Piutang Pemerintah Jadi Penolong Utama Kinerja Keuangan Pertamina

Pertamina mencatatkan laba bersih USD 2,53 miliar atau setara Rp 35,99 triliun.

oleh Ilyas Istianur Praditya diperbarui 24 Jun 2019, 09:45 WIB
Petugas mengecek alat LNG di salah satu pusat perbelanjaan di Balikpapan, Kalimantan Timur, (27/10/2015). Untuk mempertahankan komitmennya, PT. Pertamina Gas (Pertagas) menyalurkan LNG untuk kebutuhan mal besar. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

 

Liputan6.com, Jakarta - PT Pertamina (Persero) merilis laporan keuangan 2018 pada akhir Mei yang lalu. Perusahaan migas tersebut sukses mempertahankan kinerja laba bersih, meski sebelumnya dikabarkan menderita penurunan laba, bahkan merugi.

Namun telisik, menurut Direktur Eksekutif Economic Action Indonesia (EconAct), piutang kepada pemerintah dianggap sebagai penolong utama bagi keuangan perusahaan tersebut.

Pertamina mencatatkan laba bersih USD 2,53 miliar atau setara Rp 35,99 triliun (dengan kurs Rp 14.200 per dolar AS) pada 2018. Raihan tersebut tercatat turun tipis 0,3 persen dibandingkan tahun sebelumnya yakni sebesar USD 2,54 miliar.

"Tentu angka tersebut adalah lonjakan kinerja keuangan yang sangat signifikan karena pada laporan terakhir yang dipublikasikan September 2018, torehan laba Pertamina hingga kuartal III hanya sekitar Rp 5 triliun," terangnya kepada Liputan6.com, Senin (24/6/2019).

Sejatinya, lanjut Rony, dalam konteks khusus, berbeda dengan perusahaan swasta atau BUMN yang lain, kinerja Pertamina memang lebih banyak ditentukan oleh kebijakan pemerintah.

Sebagai BUMN yang mendapatkan penugasan pemerintah untuk menjual produk yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak, dua BUMN tersebut tidak bisa leluasa menentukan harga jual ke pasar.

"Demi menjaga daya beli masyarakat, pemerintah kerap menetapkan harga jual bahan bakar minyak (BBM). Kebijakan pengaturan harga itu membuat Pertamina harus menanggung beban lebih besar dalam menjalankan operasionalnya," papar Ronny yang juga sebagai tim ahli ekonomi dari Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) tersebut.

Dijelaskannya, sepanjang 2018, Pertamina membukukan pendapatan USD 57,9 miliar atau meningkat 25 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, peningkatan besar terjadi pada pos subsidi pemerintah dan pendapatan/aktivitas operasi lainnya.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Subsidi Pemerintah

(Istimewa)

Subsidi pemerintah meningkat hingga 60 persen menjadi USD 5,6 miliar dibandingkan tahun sebelumnya. Sedangkan pendapatan lainnya tercatat USD 3,9 miliar atau melonjak 427 pereen dibandingkan 2017 yang hanya USD 740 juta.

Hasil signifikan juga terlihat pada penjualan ekspor minyak yang naik dua kali lipat. Pada 2018, nilai ekspor mencapai USD 3,6 miliar. Sementara itu, penjualan dalam negeri hanya naik 12 persen menjadi USD 44,7 miliar. Padahal, penjualan dalam negeri merupakan pos pendapatan yang memiliki porsi terbesar.

Penjualan dalam negeri ini melingkupi minyak mentah, gas bumi, energi panas bumi, hingga produk minyak. Jika dikurangi subsidi dan pendapatan lainnya, Pertamina membukukan pendapatan utama sebesar USD 48,4 miliar atau naik sebesar 16 persen jika dibandingkan tahun sebelumnya.

Penjualan terbesar Pertamina masih bersumber pada produk utama yakni BBM dan gas. Penjualan BBM jenis khusus Perta Series mencapai USD 11,2 miliar dan Minyak Solar USD 10,7 miliar. Kedua jenis BBM tersebut sama-sama mencatat kenaikan 14 persen dibandingkan tahun 2017.

Peningkatan cukup besar terjadi pada penjualan LPG, petrokimia, pelumas dan lainnya. Bagian ini mencatatkan penjualan USD 8,2 miliar, naik 90 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara itu, penjualan bensin jenis Premium turun 16,9 persen. Sepanjang 2018, nilai penjualannya USD 4,5 miliar.

 


Beban Penjualan

Langit Biru yang berpadu dengan Gedung Pertamina Pusat (dok. Linda)

Namun, peningkatan pendapatan utama dari pos penjualan tersebut masih belum mampu menutupi beban penjualan dan operasional lainnya. Beban pokok yang ditanggung Pertamina pada 2018 mencapai USD 48,7 miliar atau meningkat 29,4 persen dibandingkan tahun 2017.

Beban operasional tersebut terdiri dari beban pokok penjualan, produksi hulu dan lifting, eksplorasi, dan aktivitas operasi lainnya. Beban tertinggi dialami beban pokok penjualan sebesar USD 42,7 miliar atau 88 persen dari total beban yang ditanggung Pertamina.

Dengan beban operasional yang mencapai USD 48,7 miliar dan pendapatan utama dari penjualan hanya USD 48,4 miliar, alhasil Pertamina belum bisa mencetak laba usaha secara mandiri dan masih mencatat minus sekitar USD 300 juta.

"Defisit tersebut kemudian tertutupi oleh suntikan dana pemerintah melalui berbagai pos dalam APBN," jelas Ronny.

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya