Cerita Akhir Pekan: Jakarta, Aku akan Selalu Kembali

Jakarta dengan segala drama di dalamnya, Jakarta dengan semua kenangan di tiap jengkalnya.

oleh Asnida Riani diperbarui 22 Jun 2019, 08:30 WIB
Suasana Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) Gelora Bung Karno di Jalan Jend Sudirman, Jakarta, Senin (4/3) malam. JPO tersebut menjadi daya tarik tersendiri bagi pejalan kaki karena desainnya yang artistik dan Instagramable. (Liputan6.com/Fery Pradolo)

Liputan6.com, Jakarta - Jakarta, satu kata lusinan memori, satu kata jutaan deskripsi. Tepat hari ini, Sabtu (22/6/2019), Ibu Kota mantap menjejak usia 492 tahun. Belum bisa dikatakan tua jika dibandingkan kota-kota besar di dunia dengan peradaban ribuan tahun.

Tapi, dinamikanya boleh diadu. Tahun demi tahun, Jakarta berganti paras, bahkan sempat gonta-ganti nama. Mobilitas terbilang tinggi jadi satu pola pasti dari wilayah yang dulunya merupakan Kota Benteng tersebut.

Dampaknya tak hanya dirasakan orang asli Jakarta, para pendatang pun kurang-lebih terpapar isu serupa. Mereka berjuang melawan kerasnya pattern metropolitan di tengah rasa kerasan hidup di antara padat Hutan Beton.

"Enjoy saja nikmati segalanya. Karena bagimana ya, di sini tempat cari uang, di sini juga tempat tinggal bareng orang-orang yang disayang," kata Resty Pangesti, seorang perempuan yang lahir dan besar di Jakarta pada Liputan6.com lewat pesan singkat, Jumat, 21 Juni 2019.

Seorang perantau asal Malang, Jawa Timur, Danny Ardhana, juga mengaku lapang menerima Jakarta dan segala drama di dalamnya. "Sudah tahu dan tinggal adaptasi saja bagaimana," katanya lewat pesan singkat, Jumat, 21 Juni 2019. Di samping, Danny mengaku memang suka suasana metropolitan.

Kondisi serupa juga terjadi pada Abdul Dhio Ekaputra, lelaki asli Betawi yang menolak pergi dari Jakarta. "Gue sudah beberapa kali diajak keluarga pindah ke luar daerah karena (Jakarta) macet. Tapi, gue masih mau stay di sini, berkarier di sini," ujarnya ketika ditemui di kawasan Kemayoran, Jakarta Pusat, Jumat, 21 Juni 2019.

Kendati Resty mengaku, hidup di Jakarta bakal kian sulit saat tak punya banyak teman atau pengetahuan yang cukup. Danny yang datang ke Jakarta sejak April 2014 pun sempat mengalami kejadian kurang enak.

"Pengalaman pertama mau dicopet orang ke Jakarta Utara, aku naik metromini. Aku dihalang-halangi orang pas mau turun. Nah, pas metromini mau jalan lagi, aku lompat turun. Baru sadar tasku sudah kebuka," ceritanya.

Ia menambahkan, sempat kaget dengan biaya hidup Jakarta yang tak bisa dikatakan murah. "Waktu aku di Malang, beli makan Rp10 ribu saja sudah mahal. Pertama makan lalapan (di Jakarta), ngebatin, ini toh makanan Rp15 ribu di Jakarta," sambung lelaki yang bekerja sebagai desainer grafis sebuah perusahan di kawasan Jakarta Selatan tersebut.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Selalu Kembali ke Jakarta

Patung Selamat Datang Bundaran HI terlihat di jalan MH. Thamrin, Jakarta, Rabu (1/8). Anies menilai, adanya JPO menghalangi Patung Selamat Datang yang filosofinya untuk menyambut tamu manca negara saat Asian Games 1962 lalu. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Kembali ke Ibu Kota sering kali didasari hal personal. Bagi Resty, keluarga adalah alasan dirinya bakal selalu pulang ke Jakarta. "Orangtua, kakak, adik, dan teman-teman semuanya stay di Jakarta," tutur perempuan keturunan Makasaar-Jawa tersebut.

Sementara ragam kemudahan didaulat sebagai sebab Danny selalu kembali tertarik magnet Jakarta. "Kemudahan transportasi, teknologi, akses ke tempat ber-AC, kemudahan pembayaran, tempat hiburan lumayan banyak, dan jam malam yang sangat panjang," tuturnya.

Ditambah saat malam, udara Jakarta tidak terlalu dingin. "Itu yang aku suka. Jadi, suhu ruangan lah," tambahnya. Sementara identifikasi Jakarta sebagai rumah sudah sangat lekat bagi Dhio. Kenangan akan Ibu Kota terefleksi di banyak aspek, termasuk makanan.

"Buat keluarga gue sendiri, ada satu makanan namanya sayur babanci. Itu dia isiannya potongan daging sapi kecil ditambah parutan daging kelapa, disiram kuah yang bumbunya dibuat dari banyak rempah. Ditambah santan juga," jelas Dhio.

Ia menyambung, Betawi itu sebenarnya punya bahasa lain, bukan cuma logat dan kata diganti huruf 'E' di belakang. Tapi, berdasarkan penuturan Dhio, kosakata tersebut biasanya hanya dipakai orang-orang tua saja.

"Gue pernah coba belajar, tapi nggak nyambung jadi ngomongnya sama orang lain. Karena itu, akhirnya sehari-hari pun ngomong Bahasa Indonesia saja. Tapi, kalau logat menurut gue nggak hilang," katanya.


Harapan untuk Jakarta

Suasana kawasan pedestrian Kali Besar, Kota Tua, Jakarta Barat, Rabu (11/7). Proyek revitalisasi Kali Besar itu telah diresmikan dan dibuka untuk umum oleh Wakil Gubernur Sandiaga Uno akhir pekan lalu. (Liputan6.com/Arya Manggala)

Di usia ke-492, Dhio berharap Jakarta bisa lebih baik lagi. Tak semata tentang wajah, tapi juga orang-orangnya. "Semoga lebih terhindar dari kerusuhan, punya orang yang kredibel sama jujur," harap lelaki 25 tahun tersebut.

Danny mengharapkan Jakarta yang kian bersahabat. "Bisa jadi kota impian buat orang mengadu nasib walau sebentar lagi sudah nggak jadi Ibu Kota lagi," katanya.

Sementara Resty menganggap Jakarta sudah cukup indah dengan segala kekurangannya. "Cuma mau bilang terima kasih sampai 26 tahun ini jadi tempat mencari nafkah, jadi tempat tinggal saya dan orang-orang yang saya sayangi dengan banyak kenangan indah," tutupnya.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya