Jakarta Barcelona dalam rentang 10 tahun terakhir jadi Raja Spanyol. Azulgrana berkali-kali jadi juara La Liga. Rival utama mereka, Real Madrid seperti tak bisa berbuat apa-apa. Tapi, musim depan ceritanya bisa beda.
Dalam lima tahun terakhir Barcelona memenangi empat gelar La Liga, yakni pada musim 2014-2015, 2015-2016, 2017-2018, 2018-2019. Sementara itu, Real Madrid hanya bisa mencuri gelar juara pada musim 2016-2017.
Baca Juga
Advertisement
Dominasi Barcelona mulai mencengkram saat Pep Guardiola jadi pelatih pada musim 1990–2001. Dengan permainan cantik Tiki-taka, Barcelona menjelma jadi tim super yang sulit diimbangi Real Madrid.
Barcelona beruntung di saat Pep datang, mereka sedang memiliki Generasi Emas La Masia. Andres Iniesta, Xavier Hernandez, Sergio Busquets, Gerrard Pique, dan juga Lionel Messi adalah deretan pemain berskill tinggi hasil didikan Akademi La Masia Barcelona.
Real Madrid berjuang mengimbangi Barcelona dengan mendatangkan pemain bintang. Hanya saja superstar macam Cristiano Ronaldo, Karim Benzema, Gareth Bale, Luka Modric, juga gagal mengakhiri rantai gelar Barcelona.
Real Madrid sukses merajai Liga Champions 10 tahun terakhir, namun seperti mati angin di persaingan domestik Negeri Matador.
Namun, melihat perkembangan terkini agaknya Barcelona harus bersiap-siap merelakan diri dominasi mereka di Spanyol bakal berakhir. Real Madrid bersiap jadi penguasa baru.
Bola.com punya alasan kenapa dominasi Barcelona di La Liga Bakal Dirontokkan Real Madrid. Simak ulasannya di bawah ini.
Kalah Gesit di Bursa Transfer
Nihil gelar musim lalu membuat Real Madrid berbenah. Zinedine Zidane melakukan peremajaan skuat dengan cekatan.
El Real kini sudah punya sosok pengganti Cristiano Ronaldo: Eden Hazard. Penyerang sayap asal Belgia tersebut diyakini bisa membuat lini serang Los Blancos kembali bertaji.
Hazard pemain dengan tipikal sama dengan Ronaldo atau Messi di Barcelona. Cepat, kreatif, sekaligus mematikan.
Los Blancos sudah membungkus lima pemain dan masih mengincar beberapa nama lagi. Madrid tak ingin membuang waktu.
Lima pemain tersebut adalah Eder Militao, Rodrygo Goes, Luka Jovic, Eden Hazard, dan yang teranyar Ferland Mendy. Sebagai tolok ukur, bursa transfer baru berjalan kurang lebih dua pekan. Madrid tidak membuang-buang waktu.
Zinedine Zidane memimpin proyek besar. Dia harus mengembalikan kekuatan Madrid sebagai salah satu raksasa Eropa. Setelah musim 2018/19 yang buruk, Zidane tahu Madrid memerlukan banyak perubahan.
Lima pemain itu tidak mudah didapatkan begitu saja. Menurut transfermakrt, Madrid harus mengeluarkan 45 juta euro untuk Rodrygo, 48 juta euro untuk Mendy, 50 juta euro untuk Militao, 60 juta euro untuk Jovic, dan 100 juta euro untuk Hazard. Total, Madrid sibuk dengan total 303 juta euro.
Transfer itu belum cukup, kabarnya Zidane masih bersikeras mendatangkan Paul Pogba, Galactico lainnya. Dia meminta pihak klub bekerja keras merayu Manchester United untuk melepaskan gelandang Prancis itu.
Jika Pogba datang bisa dibayangkan kekuatan Real Madrid akan seperti apa?
Advertisement
Generasi Emas La Masia Satu Per Satu Pergi
Tak bisa dimungkiri, superioritas Barcelona satu dekade terakhir karena mereka memiliki Generasi Emas La Masia. Kombinasi di antara mereka sulit ditandingi tim lain, termasuk Real Madrid.
Ditemba bersama sejak level junior serta diperkuat pondasi filosofi style bermain Tiki-taka secara turun menurun membuat Barcelona jadi tim yang punya jati diri yang kuat.
Hal itu tak dimiliki Real Madrid, yang skuatnya disesaki banyak pemain dengan backround berbeda.
Tapi masa-masa indah La Masia sudah berakhir. Satu per satu pemain yang jadi bagian generasi emas La Masia telah pergi pindah ke klub lain atau gantung sepatu karena faktor usia.
Tak ada kuartet gelandang Andres Iniesta dan Xavier Hernandez, Sergio Busquets, yang selama ini jadi mesin permainan Barcelona. Busquets satu-satunya gelandang jebolan La Masia yang tersisa di klub.
Total hanya tiga figur generasi emas La Masia yang tersisa di tim, yakni: Lionel Messi, Sergio Busquets, Gerrard Pique. Sisanya, skuat Barcelona dihuni pemain-pemain dengan didikan berbeda dari bermacam latar belakang.
Repotnya regenerasi La Masia stagnan. Tak ada lagi pemain ajaib macam Lionel Messi muncul. Sebagai gantinya Barcelona mendatangkan, Ivan Rakitic, Luis Suarez, Philippe Coutinho.
Mereka pemain hebat yang bisa menjaga stabilitas performa tim di level domestik. Hanya saja Barcelona tidak bisa terus menerus mengandalkan pemain yang sama untuk bisa menciptakan sulap.
Kegagalan Barcelona menjadi juara Liga Champions dua musim terakhir, sekalipun mereka banyak dijagokan pengamat, menunjukkan kalau Barcelona bukan lagi tim yang ada di planet berbeda. Mereka sama seperti tim lain yang punya kerapuhan.
Strategi Ernesto Valverde Mudah Terbaca
Saat didatangkan pada tahun 2017, banyak pihak meragukan kapasitas, Ernesto Valverde. Bukan soal potensi berprestasinya, tapi apakah Valverde bisa menjaga tradisi permainan Tiki-taka.
Saat aktif bermain, Valverde pernah berkiprah di Barcelona, namun ia sejatinya tidak pernah paham filosofi Tiki-taka yang dianut turun menurun di La Masia.
Dan benar saja, dua musim terakhir Barcelona bermain dengan gaya berbeda di tangan Ernesto Valverde. The Catalan bukan lagi yang doyan menggeber permainan ofensif tiada henti sepanjang laga.
Barcelona era Valverde lebih pragmatis dan cenderung defensif. Ia merubah pakem dasar 4-3-3 menjadi 3-5-2.
Sekalipun sukses mempersembahkan dua gelar La Liga, kritikan buat sang mentor tetap kencang bermunculan. Puncaknya saat ia gagal di dua semifinal Liga Champions terakhir.
Musim lalu Barcelona dipermalukan Liverpool dengan skor kekalahan telak 4-0, setelah sebelumnya sempat menang 3-0 di Camp Nou. Strategi Ernesto Valverde dianggap monoton gampang ditebak. Beda dengan Pep Guardiola yang dikenal dinamis dalam berstrategi.
Musim ini Ernesto Valverde bakal dibuat kelabakan menghadapi Zinedine Zidane yang tengah membuat revolusi di Real Madrid.
Advertisement