Sebab, bangunan yang telah berdiri karena Pergub 206/2016 telah menjalankan semua keputusan pengadilan yang ada, termasuk membayar denda, sehingga IMB diperlukan.
"Sekarang jelas ya tentang yang saya maksudkan kemarin. Jika tidak ada Pergub 206/2016 itu maka tidak bisa ada kegiatan pembangunan apapun di sana, otomatis tidak ada urusan IMB dan lain-lain karena memang tidak punya dasar hukum untuk ada kegiatan membangun,” tutur Anies
Advertisement