Liputan6.com, Jakarta - Penasihat senior kepresidenan AS, Jared Kushner mengumumkan pada pada Sabtu, 22 Juni 2019 tentang proyek ekonomi sebesar US$ 50 miliar, jka proposal perdamaian Israel - Palestina yang diajukan oleh pemerintahan Presiden Donald Trump membuahkan hasil positif.
Setengah total nominal akan digelontorkan kepada Palestina, sisanya kepada negara-negara tetangga. Kushner yang juga merupakan menantu Trump itu, menyebutnya sebagai "visi untuk apa yang mungkin terjadi jika ada perdamaian" Israel-Palestina.
Baca Juga
Advertisement
"Sudah terlalu lama rakyat Palestina terjebak dalam kerangka kerja yang tidak efisien di masa lalu," kata Kushner dalam sebuah pernyataan yang dirilis Sabtu, 22 Juni 2019, seperti dikutip dari CNN.
Mahmoud Abbas, presiden Palestina, segera menolak rencana itu, dengan mengatakan "situasi ekonomi tidak boleh dibicarakan sebelum situasi politik" sebagaimana dikutip dari The Independent, Senin (24/6/2019).
"Selama tidak ada solusi politik, kami tidak berurusan dengan solusi ekonomi apa pun", katanya seperti dikutip kantor berita WAFA.
Jibril Rajoub, seorang pejabat senior Fatah, menggemakan kata-kata Abbas, mengatakan kepada lembaga penyiaran publik Israel: "Jalur ekonomi bukan solusi" dan bahwa dana itu "tidak berarti selama pendudukan terus berlanjut".
Palestina Tidak untuk Dijual
Hanan Ashrawi, anggota Komite Eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) juga mengatakan hal yang senada dengan kelompok-kelompok lainnya.
"Pertama-tama hentikan pengepungan Gaza, hentikan pencurian Israel atas tanah, sumber daya, dan dana kami, beri kami kebebasan bergerak dan kontrol atas perbatasan, wilayah udara, perairan teritorial, dll. Kemudian perhatikan kami untuk membangun ekonomi ... sebagai (pihak) yang bebas dan berdaulat," katanya.
Sementara itu, kelompok Hamas yang berbasis di Gaza, dengan tegas menjawab penawaran Kushner: "Palestina tidak untuk dijual."
Rencana ekonomi yang merupakan bagian dari proposal perdamaian Israel-Palestina ala Donald Trump itu akan dibahas dalam lokakarya di Bahrain yang akan berlangsung selama dua hari.
Otoritas Palestina memboikot konferensi. Ismail Haniyeh, pemimpin politik Hamas, telah siap mendesak Raja Hamad Bahrain untuk membatalkan pertemuan.
Sementara itu, Gedung Putih juga tidak mengundang pemerintah Israel.
Meskipun ada kemunduran, Washington masih mendorong maju, mengatakan pihaknya percaya rencana itu dapat membangun kembali wilayah Palestina dan membantu mengakhiri krisis politik dengan Israel.
Salah satu proyek terbesar akan membangun jalan raya dan mungkin jalur kereta api yang melintasi Israel dan menghubungkan Tepi Barat yang diduduki dan Jalur Gaza yang diblokade, yang berjarak sekitar 25 mil dari satu sama lain.
Advertisement
Tanggapan Israel
Paket ekonomi senilai US$ 50 miliar yang direncanakan akan meliputi: US$ 13,5 miliar dalam bentuk hibah; sekitar US$ 26 miliar pada pinjaman berbunga rendah; dan sekitar US$ 11 miliar dalam investasi modal swasta --semua diperuntukkan untuk ratusan proyek-proyek spesifik yang bertujuan meningkatkan ekonomi Palestina.
Satu proyek khusus adalah koridor transportasi yang menghubungkan wilayah Palestina di Gaza dan Tepi Barat dengan biaya proyek senilai US$ 5 miliar.
Anggota oposisi Parlemen Israel, Yair Lapid mengkritik salah satu aspek proposal paket pengembangan ekonomi yang diajukan AS, yakni berkenaan koridor transportasi yang menghubungkan wilayah Palestina di Gaza dan Tepi Barat dengan biaya proyek senilai US$ 5 miliar.
Lapid tak mempermasalahkan anggaran yang diajukan, namun, mengkritik bahwa proyek semacam itu harus dibarengi dengan jaminan keamanan untuk Israel.
Mengomentari rencana Gedung Putih secara umum, Lapid menyebutnya sebagai "upaya konstruktif" untuk membawa kembali Palestina ke meja perundingan, tetapi menyatakan skeptis, mengingat kepemimpinan politik di pihak Israel dan Palestina.
Dia juga meragukan kesediaan negara-negara Arab untuk mendanai sebagian besar paket US$ 50 miliar itu.
"Dari pengalaman kami: mereka akan mengatakan 'ya' dan kemudian menghilang," katanya.