Liputan6.com, Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdaganganIndonesia pada Mei 2019 mengalami surplus sebesar USD 0,21 miliar. Realisasi ini membaik dari posisi neraca perdagangan April 2019 yang defisit sebesar USD 2,5 miliar.
"Neraca perdagangan Maret 2019 mengalami surplus USD Meskipun hanya kecil surplusnya, namuan ini setidaknya jadi snyal positif," ujar Kepala BPS, Suhariyanto saat memberi keterangan pers di Kantor Pusat BPS, Jakarta, Senin (24/6).
Suhariyanto mengatakan nilai laju ekspor dan impor pada Mei 2019 memang mengalami penurun, meski demikian nilai kinerja ekspor jauh lebih tinggi. Hal ini membuat neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus.
Baca Juga
Advertisement
Di mana nilai impor sebesar USD 14,53 miliar atau turun 5,62 persen dari bulan sebelumnya, sedangkan ekspor tercatat sebesar USD 14,74 miliar atau naik sebesar 12,42 persen dari bulan April 2019.
"Setidaknya ini masih bagus dibandingkan defisit, meskipun dalam posisi ideal dengan menggenjot ekspor dan mengendalikan impor," katanya.
Secara rinci, Suhariyanto membeberkan pada komoditas non migas tercatat surplus USD 1,18 miliar. Sedangkan, migas mengalami defisit sebesar USD 977,8 juta. Defisit migas terdiri dari nilai minyak mentah yang mengalami defisit USD 477,5 juta dan hasil minyak defisit US D1,12 miliar. Namun pada gas tercatat surplus USD 621,9 juta.
"Posisi surplus bulan Mei 2019 memang bukan hal yang ideal, karena seharusnya ekspor meningkat dan impor turun, maka surplus. Sedangkan ini keduanya turun namun surplus. Tetapi setidaknya ini lebih baik karena tidak defisit," jelas dia.
Adapun secara sepanjang Januari-Mei 2019 kinerja neraca perdagangan Indonesia tercatat defisit sebesar USD 2,14 miliar. Realisasi ini lebih baik dari periode Januari-Mei 2018 yang defisit sebesar USD 2,87 miliar.
"Realisasi ini juga dipengaruhi kondisi perekonomian global yang saat ini sedang tidak mudah. Negara tujuan ekspor kita mengalami perlambatan, harga komoditas kita juga berfluktuatif," katanya
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Jurus Pemerintah Atasi Defisit Neraca Dagang Migas
Pemerintah akan mengubah pencatatan status minyak mentah yang didapat PT Pertamina (Persero), dari sumur minyak yang dikelolanya di luar negeri. Hal ini untuk menghindari defisit neraca migas.
Wakil Menteri Energi Sumer Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar mengatakan, saat ini pemerintah sedang melakukan kajian untuk merubah status minyak bagian Pertamina, dari sumur luar negeri yang sebelumnya dikategorikan impor menjadi devisa masuk.
"Sedang merumusan bagaimana volume entitlement Pertamina luar negeri yang masuk dicatat sebagai devisa bukan impor," kata Arcandra, di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (24/5/2019).
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Darmin Nasution mengungkapkan, salah satu penyebab defisit neraca perdagangan adalah produksi migas Pertamina dari luar negeri kemudian dibawa ke dalam negeri, dicatat sebagai barang impor
"Itulah yang menyebabkan defisit neraca perdagangan menjadi lebar,” kata Darmin.
Saat ini Pertamina telah memiliki sejumlah blok migas di 12 negara. Di Aljazair memiliki hak partisipasi di Blok Menzel Lejmet North (MLN), El Merk (EMK), dan Ourhoud (OHD). Di Irak, perseroan memegang saham di Lapangan West Qurna 1. Sementara di Malaysia, perseroan memegang kepemilikan saham di Blok K, Blok Kikeh, Blok SNP, Blok SK309 dan Blok SK311.
Selanjutnya, pasca akuisisi perusahaan migas Perancis, Maurel&Prom, perseroan memiliki aset migas yang tersebar di Gabon, Nigeria, Tanzania, Namibia, Kolombia, Kanada, Myanmar, Italia, dan negara lainnya. Namun, aset utamanya yang telah berproduksi yakni di Gabon, Nigeria, dan Tanzania.
Advertisement
Respon Jokowi Soal Defisit Neraca Dagang RI Tembus USD 2,5 Miliar
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia pada April 2019 defisit sebesar USD 2,5 miliar. Defisit dipicu defisitnya sektor migas sebesar USD 1,49 miliar, dan non-migas senilai USD 1,01 miliar.
Defisit neraca perdagangan tersebut merupakan yang terparah sepanjang sejarah, melampaui perolehan pada Juli 2013 lalu yang sebesar USD 2,33 miliar.
Menyikapi hal tersebut, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan, defisit neraca perdagangan memang merupakan persoalan besar. Kunci utama untuk memangkas defisit tersebut ialah penguatan ekspor.
"Tapi rumusnya, kalau ekspornya tidak meningkat, substitusi impornya tidak diproduksi sendiri di dalam negeri, sampai kapanpun enggak akan rampung mulu," ujar dia di Bendungan Rotiklot, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, Senin (20/5/2019).
Dengan begitu, ia melanjutkan, industrialisasi dan hilirisasi menjadi kunci utama sehingga negara bisa memproduksi barang jadi ketimbang bahan mentah.
"Oleh sebab itu kuncinya industrialisasi. Kuncinya hilirisasi. Jangan sampai ngirim bahan mentah, jangan sampai ngirim raw material. Semuanya harus ada nilai tambah di dalam negeri. Kuncinya di situ aja," tegasnya.
"Kayak sekarang ini sudah kerjakan avtur, sekarang udah enggak impor. Kerjain di sini nanti mulai bulan depan sudah enggak ada impor avtur dan solar," dia menambahkan.
Jokowi pun mempermasalahkan bilamana Indonesia ke depannya masih terus bergantung kepada impor tanpa bisa memproduksi barang jadi sendiri.
"Sampai kapan pun defisitnya pasti akan besar kalau impor, enggak usah diceritain. Yang paling penting itu bagaimana menyelesaikan persoalan itu," pungkas dia.
Genjot Pertumbuhan Ekspor, Pemerintah Perlu Buka Pasar Baru
Wakil Ketua Komite Ekonomi Industri Nasional (KEIN), Arif Budimanta mengatakan, dampak dari perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China akan berimbas pada pertumbuhan ekspor Indonesia.
Sebab, ketegangan dari kedua negara itu berpotensi menghambat ekspor pada 2019. Arif mengatakan, untuk mencegah terjadinya perlambatan terhadap pertumbuhan ekspor maka salah satu upayanya adalah dengan memperluas pasar baru.
Selama ini, kedua negara tersebut tersebut masih menjadi pasar potensial bagi Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pangsa ekspor Indonesia ke Tiongkok mencapai sebesar 14,85 persen dengan total nilai USD 7,27 miliar.
Sementara pangsa ekspor Indonesia ke AS sendiri sebesar 11,32 persen, dengan total nilai mencapai USD 5,54 miliar.
"Pemerintah harus fokus membuka pasar ekspor baru. Negara-negara Afrika bisa menjadi potensial ekspor Indonesia," kata Arif dalam acara press briefing, di Jakarta, Jumat (17/5/2019).
Arif menuturkan, dalam upaya perluasan pasar baru ini pemerintah perlu memperhatikan secara seksama. Artinya tidak sembarangan dalam mendekati negara-negara asal tujuan eskpor. Terlebih, harus memiliki jumlah populasi yang besar.
"Terhadap pasar pasar baru tidak semua negara juga kita dekati, tapi secara komposisi penduduk banyak misal Nigeria, 190 juta, Afrika Selatan, Mesir 100 juta penduduk kalau kita ekspor dagang ke penduduk yang sampai 4 juta agak kurang, harus masuk ke populasi besar" ujar dia.
Advertisement