Liputan6.com, Jakarta - Kopi menjadi medium untuk menghijaukan kembali hutan yang sudah gersang? Bisa banget. Bila tak percaya, para anggota Koperasi Classic Bean yang berbasis di Garut, Jawa Barat, sudah melakukannya hampir sepuluh tahun terakhir.
Imas Suryani, pengurus Koperasi Classic Bean sekaligus barista bersertifikasi itu menuturkan kegiatan konservasi melalui kopi dirintis oleh para pecinta alam yang juga penyuka kopi sekitar 2009. Inisiatornya adalah Eko Purnomo Widi yang akrab disapa Pak Eko.
Baca Juga
Advertisement
"Pada 2008 itu, kami resah karena semakin banyak hutan yang diubah jadi kebun sayur oleh warga. Akhirnya, Pak Eko, founder classic beans, memunculkan solusi konservasi hutan dengan medium kopi," kata Imas saat ditemui di sela-sela jumpa pers EksploRasa Ragam Pangan di Javara, Jakarta, Senin, 24 Juni 2019.
Langkah awal yang dilakukan adalah menawarkan petani harga jual biji kopi lebih tinggi dengan syarat biji kopi yang dijual harus merah semua. Sambil jalan, para pengurus mengedukasi petani tentang cara budidaya organik.
"Kita cek kebunnya, apakah layak atau tidak. Kita edukasi apa kopi yang bagus itu, bagaimana cara memetiknya, dan bagaimana cara menjaga lingkungan," tutur Imas.
Seiring waktu, informasi mengenai budi daya kopi semakin lengkap. Mereka pun menyadari bahwa sebenarnya tanaman kopi hanya memerlukan 30--40 persen sinar matahari saja.
Berangkat dari fakta tersebut, Classic Beans kemudian mengajak petani menanam pohon-pohon endemik di sela-sela tanaman kopi. Di Gunung Puntang, misalnya, ditanam rasamala dan puspa.
"Kualitas kopi yang baik itu tergantung pada kebun yang baik. Kebun yang baik ya menjadikannya seperti hutan," kata Imas.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Kopi Tipika
Tak hanya pohon yang berusaha diselamatkan, tanaman yang ada di dalamnya juga ikut dilestarikan. Salah satunya adalah pelestarian kopi geisha atau dikenal pula dengan nama tipika.
Imas menuturkan, tanaman kopi spesial itu didapat pendaki saat di Gunung Guntur. Bentuk fisiknya mirip kopi geisha, tetapi ukurannya lebih besar. Karena penasaran, mereka kemudian mengirim sampel untuk diuji DNA di Prancis.
"Ini jenis kopi arabika murni. Itu saja penjelasan mereka karena mereka sendiri nggak tahu apa. Dari situ, kami yakin itu adalah biji kopi asli lokal," kata Imas.
Ia dan rekan-rekannya kemudian mencoba menyemai biji kopi itu di Gunung Puntang dan kemudian menyebar penanamannya ke beberapa daerah, seperti Mandalawangi dan Ciwidey. Setelah tumbuh dan panen, kopi yang diambil ternyata rasanya berbeda.
"Karena memang kopi yang dihasilkan juga tergantung kondisi lingkungan di sekitarnya," kata dia.
Kopi tipika kini menjadi salah satu andalan yang bisa menghasilkan 2-3 ton per satu musim tanam. Selain itu, ada 12 jenis kopi lain yang diproduksi untuk didistribusikan melalui Javara. Anggota koperasi pun sudah menyebar ke berbagai daerah, termasuk ke Wae Rebo, NTT.
Advertisement
Pasar Internasional
Seiring waktu, usaha kopi berbasis penyelamatan lingkungan semakin serius ditekuni. Sejumlah pengurus koperasi bahkan sengaja belajar menjadi barista agar lebih mengenal seluk-beluk kopi.
Imas termasuk di dalamnya, selain Ani rekannya. Dengan sertifikat yang dimiliki, mereka kini diundang ke berbagai acara bertaraf internasional. Salah satu yang akan didatangi dalam waktu dekat adalah Festival Indonesia Oslo di Norwegia pada 29-30 Juni 2019.
"Nanti kami akan menghidangkan kopi sembari menjelaskan soal cara pembuatan kopi, roasting-nya, jenis bijinya, dan lain-lain kepada pengunjung di sana," katanya.
Namun, ia menegaskan target utama kopi olahan koperasinya kini didominasi pasar lokal. Hanya 20 persen yang diekspor ke luar negeri, khususnya Australia.
"Dulu awal-awal, karena apapun yang diekspor akan disebut bagus, jadi kami yang penting ekspor dulu. Sekarang setelah pasar lokal terbuka, apalagi harga kopi global juga sedang anjlok, 80 persen kopi kami yang diserap oleh pasar lokal," jelas Imas.