Liputan6.com, Manamah - Konferensi Bahrain tentang perdamaian Israel - Palestina, yang diinisiasi oleh Amerika Serikat (AS) akan tetap terlaksana, meski dikecam Palestina.
Dalam lokakarya itu akan dibahas inisiatif ekonomi dalam kerangka proposal damai Deal of the Century yang dicetuskan presiden nyentrik Negeri Paman Sam, Donald Trump.
Tidak akan ada pembicaraan tentang pertukaran lahan dalam workshop yang akan berlangsung 25-26 Juni itu. Solusi politik yang mengarah ke solusi dua negara, juga tampaknya tidak akan disentuh.
Baca Juga
Advertisement
Upaya perdamaian yang digagas presiden paling tidak konvensional dalam sejarah AS itu, memang unik. Sama sekali berbeda dengan langkah-langkah mediasi Washington DC sebelumnya.
Ratusan warga Palestina dilaporkan berdemonstrasi pada hari ini. Mereka protes di seluruh penjuru negeri. Sebagian massa aksi di wilayah Tepi Barat membakar poster Donald Trump dan raja Bahrain.
Sementara pengunjuk rasa di Ramallah membawa peti mati, menyebut Deal of the Century akan menemui ajal. Protes juga berlangsung di kota bagian selatan Halhul serta Jalur Gaza.
Namun, di tengah protes itu, delegasi KTT Bahrain akan tetap bertemu. Mereka akan menyantap koktail dan makan malam mewah pada Selasa, sebelum mengawali pembicaraan.
Sebuah hotel mewah juga telah dipesan untuk acara itu. Bangunan mahal itu menghadap ke Teluk, seperti laporan AFP dikutip dari The Straits Times pada Selasa (25/6/2019).
KTT itu akan dipimpin langsung oleh menantu Donald Trump, Jared Kushner. Ia akan kembali mengemukakan prospek investasi senilai US$ 50 miliar di wilayah Palestina dan negara-negara tetangga.
Analis Sebut AS Pakai Pendekatan Kolonial
Inisiatif ekonomi dalam kerangka proposal perdamaian Israel - Palestina ala Donald Trump itu telah dikritik oleh para analis.
Porsi ekonomi dari proposal perdamaian AS yang populer disebut sebagai 'Kesepakatan Abad Ini' atau 'Deal of the Century' itu telah resmi dirilis hari ini, beberapa jam jelang pertemuan tingkat tinggi di Manama, Bahrain pada 25 - 26 Juni 2019.
Ketika dokumen proposal berjudul "Peace to Prosperity - The Economic Plan: A New Version fof the Palestinian People" setebal 40 halaman itu dirilis, banyak yang memperhatikan bahwa rencana itu mengabaikan konteks politik yang selama ini mendominasi narasi konflik Israel - Palestina. Bahkan kosakata seperti "pendudukan, kebebasan, kesetaraan, dan blokade" tidak tercantum dalam dokumen itu.
"Tidak adanya kata-kata itu sebenarnya cukup mencolok dan sangat menunjukkan apa yang mereka lihat mengenai masalah yang sebenarnya," kata Diana Buttu, seorang analis yang berbasis di Haifa dan mantan penasihat hukum untuk negosiator perdamaian Israel - Palestina, mengatakan kepada Al Jazeera.
"Mereka telah menyusun rencana dengan berharap bahwa siapa saja yang terlibat dalam pembangunan ekonomi akan senang dengan hasilnya. Tetapi itu tidak berlaku untuk isu Palestina karena (konflik itu) telah mengambil konteks politik," lanjut Buttu.
Inti dari dokumen proposal AS itu adalah paket pengembangan ekonomi senilai US$ 50 miliar - US$ 60 miliar. Mayoritas dana akan mengalir ke Palestina dan sisanya mengalir ke negara-negara yang bertetangga, seperti Mesir, Lebanon dan Yordania.
