Liputan6.com, Islamabad - Pakistan akan membentuk lebih dari 1.000 sidang pengadilan, yang didedikasikan untuk menanggulangi kekerasan terhadap perempuan.
Rencana ini diumumkan oleh hakim tertinggi Pakistan pada Rabu 19 Juni, di mana untuk menutupi kesenjangan peradilan pidana yang diabaikan bertahun-tahun lamanya.
Baca Juga
Advertisement
Hakim Agung Pakistan Asif Saeed Khosa mengatakan sidang pengadilan khusus akan mengutamakan keselamatan para korban perempuan, saat berbicara di negara Muslim konservatif itu, di mana isu kekerasan dalam rumah tangga sering dianggap tabu, demikian sebagaimana dikutip dari The Guardian pada Jumat (21/6/2019).
Pakistan menyaksikan ribuan kasus kekerasan terhadap perempuan setiap tahunnya, mulai dari pemerkosaan dan siraman air panas, hingga penyerangan seksual, penculikan, dan apa yang disebut pembunuhan demi kehormatan.
"Kami akan memiliki 1.016 sidang pengadilan kekerasan berbasis gender di seluruh Pakistan, setidaknya satu seperti itu di setiap distrik," kata Khosa dalam sebuah pidato kepada sesama hakim yang disiarkan di televisi nasional.
"Suasana sidang pengadilan ini akan berbeda dari aktivitas sejenis lainnya, sehingga pengadu dapat berbicara sepenuh hati tanpa rasa takut," katanya.
845 Kasus Kekerasan pada Perempuan Selama 2018
Komisi Hak Asasi Manusia Pakistan, sebuah pengawas independen, melaporkan setidaknya 845 insiden kekerasan seksual terhadap perempuan terjadi selama 2018.
Tidak ada angka perbandingan, dan komisi sebelumnya mengatakan kekerasan terhadap perempuan tidak dilaporkan, terutama di daerah pedesaan, di mana kemiskinan dan stigma menghalangi korban untuk berbicara.
Menurut survei oleh Thomson Reuters Foundation pada tahun lalu, Pakistan menduduki peringkat keenam di dunia, sebagai negara paling berbahaya bagi perempuan.
Sementara itu, sidang pengadilan baru akan beroperasi di gedung pengadilan yang ada, tetapi menambahkan secara terpisah, agenda dengar pendapat tentang kekerasan dalam rumah tangga.
Kebijakan itu dimaksudkan untuk memberi kenyamanan bagi perempyan dalam menyampaikan kesaksian secara rahasia.
Advertisement
Berawal dari Punjab
Pengadilan percontohan semacam ini dibuka pada 2017 di Punjab, provinsi terpadat di Pakistan.
Ketua pengadilan tinggi setempat Mansoor Ali Shah, mengatakan pada saat itu, bahwa perempuan adalah anggota masyarakat yang paling rentan.
Dia juga menambahkan bahwa satu dari setiap tiga perempuan menjadi korban kekerasan fisik atau psikologis.
Para pegiat HAM mengatakan rencana sidang pengadilan berhasil lolos di parlemen pusat di ibu kota Lahore, dan bersiap untuk memperluas pelaksanaan programnya.
Romana Bashir, yang mengepalai Yayasan Perdamaian dan Pembangunan, sebuah organisasi non-pemerintah yang bekerja pada hak-hak perempuan, mengatakan itu adalah "langkah pengamanan yang luar biasa".
"Tentu saja perempuan akan didorong untuk berani berbicara menentang kekerasan berbasis gender. Akibatnya, perempuan akan mendapatkan keadilan," katanya.