Liputan6.com, Bangkalan Menulis sosok Maisun tak ubahnya merekam sejarah batik Madura. Meski usianya relatif muda, 38 tahun, Maisun adalah maestro batik gentongan. Di Tanjung Bumi, satu-satunya kecamatan sentra batik di Kabupaten Bangkalan, hanya tersisa dua maestro batik gentongan. Satu salah satunya adalah Maisun.
Kecamatan Tanjung Bumi terletak di pesisir utara Madura. Dari pusat kota Kabupaten Bangkalan, butuh dua jam untuk mencapai sentra batik ini. Ada 12 desa di Tanjung Bumi, tapi sentra batik terpusat di tiga desa, yaitu Desa Telaga Biru, Paseseh. Sang maestro tinggal di Desa Paseseh.
Baca Juga
Advertisement
Awal Juni lalu, ditemani kakaknya, Maisun memandu saya melihat "ruang kerjanya" yang sempit dan pengap. Ruang itu tak lebih semester lebarnya dan sekitar tiga meter panjangnya. Ruangan itu hanya memanfaatkan sisa lahan di belakang rumahnya yang mepet dengan dinding belakang rumah tetangganya.
Sudah sempit, ruangan itu juga penuh sesak oleh aneka barang. Yang paling mencolok, empat buah gentong, berjejer menempel dinding. Dua besar dan dua lainnya mini.
Meski sempit, tapi dari ruang kecil itulah, batik gentongan Tanjung Bumi diproduksi. Batik yang harganya jutaan, batik yang waktu pembuatannya butuh waktu berbulan-bulan.
"Dinamai gentongan karena direndam dalam gentong," kata Maisun, soal asal muasal nama batik gentongan.
Pewarna alami Batik Gentongan
Di lorong yang sempit tadi, ada pintu yang tembus ke ruangan lain. Meski lebih luas, ruangan itu juga minim cahaya. Ada dua ember bekas cat tembok dekat pintu. Maisun membuka salah satunya dan bau menyengat pun menyeruak. Isinya cairan serupa jeli, warna hijau tua.
"Ini daun tarum yang sudah difermentasi," kata dia menjelaskan isi ember tadi.
Proses fermentasi daun tarum cukup mudah. pertama daun tarum dilepas dari tangkai, kemudian direndam dalam ember isi air. Agar perendaman sempurna, daun ditindih batu dan dibiarkan semalam suntuk.
Esoknya, tumpukan daun dibalik dan direndam lagi selama semalam. Setelah perendaman selesai, daun dibuang. Air yang telah menghijau dicampur kapur juga gula aren. Setelah dicampur kapur, maka warna akan berubah menjadi dongker.
"Kapur ini untuk mengikat warna dalam air," ujar Maisun.
Langkah berikutnya, endapan warna dalam kapur itulah kemudian dituangkan dalam gentong yang telah dicampur air biasa, air kelapa, dan gula aren.
Setelah campuran dalam gentong siap, kain yang sudah dibatik dan ditutup malan atau lilin cair. Direndam dalam gentong satu malam. Paginya diangin-anginkan, malamnya lain direndam lagi. Begitu terus-menerus, sampai warna benar-benar melekat pada kain.
"Kalau ingin warna lebih tua, rendam lebih lama. Kalau ingin lebih muda, rendamnya sebentar saja," tutur Maisun.
Advertisement
Tak bisa menghindari pewarna tekstil
Batik gentongan Tanjung Bumi identik dengan warna yang cerah dan ngejreng. Biasanya kuning terang, merah ngejreng atau dongker, atau kombinasi ketiga warna dalam satu kain.
Warna dongker berasal dari daun tarum. Warna kuning dari buah mengkudu. Warna merah dari akar mengkudu. Maisun mengakui tidak lagi memakai mengkudu dan akarnya karena kedua bahan sangat langka.
Mau tidak mau, dua warna itu diganti pewarna tekstil. Sehingga, dalam satu kain batik gentongan, hanya warna dongker yang bertahan pakai pewarna alam. Karena daun tarum yang tumbuh liar relatif mudah didapat tanpa harus menebang pohon.
"Kalau ada yang mesan kuning atau merah, saya pakai pewarna kimia. Bahan mengkudunya sulit. Apalagi harus nebang pohon dan hanya dipakai akarnya," ungkap Maisun.
Sisi Mistis Batik Gentongan
Yang menarik dari Batik Gentongan adalah sisi mistis di balik pembuatannya yang memakan waktu berbulan-bulan itu. Saat merendam kain dalam gentong, Maisun harus berwudu lebih dahulu, harus suci dari semua hadas. Juga tak boleh sedang datang bulan. Pada malam Jumat tertentu, gentong tempat merendam kain, harus diasapi dengan kemenyan.
"Kalau pantangan itu dilanggar, anehnya kain bisa rusak. Kalau pun enggak rusak, pewarnaannya gagal," kata dia.
Maka, proses pewarnaan yang lama dan rumit itu, jadi penentu harga selembar batik gentongan. Menurut Maisun, bila ada pemesan batik gentongan mengorder full, artinya mulai dari membatik hingga mewarnai dipasrahkan ke Maisun, ia memasang tarif 1 hingga 2 juta perlembar.
Sementara bila hanya order pewarnaan, tarifnya bergantung warna, apakah strong atau soft. Tarifnya berkisar antara 400 hingga 500 ribu.
Menurut Maisun, proses pewarnaan alam yang lama dan ribet itulah yang menyebabkan tidak banyak pebatik yang menekuni batik gentongan. Kebanyakan perajin memilih menekuni batik lukis biasa, dengan bahan kimia, karena lebih cepat menghasilkan uang.
Advertisement
Satu Batik Banyak Tangan
Cukup lama juga perjalanan berkeliling ke sentra batik Tanjung Bumi, hampir seharian. Nur Alim, teman seperjalanan, baru menyadari bahwa dalam sehelai batik yang kita pakai, ternyata dikerjakan banyak tangan. Tiap pembatik punya spesialisasi. Maisun, misalnya hanya ahli pewarnaan.
"Tiap selembar batik, hasil kerja sama apik antar perajin," kata Nur Alim membuat kesimpulan.
Tahap awal membatik disebut areng-reng, yaitu melukis motif batik di kain putih dengan pulpen atau pensil. Beberapa perajin di Tanjung Bumi hanya menerima orderan khusus areng-reng. Bentuk lukisannya biasanya batik dasar tanpa motif.
Setelah areng-reng, tahap berikutnya disebut isian. Ada perajin yang khusus menerima order di bagian ini. Batik yang sudah direng-reng tadi, kemudian dilapisi malam atau lilin cair mengikuti lukisan pensilnya.
Di sinilah kemudian motif dibentuk sesuai keinginan. Motif yang gampang dan murah harganya adalah motif krocok. Motif yang agak mahal disebut durian. Untuk motif gentongan biasanya motif yanh disebut bangompai.
Gampangnya, makin sulit dan padat motifnya. Makin mahal harganya batiknya. Sebaliknya, motif yang gampang, murah pula harganya.
"Yang paling mahal itu, motifnya rumit dan dilukis bolak-balik," kata Sofia, pebatik Tanjung Bumi yang mengkhususkan diri spesialisasi Areng-reng.
Tidak hanya bagi orang luar, bagi para perajin batik sendiri, memiliki batik gentongan juga kebanggaan. Sofia, misalnya, juga punya batik gentongan warisan leluhur. Batiknya jadi 'benda pusaka' dan disimpan dalam lemari sebagai pajangan walau ada bagian yang robek.
"Saya ada batik gentongan punya leluhur. sudah ada robeknya, tetap saya simpan. Biasanya ada kolektor yang cari, pasti mahal," ungkap dia.