Sebagian besar dana datang dari berbagai skema finansial kolektif negara-negara Arab dan pihak swasta internasional. Uang yang terkumpul akan ditempatkan dalam dana yang dikelola oleh bank pembangunan multinasional dan dana tersebut akan dikelola oleh dewan gubernur yang ditunjuk.
Namun, tidak disebutkan secara jelas apakah orang Palestina akan duduk di dewan tersebut. Tak jelas juga apakah Israel akan turut dilibatkan. Bahkan nama Negeri Bintang David jarang disebutkan dalam proposal tersebut.
Paket yang direncanakan mengalir ke Palestina akan meliputi: US$ 13,5 miliar dalam bentuk hibah; sekitar US$ 26 miliar pada pinjaman berbunga rendah; dan sekitar US$ 11 miliar dalam investasi modal swasta --semua diperuntukkan untuk 179 proyek spesifik, namun teoritis, yang bertujuan meningkatkan ekonomi Palestina.
Satu proyek spesifik adalah koridor transportasi yang menghubungkan wilayah Palestina di Gaza dan Tepi Barat dengan biaya proyek senilai US$ 5 miliar.
Namun, itu tidak membahas isu politis seperti hambatan terhadap kebebasan bergerak yang dihadapi Palestina yang hidup di bawah blokade Israel-Mesir 12 tahun di Jalur Gaza, atau pendudukan Israel di Tepi Barat yang dikelilingi oleh permukiman ilegal Israel, dan mengeksklusikan orang Palestina dengan menyebut mereka sebagai non-Israel.
Otoritas Palestina, yang menjalankan kekuasaan terbatas di beberapa wilayah Tepi Barat yang diduduki, dan Hamas, yang memerintah Gaza, dengan tegas menolak rencana itu.
"Apakah Israel akan mengizinkan pergerakan barang? Tidak. Apakah Israel akan mengizinkan rencana ini diimplementasikan? Tidak. Bisakah ada pembangunan ekonomi di bawah pendudukan? Sekali lagi, jawabannya tidak," kata Buttu.
Advertisement
Keberadaan Palestina Diabaikan
Dokumen proposal AS menyebut tentang "otoritas Palestina yang berlaku" sebagai entitas yang akan berkoordinasi dengan mereka dalam pengimplementasian rencana tersebut.
Namun, Amerika tidak menyebut soal Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) faksi politik utama yang saat ini memimpin Otoritas Palestina (Palestinian Authority) --pemerintahan de facto Palestina.
AS menutup kantor PLO di Washington, DC pada 2018 menyusul protes Ramallah terhadap pengakuan AS atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Sementara AS tidak mengakui Negara Palestina.
Sikap itu seakan menunjukkan bahwa pengimplementasian proposal AS mengabaikan pemerintahan de facto Palestina yang selama ini telah ada dan berjalan.
Hal itu diperkuat dengan komentar salah satu negosiator dan perancang utama proposal AS, Jared Kushner, yang telah menyuarakan pendapatnya bahwa Palestina layak "menentukan nasib sendiri" tetapi "belum mampu memerintah diri mereka sendiri."
Pengamat menilai bahwa pendekatan semacam itu "adalah cara yang sangat kolonial," jelas Diana Buttu, seorang analis yang berbasis di Haifa dan mantan penasihat hukum untuk negosiator perdamaian Israel - Palestina.
"Ini adalah pendekatan yang sangat kolonial, bahwa Palestina tidak dapat mengatur diri mereka sendiri sehingga perlu adannya entitas terpisah yang dapat mengelola dana," kata Buttu.
"Biasanya ketika Anda melihat pembangunan ekonomi, Anda melihat kerangka kerja dan konteks negara, namun mereka berusaha membuat rencana yang sama sekali tidak melibatkan negara mana pun dan tidak melibatkan Otoritas Palestina. Faktanya Jared Kushner mencoba melangkahi mereka semua."
"Proposal itu tampak sangat mengkilap, bagus, dan cantik dari luar, tetapi dalam hal substansi, sama sekali tidak bermanfaat. Karena mereka menolak untuk mengatasi keadaan politik, melanggengkan pendudukan dan menolak kebebasan."