AS Jadi Penyumbang Surplus Neraca Perdagangan RI

BPS mencatat neraca perdagangan Indonesia pada Mei 2019 mengalami surplus sebesar USD 0,21 miliar.

oleh Liputan6.com diperbarui 24 Jun 2019, 19:15 WIB
Kapal mengangkut peti kemas dari JICT, Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (6/11). Berdasarkan data BPS, pertumbuhan ekspor kuartal III/2018 mencapai 7,7 persen, berbanding jauh dengan kuartal III/2017 sebesar 17,26 persen. (Merdeka.com/ Iqbal S. Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia pada Mei 2019 mengalami surplus sebesar USD 0,21 miliar. Namun demikian, secara kumulatif dari Januari hingga Mei 2019 neraca perdagangan Indonesia mencatatkan defisit sebesar USD 2,14 miliar.

Kepala BPS Suhariyanto membeberkan, ada beberapa negara yang menyebabkan neraca perdagangan Indonesia mencatatkan surplus. Tiga diantaranya yaitu Amerika Serikat (AS), India, dan Belanda.

"Beberapa negara yang mencatatkan surplus sepanjang Januari hingga Mei 2019 adalah Amerika Serikat, dengan surplus USD 3,923 miliar, India USD 3,08 miliar dan Belanda sebesar USD 1,016 miliar," ujar Suhariyanto di Kantornya, Jakarta, Senin (24/6).

Sebagai gambaran surplus perdagangan terjadi ketika ekspor Indonesia ke negara tertentu lebih tinggi jika dibandingkan dengan impor negara tersebut ke Indonesia. Sementara sebaliknya, defisit neraca perdagangan terjadi ketika nilai ekspor Indonesia ke negara tertentu lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai impornya.

Di sisi lain, nilai defisit neraca perdagangan Indonesia tertinggi terjadi justru terjadi di China, Thailand dan Italia. Di mana, defisit neraca dagang Indonesia dengan Negeri Tirai Bambu tersebut mencapai USD 8,48 miliar. Angka tersebut lebih dalam jika dibandingkan dengan periode Januari hingga Mei 2018 yang sebesar USD 8,10 miliar.

"Dengan Thailand kita defisit USD 1,6 miliar dan Australia kita defisit USD 1,0 miliar," pungkasnya.

 

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Indonesia Tingkatkan Ekspor Rempah, Kopi serta Teh ke Italia

Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto saat meluncurkan Paket Kebijakan Ekomomi XVI di Kantor Presiden, Jakarta, Jumat (16/11). Peluncuran ini juga dihadiri Menko Perekonomian Darmin Nasution dan Menkeu Sri Mulyani. (Liputan6.com/AnggaYuniar)

Italia bidik kerjasama lebih komprehensif di sektor industri dengan Indonesia. Di sisi lain perdagangan antara kedua negara, dalam periode 2016-2018 yang mengalami kenaikan rata-rata 12 persen.

Menteri Perindustrian (Menperin) Airlangga Hartarto mengatakan, kedua negara terus membangun kerjasama yang lebih kuat, bisa dilihat dari pertumbuhan positif di bidang perdagangan, pariwisata, dan investasi.

"Saya melihat produk ekspor kedua negara bersifat saling melengkapi," kata Airlangga di Jakarta, Sabtu (22/6/2019).

Airlangga menilai, masih banyak peluang yang belum dimanfaatkan secara maksimal serta potensi yang lebih besar dalam perdagangan bilateral.

Jika dilihat dari neraca perdagangan Indonesia dan Italia, potensi yang bisa dioptimalkan adalah produk industri yang mendominasi perdagangan antara Indonesia dan Italia, yaitu, besi dan baja, produk kimia, alas kaki, karet, rempah-rempah, kopi serta teh.

"Besi dan baja, misalnya, Italia telah menjadi pasar ekspor kedelapan terbesar dari Indonesia pada 2018. Selain itu, Italia adalah basis manufaktur terbesar kedua di Uni Eropa yang memasok berbagai jenis produk industri ke Indonesia," jelasnya.


Kementan Bantah Produk Pertanian China Banjiri Indonesia

Aktivitas bongkar muat barang ekspor impor di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Senin (17/7). Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan kinerja ekspor dan impor Indonesia mengalami susut signifikan di Juni 2017. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Kementerian Pertanian (Kementan) membantah jika produk pertanianasal China membanjiri Indonesia. Sebaliknya, peningkatan kinerja ekspor pertanian ke sejumlah negara Asia, termasuk ke China berdampak positif pada neraca perdagangan nasional.

Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementan Kuntoro Boga Andri mengatakan, beberapa produk yang diekspor antara lain, berasal dari komoditas tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan.

"Contohnya adalah ekspor impor produk pertanian kita dengan Malaysia, dimana neraca dagang pertanian kita selalu positif atau surplus dalam 5 tahun terakhir. Untuk tahun 2019 sampai bulan Maret saja, neraca perdagangan komoditas pertanian Indonesia dengan Malaysia, kita surplus 480,442 ton, dengan nilai USD 241 juta," ujar dia di Jakarta, Jumat (21/6/2019).

Menurut Kuntoro, berdasarkan data, sampai Maret 2019 ekspor pertanian Indonesia ke Malaysia mencapai 513,917 ton, senilai USD 287 juta.

"Sementara, impor kita dari Malaysia sampai Maret 2019 hanya 33,476 ton, atau senilai USD 44 juta," lanjut dia.

Selain Malaysia, kata Kuntoro, tren yang sangat positif dan surplus ini juga terjadi pada kerjasama dagang dengan negara-negara lain di Asia seperti China, Jepang, Korea dan Filipina.

Adapun khusus untuk pasar China, nilai pasarnya masih potensial, terutama bagi produk pertanian Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari neraca perdagangan pertanian Indonesia-China pada 2018 yang mengalami surplus sebesar USD 2,265 miliar.

"Nilai ekspor pertanian Indonesia ke China pada tahun 2018 mencapai USD 4,025 miliar, atau meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan transaksi sebelumnya yang hanya USD 2,058 miliar," jelas dia.

 


Pemerintah Harus Lakukan Ini agar Ekonomi Tumbuh di Atas 5 Persen

Pekerja tengah mengerjakan proyek pembangunan gedung bertingkat di Jakarta, Sabtu (15/12). Bank Indonesia (BI) memprediksi pertumbuhan ekonomi pada tahun 2019 mendatang tidak jauh berbeda dari tahun ini. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Indonesia diyakini mampu keluar dari jebakan pertumbuhan ekonominasional yang hanya di kisaran lima persen melalui peningkatan ekspor, investasi dan memperbesar kontribusi UMKM dalam kegiatan perekonomian nasional. 

Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN), Arif Budimanta mengatakan, selama ini pertumbuhan ekonomi nasional masih bertumpu pada konsumsi, baik konsumsi rumah tangga (RT) maupun konsumsi pemerintah.

"Sejak 1990-an, struktur perekonomian masih di konsumsi rumah tangga. Di sisi lain, konsumsi pemerintah juga belum optimal dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kontribusi konsumsi pemerintah terhadap perekonomian terbatas di kisaran 9 persen dan ini tidak bisa tumbuh lebih tinggi lagi," kata dia dalam Media Gathering KEIN di Hotel Pullman, Jakarta, Senin (27/5/2019).

Berdasarkan kondisi tersebut, ia menuturkan, sudah saatnya pemerintah mulai bergeser mengandalkan ekspor dan investasi untuk menjadi tulang punggung perekonomian nasional.

Hal ini juga sesuai dengan mandat Presiden Joko Widodo yang mengatakan kunci pertumbuhan ekonomi saat ini hanya ada dua, yakni kenaikan ekspor dan investasi.

Lebih lanjut Arif menyampaikan, selain mendorong peningkatan ekspor dan investasi, pemerintah juga harus memberi ruang yang lebih luas terhadap UMKM. 

Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UMKM, sebanyak 98,7 persen usaha di Indonesia merupakan usaha mikro, yang menyerap 89,17 persen tenaga kerja domestik serta berkontribusi sebanyak 36,82 persen terhadap PDB Indonesia. 

Kendati demikian, perannya masih sangat kecil dalam kegiatan ekspor dan investasi sehingga masih memiliki potensi yang sangat besar.

Dari simulasi yang dilakukan oleh Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN), jika 10 persen saja dari UMKM yang ada mengalami kenaikan kelas, hal tersebut dapat mendorong pertumbuhan ekonomi nasional tembus 7 persen, bahkan mencapai 9,3 persen (yoy).

"Pertumbuhan ekonomi di atas 7 persen dapat terwujud apabila UMKM diberdayakan. Tentunya hal ini harus dilakukan melalui kebijakan dengan eksekusi yang baik di sektor terkait,” ucap Arif.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya