25-6-1915: Jerman Mengaku Pakai Senjata Kimia dalam Perang Dunia I

Hari ini, 104 tahun yang lalu, Jerman mengaku telah menggunakan senjata kimia dalam Perang Dunia I.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 25 Jun 2019, 06:00 WIB
Tentara menggunakan masker gas pada Perang Dunia I, salah satu fungsinya adalah meminimalisir efek senjata kimia gas klorin. (Agence Rol / Wikimedia / Public Domain)

Liputan6.com, Berlin - Hari ini, 104 tahun yang lalu, media Jerman mengumumkan pernyataan resmi dari pemimpin perang negara tersebut mengenai penggunaan senjata kimia jenis gas beracun pada awal Pertempuran Kedua Ypres, yang dilakukan pada dua bulan sebelumnya.

Jerman menembakkan lebih dari 150 ton gas klorin yang mematikan terhadap dua divisi kolonial Prancis di Ypres, Belgia, pada 22 April 1915. Hal tersebut membuat sekutu mereka dalam Perang Dunia (PD) I terkejut dan ketakutan. Langkah itu sekaligus memicu amarah, dianggap sebagai perbuatan barbarisme yang tak termaafkan.

Seperti dikutip dari History.com (25/6/2019), Panglima British Expeditionary Force (BEF), Sir John French, mengutuk keras serangan Jerman di Ypres tersebut.

"Semua sumber daya ilmiah Jerman tampaknya telah digunakan untuk memproduksi gas yang sangat membinasakan dan beracun, di mana setiap manusia yang terpapar gas tersebut awalnya akan merasa lumpuh dan mengalami kematian menyakitkan," tulis Sir John French.

Pernyataan yang diumumkan Jerman pada 25 Juni 1915 tersebut merupakan respons atas reaksi Sekutu dan menganggap bahwa Prancis juga telah memproduksi dan menggunakan senjata kimia jenis gas dalam pertempuran sebelum Pertempuran Kedua Ypres.

"Untuk setiap orang yang telah melakukan penilaian tak berpihak. Pernyataan resmi militer yang akurat, cukup untuk membuktikan penggunaan senjata yang menyebabkan sesak napas oleh pihak lawan," tulis Jerman dalam pengakuannya, mereferensi penggunaan gas klorin.

Mereka juga mengutip memorandum yang dikeluarkan Kementerian Peperangan Prancis pada 21 Februari 1915 yang bertuliskan, "Gas yang dapat membuat pingsan sedang diproduksi oleh pabrik-pabrik pusat kami (yang) berisi cairan yang akan menguap setelah terjadi ledakan dan akan mengiritasi mata, hidung, dan tenggorokan."

Jerman menyimpulkan bahwa Prancis telah mengembangkan senjata kimia berupa granat berisi gas pengganggu pernapasan setidaknya pada satu setengah tahun lalu.

Simak video pilihan berikut:


Gas Air Mata Prancis...

Berbagai varian masker gas pada Perang Dunia I, salah satu fungsinya adalah meminimalisir efek senjata kimia gas klorin. (Agence Rol / Wikimedia / Public Domain)

Pada kenyataannya, yang pertama kali memakai gas pada Perang Dunia I adalah Prancis. Pada Agustus 1914 mereka menggunakan gas air mata untuk menghadapi serangan awal Jerman di Belgia dan Prancis utara.

Namun, Jerman merupakan negara pertama yang secara serius mengembangkan senjata kimia yang tak hanya mengiritasi -- seperti gas air mata, tapi juga menggunakan dalam jumlah besar untuk menimbulkan kekalahan pada musuh.

Selain gas klorin yang digunakan Jerman pada pertempuran di Ypres, gas fosgen dan mustard tak hanya dipakai oleh negara tersebut namun juga digunakan Inggris dan Prancis. Hal itu bertujuan untuk mengejar ketertinggalan dari Jerman yang terlebih dahulu mengembangkan senjata kimia.

Meskipun dampak psikologis dari digunakannya gas beracun tak diragukan lagi, penggunaan senjata perang lain seperti tank juga menjadi perdebatan. Hal itu muncul karena kematian akibat serangan menggunakan gas termasuk rendah.

Sebanyak 1,25 juta jiwa menjadi korban akibat penggunaan senjata gas, meski jumlah kematiannya mencapai 91 ribu orang. Angka tersebut terbilang rendah jika dibandingkan dengan 50 persen kematian akibat senjata lain.

Sejarah Lain...

Selain pengakuan Jerman, pada tanggal yang sama, tepatnya tahun 1947 The Diary of a Young Girl atau dikenal dengan The Diary of Anne Frank diterbitkan.

Buku itu menceritakan kisah Anne Frank ketika ia bersembunyi selama dua tahun saat kependudukan Nazi di Belanda.

Di belahan dunia lain pada 2009 di tanggal sama, King of Pop Michael Jackson meninggal dunia. Ia yang kala itu berusia 50 tahun ditemukan tak bernyawa di Holmby Hills, Los Angeles.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya