Analis: AS Pakai Pendekatan Kolonial untuk Mendamaikan Israel - Palestina

Para analis telah mengecam aspek ekonomi dari rencana perdamaian Israel - Palestina usulan AS, menilai bahwa proposal itu tidak memberikan solusi inti.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 25 Jun 2019, 13:13 WIB
Warga Palestina membentang bendera negara mereka, bergembira menyambut rekonsiliasi antara Hamas dan Fatah (AP Photo/Khalil Hamra)

Liputan6.com, Washington DC - Para analis telah mengecam aspek ekonomi dari rencana perdamaian Israel - Palestina usulan Amerika Serikat. Mereka berpendapat, proposal AS tidak memberikan solusi inti atas masalah utama yang ada, yakni: pendudukan militer Israel atas wilayah Palestina selama kurang lebih 52 tahun terakhir.

Porsi ekonomi dari proposal perdamaian AS yang populer disebut sebagai 'Kesepakatan Abad Ini' atau 'Deal of the Century' resmi dirilis hari ini, beberapa jam jelang pertemuan tingkat tinggi di Manama, Bahrain pada 25 - 26 Juni 2019.

Ketika dokumen proposal berjudul "Peace to Prosperity - The Economic Plan: A New Version fof the Palestinian People" setebal 40 halaman itu dirilis, banyak yang memperhatikan bahwa rencana itu mengabaikan konteks politik yang selama ini mendominasi narasi konflik Israel - Palestina. Bahkan kosakata seperti "pendudukan, kebebasan, kesetaraan, dan blokade" tidak tercantum dalam dokumen itu.

"Tidak adanya kata-kata itu sebenarnya cukup mencolok dan sangat menunjukkan apa yang mereka lihat mengenai masalah yang sebenarnya," kata Diana Buttu, seorang analis yang berbasis di Haifa dan mantan penasihat hukum untuk negosiator perdamaian Israel - Palestina, mengatakan kepada Al Jazeera, dikutip pada Selasa (25/6/2019)

"Mereka telah menyusun rencana dengan berharap bahwa siapa saja yang terlibat dalam pembangunan ekonomi akan senang dengan hasilnya. Tetapi itu tidak berlaku untuk isu Palestina karena (konflik itu) telah mengambil konteks politik," lanjut Buttu.

Inti dari dokumen proposal AS itu adalah paket pengembangan ekonomi senilai US$ 50 miliar - US$ 60 miliar. Mayoritas dana akan mengalir ke Palestina dan sisanya mengalir ke negara-negara yang bertetangga, seperti Mesir, Lebanon dan Yordania.

Sebagian besar dana datang dari berbagai skema finansial kolektif negara-negara Arab dan pihak swasta internasional. Uang yang terkumpul akan ditempatkan dalam dana yang dikelola oleh bank pembangunan multinasional dan dana tersebut akan dikelola oleh dewan gubernur yang ditunjuk.

Namun, tidak disebutkan secara jelas apakah orang Palestina akan duduk di dewan tersebut. Tak jelas juga apakah Israel akan turut dilibatkan. Bahkan nama Negeri Bintang David jarang disebutkan dalam proposal tersebut.

Paket yang direncanakan mengalir ke Palestina akan meliputi: US$ 13,5 miliar dalam bentuk hibah; sekitar US$ 26 miliar pada pinjaman berbunga rendah; dan sekitar US$ 11 miliar dalam investasi modal swasta --semua diperuntukkan untuk 179 proyek spesifik, namun teoritis, yang bertujuan meningkatkan ekonomi Palestina.

Satu proyek spesifik adalah koridor transportasi yang menghubungkan wilayah Palestina di Gaza dan Tepi Barat dengan biaya proyek senilai US$ 5 miliar.

Namun, itu tidak membahas isu politis seperti hambatan terhadap kebebasan bergerak yang dihadapi Palestina yang hidup di bawah blokade Israel-Mesir 12 tahun di Jalur Gaza, atau pendudukan Israel di Tepi Barat yang dikelilingi oleh permukiman ilegal Israel, dan mengeksklusikan orang Palestina dengan menyebut mereka sebagai non-Israel.

Otoritas Palestina, yang menjalankan kekuasaan terbatas di beberapa wilayah Tepi Barat yang diduduki, dan Hamas, yang memerintah Gaza, dengan tegas menolak rencana itu.

"Apakah Israel akan mengizinkan pergerakan barang? Tidak. Apakah Israel akan mengizinkan rencana ini diimplementasikan? Tidak. Bisakah ada pembangunan ekonomi di bawah pendudukan? Sekali lagi, jawabannya tidak," kata Buttu.


Mendaur Ulang Ide Lama

Palestina (iStock)

Banyak yang menyesalkan proposal AS, menyebutnya sebagai daur ulang ide-ide lama. Seperti salah satunya, usulan koridor transportasi senilai US$ 5 miliar yang akan menghubungkan Tepi Barat ke Jalur Gaza yang terpisahkan oleh wilayah Israel.

Gagasan untuk koridor transportasi pertama kali muncul sekitar tahun 2005, ketika organisasi riset RAND mengusulkan untuk membangun jalur kereta "The Arc" yang menghubungkan Gaza dengan kota-kota lain di Tepi Barat, yang dimaksudkan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi dan kapasitas penduduk.

Namun, proyek itu tidak pernah terwujud karena kerumitan dalam perencanaan dan pengimplementasian di lapangan.

"(Rencana ekonomi yang diusulkan AS adalah) campuran ide-ide lama, bukan sesuatu yang baru. (Rencana itu) digambarkan sebagai perspektif baru yang segar, namun kebanyakan adalah ide lama yang sama sekali tidak pernah terjadi," Yara Hawari, seorang analis Palestina di lembaga think-tank, Al-Shabaka - The Palestinian Policy Network, kepada Al Jazeera.

"Anda akan melihat bahwa gambar-gambar yang mereka gunakan dalam dokumen proposal tersebut adalah foto dari orang-orang program USAID, program-program yang pendanaannya telah dipotong dari pemerintahan Presiden Trump. Sangat ironis."

"Meyakinkan rakyat Palestina akan proposal baru itu pada dasarnya meyakinkan mereka untuk mengambil insentif ekonomi dengan imbalan hak-hak mereka," kata Hawari.


Ekonomi Palestina Lemah karena Pendudukan Israel

Warga Palestina bergaya seperti karakter dari film "Avatar" mengibarkan bendera selama protes menuntut hak untuk kembali ke kampung halaman mereka di perbatasan Israel-Gaza, Timur Khan Yunis di Gaza selatan Strip, (4/5). (AFP Photo/Said Khatib)

Ekonomi Palestina tidak goyah karena kurangnya investasi, tetapi karena pendudukan Israel, kata PBB dan para analis.

Sebuah laporan PBB pada tahun 2016 menemukan bahwa ekonomi wilayah Palestina yang diduduki mungkin mencapai dua kali ukurannya saat itu jika pendudukan militer Israel yang ilegal dicabut.

"Pendudukan membebani biaya besar," tulis laporan itu, yang menyebut bahwa Israel melakukan "pembatasan pergerakan orang dan barang; erosi sistematis dan perusakan sumber daya produksi; hilangnya tanah, air dan sumber daya alam lainnya", serta menyebabkan beberapa hambatan yang mengganggu pertumbuhan wilayah.

Palestina belum memiliki kontrol kedaulatan penuh atas ekonomi mereka karena pasar domestik yang terfragmentasi dan pemisahan dari pasar internasional, blokade di Gaza, perluasan permukiman ilegal Israel, pembangunan tembok pemisah di wilayah Palestina dan isolasi Yerusalem Timur, lanjut laporan PBB tahun 2016 itu.

