Diplomat Saudi Imbau Palestina Pertimbangkan Proposal Perdamaian AS

Diplomat Arab Saudi mengimbau agar Palestina mempertimbangkan proposal perdamaian Timur Tengah usulan Amerika Serikat.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 24 Jun 2019, 14:33 WIB
Warga Palestina bergaya seperti karakter dari film "Avatar" mengibarkan bendera selama protes menuntut hak untuk kembali ke kampung halaman mereka di perbatasan Israel-Gaza, Timur Khan Yunis di Gaza selatan Strip, (4/5). (AFP Photo/Said Khatib)

Liputan6.com, Tel Aviv - Seorang diplomat Arab Saudi yang anonim mengimbau agar Palestina mempertimbangkan proposal perdamaian Timur Tengah usulan Amerika Serikat (AS), yang salah satu poin utamanya berkutat pada upaya penyelesaian konfliknegara itu dengan Israel.

Komentar tersebut datang menjelang pengumuman porsi ekonomi dari proposal perdamaian Timur Tengah usulan Presiden Donald Trump yang telah lama ditunggu, populer dikenal sebagai 'Kesepakatan Abad Ini' atau 'the Deal of the Century'.

Porsi ekonomi proposal itu diumumkan pekan ini, dalam pertemuan tingkat tinggi di Manama, Bahrain (Konferensi Bahrain) 25-26 Juni, yang akan dihadiri AS dan delegasi negara Arab dan Timur Tengah. Sementara porsi politik akan diumumkan setidaknya September 2019.

Palestina memboikot konferensi Manama, menilainya cenderung menguntungkan Israel mengingat kedekatan mereka dengan AS. Ramallah juga menganggap bahwa AS berusaha membuat Palestina tunduk dalam proses negosiasi selanjutnya, dengan mengikat mereka menggunakan 'paket ekonomi' terlebih dulu sebelum pembicaran aspek politik dilaksanakan.

Namun, seorang diplomat level top Saudi menilai bahwa proposal AS merupakan "kesempatan untuk menormalisasi hubungan" antara Israel - Palestina yang tak hanya menguntungkan kedua negara, "namun juga seluruh jazirah Arab."

"Pertama-tama, Anda harus memahami bahwa Saudi memiliki komitmen dan tanggung jawab kepada Palestina ... Dan, Raja (Salman) serta Putra Mahkota (Mohammed bin Salman) telah membujuk Palestina untuk mempertimbangkan berbagai opsi serius mengenai pengembangan ekonomi dan politik," kata diplomat itu seperti dikutip dari the Globes Israel, Senin (24/6/2019), seraya menambahkan bahwa pandangan yang disampaikannya adalah opini pribadi, dan tak mewakili kebijakan luar negeri Saudi secara umum.

Bujukan itu termasuk kesediaan Saudi dan negara Arab lain untuk berinvestasi dalam proposal paket pengembangan ekonomi yang diusulkan AS, sebagai upaya untuk mengangkat Palestina dari keterpurukan finansial mereka saat ini, nilai sang diplomat.


Paket Ekonomi Usulan AS

Palestina (iStock)

Amerika Serikat dikabarkan hendak menyiapkan paket pengembangan ekonomi senilai US$ 50 miliar - US$ 60 miliar untuk Palestina, dengan sebagian besar dana datang dari berbagai skema finansial kolektif negara-negara Arab dan pihak swasta.

Paket yang direncanakan akan meliputi: US$ 13,5 miliar dalam bentuk hibah; sekitar US$ 26 miliar pada pinjaman berbunga rendah; dan sekitar US$ 11 miliar dalam investasi modal swasta --semua diperuntukkan untuk 179 proyek spesifik, namun teoritis, yang bertujuan meningkatkan ekonomi Palestina.

Satu proyek spesifik adalah koridor transportasi yang menghubungkan wilayah Palestina di Gaza dan Tepi Barat dengan biaya proyek senilai US$ 5 miliar.

"Kami dan negara lain bersedia menginvestasi sejumlah besar dana yang bahkan tidak akan pernah bisa dibayangkan oleh Palestina sebelumnya. Dan jika skema itu mulai berjalan ... itu akan berdampak pada kemerdekaan penuh Palestina," kata sang diplomat Arab Saudi kepada the Globes Israel.

Soal aspek politik dari 'the Deal' yang akan dibicarakan pada tahapan kemudian, diplomat Saudi itu juga menilai optimis proposal yang diajukan AS --termasuk pada isu sengketa Yerusalem dan Al Quds Al Sharif.

"Kami yakin bahwa isu yang paling rumit sekalipun bisa diselesaikan ketika kebutuhan mendasar terpenuhi, situasi ekonomi membaik, dan tidak ada kekerasan," jelas sang diplomat Saudi yang menilai bahwa aspek politik bisa terselesaikan jika Palestina dan Israel berkomitmen pada kesepakatan ekonomi terlebih dulu.

Sementara itu, seperti dikutip dari CNN, para pejabat administrasi AS berharap proposal tersebut akan merangsang diskusi tentang kemungkinan ekonomi perdamaian regional dan membangun tekanan pada warga Palestina untuk secara serius mempertimbangkan perjanjian damai dengan Israel.


Respons Palestina

Presiden Otoritas Palestina, Mahmoud Abbas (AP PHOTO)

Delegasi negara-negara Arab, termasuk Saudi, Uni Emirat, Yordania, Mesir, Maroko dan Bahrain (selaku tuan rumah) akan menghadiri konferensi ekonomi yang dipimpin Amerika Serikat di Manama pada 25-26 Juni mendatang.

Palestina, yang sedari awal memboikot pertemuan di Manama, meminta negara Arab mengikuti jejak mereka. Namun, hal itu tak diindahkan.

"Partisipasi negara Arab akan menjadi pukulan berat bagi warga Palestina," kata pejabat Otoritas Palestina di Ramallah.

Pejabat itu mengklaim bahwa pemerintah AS telah memberikan tekanan besar pada negara-negara Arab agar tidak mengindahkan seruan Palestina untuk memboikot konferensi Bahrain.

"Kami memahami bahwa beberapa negara Arab menghadapi tekanan berat, tetapi itu tidak berarti bahwa mereka harus bertindak melawan kepentingan rakyat mereka dan Palestina."

Ia juga menyebut bahwa pemerintahan AS "berusaha menetapkan solusi yang tidak selaras dengan "legitimasi internasional."

Fatah, salah satu faksi politik utama Palestina, juga menyerukan Bahrain untuk membatalkan keputusannya menjadi tuan rumah konferensi.

Pejabat Otoritas Palestina lain justru mengerdilkan rencana kehadiran negara-negara Arab ke Konferensi Bahrain, menyebut bahwa partisipasi mereka "tidak berarti apa-apa."

"Orang-orang Arab sangat sadar bahwa mereka tidak berwenang untuk mewakili Palestina di konferensi," katanya.

Hanan Ashrawi, seorang anggota komite eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), salah satu fraksi politik utama Palestina, juga menolak rencana itu, dan menyerukan prioritas untuk mengakhiri pendudukan Israel.

"Pertama-tama angkatlah pengepungan di Gaza, hentikan pencurian Israel atas tanah, sumber daya dan dana kami, beri kami kebebasan bergerak dan kontrol atas perbatasan, wilayah udara, perairan teritorial, dll. Lalu saksikan kami membangun ekonomi makmur yang bersemangat sebagai orang yang bebas dan berdaulat," cuit Ashrawi.

Sementara itu, kritikus telah mendiskreditkan Konferensi Bahrain, dengan mengatakan bahwa sulit untuk mencapai kesepakatan ekonomi tanpa dibarengi konsolidasi politik dari para pihak yang terlibat konflik Israel - Palestina.

"Anda tidak dapat melakukan pembangunan ekonomi yang serius tanpa menyelesaikan masalah keamanan dan politik yang memungkinkan investor dan pertumbuhan ekonomi internal dan lapangan kerja," kata Aaron David Miller, mantan perunding dan analis masalah Timur Tengah untuk pemerintahan AS seperti dikutip dari the Washington Post.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya