Liputan6.com, Washington DC - Kantor kepresidenan Amerika Serikat berencana menyiapkan paket pengembangan ekonomi untuk Palestina senilai US$ 50 miliar (sekira Rp 706,2 triliun), jika proposal perdamaian Israel - Palestina yang diajukan oleh pemerintahan Presiden Donald Trump membuahkan hasil positif.
Penasihat senior kepresidenan AS, Jared Kushner, diharapkan akan mengumumkan aspek ekonomi dari proposal perdamaian --yang populer dikenal dengan sebutan 'Deal of the Century'-- selama konferensi dua hari di Bahrain pekan depan.
Baca Juga
Advertisement
Dalam konferensi itu, investor internasional dan pejabat pemerintah asing, menyerukan kombinasi hibah, pinjaman berbunga rendah dan investasi swasta untuk jangka waktu 10 tahun --dengan setengah total nominal akan digelontorkan ke wilayah Palestina, sedangkan sisanya akan mengalir ke negara tetangga Mesir, Lebanon dan Yordania.
"Sudah terlalu lama rakyat Palestina terjebak dalam kerangka kerja yang tidak efisien di masa lalu," kata Kushner dalam sebuah pernyataan yang dirilis Sabtu, 22 Juni 2019, seperti dikutip dari CNN, Minggu (23/6/2019).
Kushner melanjutkan bahwa proyek ekonomi itu sebagai "sebuah visi tentang apa yang mungkin terjadi jika ada perdamaian" Israel - Palestina.
Paket US$ 50 miliar yang direncanakan akan meliputi: US$ 13,5 miliar dalam bentuk hibah; sekitar US$ 26 miliar pada pinjaman berbunga rendah; dan sekitar US$ 11 miliar dalam investasi modal swasta --semua diperuntukkan untuk ratusan proyek-proyek spesifik yang bertujuan meningkatkan ekonomi Palestina.
Satu proyek spesifik adalah koridor transportasi yang menghubungkan wilayah Palestina di Gaza dan Tepi Barat dengan biaya proyek senilai US$ 5 miliar.
Dibiayai Negara Arab
Gedung Putih berharap bahwa paket pengembangan ekonomi tersebut akan dibiayai terutama oleh negara-negara Arab dan investor swasta.
Paket ekonomi itu juga bertujuan untuk menciptakan satu juta pekerjaan baru di Tepi Barat dan Gaza, menggandakan produk domestik bruto Palestina dan mengurangi separuh tingkat kemiskinan Palestina, dua pejabat senior mengatakan kepada CNN, menanggapi laporan Reuters yang pertama kali memberitakan rincian proposal.
Tetapi proposal tersebut, walaupun spesifik dalam merinci 179 proyek, tetap bersifat teoretis: proposal itu tidak mencakup bantuan ekonomi yang dijamin untuk ekonomi Palestina yang sedang kesulitan, maupun janji keuangan dari perusahaan, pemerintah atau organisasi internasional untuk mendukung jumlah tersebut, kata seorang pejabat senior administrasi AS.
Sebaliknya, para pejabat administrasi AS berharap proposal tersebut akan merangsang diskusi tentang kemungkinan ekonomi perdamaian regional dan membangun tekanan pada warga Palestina untuk secara serius mempertimbangkan perjanjian damai dengan Israel.
Advertisement
Respons Palestina
Beberapa pejabat Palestina dengan cepat menolak proposal.
"Kedaulatan ekonomi ... adalah persyaratan pertama untuk kemakmuran," cuit Husam Zomlot, kepala Misi Palestina di London dan mantan perwakilan Otoritas Palestina (PA) di AS.
Hanan Ashrawi, seorang anggota komite eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), salah satu fraksi politik utama Palestina, juga menolak rencana itu, dan menyerukan prioritas untuk mengakhiri pendudukan Israel.
"Pertama-tama angkatlah pengepungan di Gaza, hentikan pencurian Israel atas tanah, sumber daya dan dana kami, beri kami kebebasan bergerak dan kontrol atas perbatasan, wilayah udara, perairan teritorial, dll. Lalu saksikan kami membangun ekonomi makmur yang bersemangat sebagai orang yang bebas dan berdaulat," cuit Ashrawi.
Tanggapan Israel
Anggota oposisi Parlemen Israel, Yair Lapid mengkritik salah satu aspek proposal paket pengembangan ekonomi yang diajukan AS, yakni berkenaan koridor transportasi yang menghubungkan wilayah Palestina di Gaza dan Tepi Barat dengan biaya proyek senilai US$ 5 miliar.
Lapid tak mempermasalahkan anggaran yang diajukan, namun, mengkritik bahwa proyek semacam itu harus dibarengi dengan jaminan keamanan untuk Israel.
Mengomentari rencana Gedung Putih secara umum, Lapid menyebutnya sebagai "upaya konstruktif" untuk membawa kembali Palestina ke meja perundingan, tetapi menyatakan skeptis, mengingat kepemimpinan politik di pihak Israel dan Palestina.
Dia juga meragukan kesediaan negara-negara Arab untuk mendanai sebagian besar paket US$ 50 miliar itu.
"Dari pengalaman kami: mereka akan mengatakan 'ya' dan kemudian menghilang," katanya.
Advertisement
Seruan Boikot dari Palestina
Proposal ekonomi Gedung Putih adalah bagian pertama dari rencana perdamaian Israel - Palestina yang akan dirilis secara publik sejak penasihat kepresidenan AS, Jared Kushner dan utusan khusus AS untuk negosiasi Timur Tengah Jason Greenblatt mulai menyusun proposal tersebut dua setengah tahun yang lalu.
Gedung Putih tidak berencana untuk mengungkap komponen politik dari 'Deal of the Century' --yang akan membahas isu-isu paling sulit dari konflik seperti kenegaraan, status Yerusalem, masalah keamanan dan pengungsi-- pada konferensi Bahrain pekan depan. Untuk aspek politik, AS akan menunda pengumuman hingga setidaknya setelah pemilu Israel pada September 2019.
Sementara itu, kritikus telah mendiskreditkan Konferensi Bahrain, dengan mengatakan bahwa sulit untuk mencapai kesepakatan ekonomi tanpa dibarengi konsolidasi politik dari para pihak yang terlibat konflik Israel - Palestina.
"Anda tidak dapat melakukan pembangunan ekonomi yang serius tanpa menyelesaikan masalah keamanan dan politik yang memungkinkan investor dan pertumbuhan ekonomi internal dan lapangan kerja," kata Aaron David Miller, mantan perunding dan analis masalah Timur Tengah untuk pemerintahan AS seperti dikutip dari the Washington Post.
Otoritas Palestina --yang memutuskan hubungan politik dengan Gedung Putih setelah Presiden Donald Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel pada Desember 2017-- memboikot konferensi Bahrain. Hal itu berujung pada langkah pemerintah AS yang dikabarkan membatalkan rencananya untuk mengundang pejabat pemerintah Israel pada konferensi.
Para pejabat Palestina telah mengecam pendekatan pemerintahan AS yang tidak konvensional untuk pertama-tama merilis proposal ekonomi terlebih dahulu ketimbang konsolidasi politik.
Ramallah menuduh pemerintahan Trump berusaha menyuap warga Palestina dengan paket ekonoi agar menerima apa yang mereka yakini sebagai syarat perdamaian yang "di bawah standar Palestina." Pemerintahan Trump dengan tegas menolak karakterisasi semacam itu.