Di bawah hukum internasional, Israel sebagai entitas okupasi wajib mendorong pembangunan ekonomi untuk Palestina, yang wilayahnya diduduki oleh Negeri Bintang David.

"Semua hal yang telah kami kerjakan selama 25 tahun terakhir mentah karena pendudukan militer Israel. Kami mengabaikan semua rencana ekonomi itu yang telah lama dirancang, seolah-olah itu tidak ada," Sam Bahour, seorang konsultan bisnis Palestina-Amerika, mengatakan kepada Al Jazeera.

"Kami tidak perlu sebuah lokakarya ekonomi baru untuk menunjukkan kami tentang proyek-proyek besar yang dapat membantu perekonomian Palestina. Kami sudah tahu itu sejak lama. Apa yang perlu kita perhatikan adalah bagaimana kita bisa menghilangkan pembatasan yang telah ditempatkan pada kami oleh Israel dengan dukungan total dari AS, "kata Bahour.

Dalam sebuah posting blog, Bahour telah mengajukan 101 tindakan yang dapat diambil Israel untuk mengurangi ketegangan yang disebabkan oleh pendudukan, mencakup ide-ide seperti universitas baru dan membawa "layanan telekomunikasi 5G" ke Palestina.

Butuh 12 tahun hanya untuk memperkenalkan frekuensi 3G ke Palestina tahun lalu, kata Bahour.

Nur Arafeh, analis lain untuk Al-Shabaka - The Palestinian Policy Network, telah merinci bagaimana, sejak pendudukan Israel dimulai pada tahun 1967, mereka telah berupaya untuk memasukkan ekonomi di wilayah pendudukan ke dalam wilayahnya sendiri, sementara memungkinkan untuk pengambilalihan tanah secara maksimal.


Wajah Baru Kolonialisme terhadap Palestina?

Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas (AFP Photo)

Dokumen proposal AS menyebut tentang "otoritas Palestina yang berlaku" sebagai entitas yang akan berkoordinasi dengan mereka dalam pengimplementasian rencana tersebut.

Namun, Amerika tidak menyebut soal Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) faksi politik utama yang saat ini memimpin Otoritas Palestina (Palestinian Authority) --pemerintahan de facto Palestina.

AS menutup kantor PLO di Washington, DC pada 2018 menyusul protes Ramallah terhadap pengakuan AS atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Sementara AS tidak mengakui Negara Palestina.

Sikap itu seakan menunjukkan bahwa pengimplementasian proposal AS mengabaikan pemerintahan de facto Palestina yang selama ini telah ada dan berjalan.

Hal itu diperkuat dengan komentar salah satu negosiator dan perancang utama proposal AS, Jared Kushner, yang telah menyuarakan pendapatnya bahwa Palestina layak "menentukan nasib sendiri" tetapi "belum mampu memerintah diri mereka sendiri."

Pengamat menilai bahwa pendekatan semacam itu "adalah cara yang sangat kolonial," jelas Diana Buttu, seorang analis yang berbasis di Haifa dan mantan penasihat hukum untuk negosiator perdamaian Israel - Palestina.

"Ini adalah pendekatan yang sangat kolonial, bahwa Palestina tidak dapat mengatur diri mereka sendiri sehingga perlu adannya entitas terpisah yang dapat mengelola dana," kata Buttu.

"Biasanya ketika Anda melihat pembangunan ekonomi, Anda melihat kerangka kerja dan konteks negara, namun mereka berusaha membuat rencana yang sama sekali tidak melibatkan negara mana pun dan tidak melibatkan Otoritas Palestina. Faktanya Jared Kushner mencoba melangkahi mereka semua."

"Proposal itu tampak sangat mengkilap, bagus, dan cantik dari luar, tetapi dalam hal substansi, sama sekali tidak bermanfaat. Karena mereka menolak untuk mengatasi keadaan politik, melanggengkan pendudukan dan menolak kebebasan."

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya