Liputan6.com, Manama - Ribuan warga di Palestina turun ke jalan. Di wilayah Tepi Barat yang diduduki Israel, hingga di Jalur Gaza yang diblokade bak penjara rapat.
Para demonstran membakar ban mobil, melempari batu ke arah serdadu negeri zionis yang langsung membalasnya dengan semprotan gas air mata dan tembakan peluru karet. Poster Donald Trump dan Raja Hamad bin Isa Al Khalifah dibakar. Peti mati digotong. Simbol kecaman atas pertemuan yang digagas Amerika Serikat di Manama, ibu kota Bahrain.
Advertisement
Dalam pertemuan yang dijadwalkan pada 25-26 Juni 2019 itu, Pemerintah AS akan mengajukan proposal kontroversial, yang digadang-gadang akan membawa 'perdamaian abadi' bagi Palestina dan Israel.
Solusi ala Donald Trump itu dijuluki 'deal of the century' alias kesepakatan abad ini. Namun, pihak penentang menyebutnya sebagai 'suap' yang melemahkan perjuangan mewujudkan Palestina yang merdeka sebagai negara berdaulat.
Kecaman juga dilayangkan massa pada sejumlah negara Arab yang jadi peserta pertemuan itu. Termasuk, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Mesir, dan Maroko.
Salah satu demonstran, Mahmoud Barhoush mengaku tak tahu, apakah harus menertawakan atau menangisi apa yang ia sebut sebagai 'pengkhianatan' negara-negara Arab yang hadir dalam pertemuan itu.
"Sudah cukup kalian lari ke pelukan Trump dan Netanyahu," kata pemuda 25 tahun itu di tengah aksi demonstrasi di Ramallah, seperti dikutip dari situs Palestine News Network, Selasa (25/6/2019).
Di Gaza, massa menyebut, solusi ala Donald Trump sebagai "kesepakatan setan."
"Konferensi Manama bak acara komedi. Sebuah pernikahan tanpa mempelai wanita (Palestina)...itu tidak akan berhasil," kata seorang demonstran di Gaza, Siham.
Sementara itu, faksi Hamas yang berkuasa di Gaza menolak mentah-mentah proposal yang digagas AS.
"Kami menyatakan penolakan kami terhadap 'kesepakatan abad ini' dan konferensi Bahrain," kata pejabat senior Hamas, Mushier al-Massri seperti dikutip dari Japan Times. "Kami bertekad untuk berjuang membatalkan konspirasi ini."
Peran Menantu Trump
Pulau Four Seasons di Teluk Bahrain, yang diberi nama sesuai dengan gedung hotel waralaba internasional yang menjulang di tengah-tengahnya, akan menjadi saksi bagi pertemuan yang digagas Amerika Serikat.
Pertemuan dua hari itu akan dibuka dengan koktail dan makan malam dengan hidangan mewah. Lalu, para peserta dari sejumlah negara akan duduk bersama membahas soal ekonomi, khususnya terkait dokumen 38 halaman yang telah disiapkan pihak AS.
Judulnya, Peace to Prosperity - The Economic Plan: A New Version of the Palestinian People, atau rencana ekonomi baru untuk rakyat Palestina, perdamaian menuju kesejahteraan.
Ada tiga orang di balik dokumen itu. Pertama adalah, Jared Kushner, menantu sekaligus penasihat senior Donald Trump. Kemudian, Jason Greenblatt, eks-pengacara finansial yang kini menjabat sebagai utusan khusus AS untuk Timur Tengah, serta David Friedman, Dubes AS untuk Israel.
Dokumen itu hanyalah salah satu bagian dari proposal perdamaian yang ditawarkan Trump. Baru soal ekonomi yang dibahas.
Sementara aspek politik 'deal of the century' baru akan diungkap pada September 2019 mendatang. Belum ada bocoran soal apa isinya.
Proposal ekonomi yang ditawarkan AS berisi soal paket kebijakan bernilai sekitar US$ 50 miliar - US$ 60 miliar yang mayoritas akan mengalir ke Palestina dan sisanya ke negara-negara yang berbatasan langsung, seperti Mesir, Lebanon dan Yordania.
Dana itu akan digunakan untuk berbagai proyek pengembangan ekonomi hingga infrastruktur. Jalan-jalan akan dibangun, pun dengan pembangkit listrik dan pariwisata. Wilayah Tepi Barat dan Jalur Gaza yang kini terpencar, bakal dijembatani. Satu juta lapangan kerja konon akan dibuka.
Meski terdengar menggiurkan, Otoritas Palestina di Tepi Barat dan Hamas di Jalur Gaza tak sudi menerima.
Alasannya, iming-iming itu dianggap konspirasi Donald Trump dan Israel untuk "membeli Palestina" dan membuat mereka tunduk pada berbagai negosiasi politik yang pasti jadi buntutnya.
"Amerika membelokkan penyebab semua ini, dari masalah politik menjadi masalah ekonomi. Kami tidak dapat menerimanya," kata Presiden Palestina Mahmoud Abbas.
Di sisi lain, beberapa pihak di Israel juga tak menyambut hangat aspek ekonomi dalam proposal yang diajukan AS. Dalih mereka, itu tak memenuhi persyaratan yang mereka ajukan, seperti 'hak' untuk menganeksasi Tepi Barat dan memperluas proyek permukiman mereka di wilayah-wilayah Palestina yang diduduki.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memberikan tanggapan samar atas usulan yang diajukan Amerika, mengatakan bahwa Tel Aviv "akan mendengarkan secara adil dan terbuka."
Namun, ia turut mengkritik penolakan pihak Palestina. Kata Netanyahu, itu adalah tanda bahwa mereka tidak serius dengan perdamaian.
"Saya tidak mengerti mengapa orang-orang Palestina menolak rencana itu bahkan sebelum mengetahui apa isinya," lanjut Netanyahu.
Sementara itu, beberapa kritikus telah mendiskreditkan konferensi Bahrain atau proposal perdamaian usulan AS secara keseluruhan, dengan mengatakan bahwa sulit untuk mencapai kesepakatan ekonomi tanpa dibarengi konsolidasi politik dari para pihak yang terlibat konflik Israel-Palestina.
Bahkan ada yang menyebut, Donald Trump melakukan pendekatan ala 'kolonial' untuk menyelesaikan konflik dua negara yang tak kunjung tamat.
Saksikan Video Terkait Palestina di Bawah Ini
Asal Usul 'Deal of the Century'
Istilah 'Deal of the Century' tidak terlontar dari mulut Donald Trump. Itu adalah julukan yang digunakan oleh media Barat dan Arab untuk menggambarkan -- secara negatif -- rancangan kesepakatan perdamaian Israel-Palestina versi miliarder
Trump menggunakan istilah 'an ultimate deal', yang ia sampaikan beberapa hari usai terpilih sebagai presiden AS.
Pada November 2016, menjawab pertanyaan dari surat kabar the Wall Street Journal terkait isu Israel - Palestina, Trump mengatakan bahwa membawa perdamaian untuk kedua pihak adalah "the ultimate deal," demikian seperti dikutip dari the Atlantic.com.
"Sebagai pembuat kesepakatan, saya suka ... membuat kesepakatan yang sebelumnya tak bisa dibuat. Dan melakukannya demi kemanusiaan," lanjutnya.
Sejak presiden Trump menjabat, trio Jared Kushner, Jason Greenblatt, dan Friedman menjadi otak utama untuk mengerjakan proposal kesepakatan itu. Kementerian Luar Negeri AS tidak dilibatkan.
Mereka beretorika tentang niatan untuk merancang kesepakatan tentang berbagai isu seputar konflik Israel-Palestina, seperti status final yang harus disepakati antara kedua pihak dalam konflik, Yerusalem, pengungsi, permukiman, perbatasan, juga perkara keamanan.
Namun, menurut analis Timur Tengah, Muriel Asseburg dari German Institute for International and Security Affairs, "tim Trump tampak hanya berfokus terutama pada kerja sama ekonomi dan pembangunan di wilayah Palestina --yang seakan memenuhi keinginan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu."
Hal itu tercermin dari komentar Kushner pertengahan Juni ini, yang secara tersirat sengaja mengabaikan prinsip Solusi Dua Negara atau Two State Solution yang telah lama diadvokasi Amerika Serikat pada masa lalu dan negara-negara anggota PBB untuk mengakhiri konflik Israel-Palestina.
Kushner menjelaskan bahwa "Ada perbedaan antara keinginan para teknokrat dan ada perbedaan di antara keinginan orang-orang. Para teknokrat berfokus pada hal-hal yang sangat teknokratis dan ketika saya berbicara dengan orang-orang Palestina, yang mereka inginkan adalah kesempatan untuk menjalani kehidupan yang lebih baik, kesempatan untuk membayar hipotek mereka," ujarnya seperti dikutip dari Vox.
Saat ditekan apakah orang-orang Palestina bisa merdeka dari pemerintahan dan campur tangan militer Israel, Kushner mengatakan, "itu tujuan utamanya."
Kushner juga urung mengatakan apakah Palestina harus memiliki negara merdeka sendiri dengan ibukota di Yerusalem Timur. Dan tampaknya, suami Ivanka Trump itu ingin membuat tujuan akhir dari proposal perdamaian yang ditawarkan AS hanyalah tentang investasi asing di Israel, Palestina dan Timur Tengah secara umum.
"Saya pikir ada beberapa hal yang dilakukan oleh pemerintah Palestina saat ini dengan baik dan ada beberapa hal yang kurang. Dan saya sungguh berpikir bahwa agar daerah tersebut menarik bagi investor untuk datang dan ingin berinvestasi di industri dan infrastruktur yang berbeda, guna menciptakan lapangan kerja. Perlu ada sistem peradilan yang adil, kebebasan pers, kebebasan berekspresi, toleransi untuk semua agama, dan sebagainya," kata taipan real estate AS itu.
Di sisi lain, PM Netanyahu berencana untuk mendorong "perdamaian ekonomi" dalam isu Palestina. Itu berarti, investasi besar-besaran dalam ekonomi Palestina dijadikan pengganti untuk penentuan nasib sendiri dalam bentuk sebuah negara berdaulat.
"Negara-negara Teluk Arab dan negara tetangga, Mesir dan Yordania dimaksudkan untuk memainkan peran khusus dalam skema ini, memberikan payung politik dan atau mendukungnya dengan dukungan keuangan," kata Muriel Asseburg dari German Institute for International and Security Affairs.
"Sehingga, tujuan akhirnya adalah untuk mengumpulkan koalisi di mana Israel bekerja sama erat dengan kekuatan regional Arab dan Amerika Serikat melawan Iran. Beberapa tahun terakhir dunia telah menyaksikan pemulihan hubungan yang nyata antara Israel dan negara-negara Teluk. Sekarang Israel dan Amerika Serikat ingin menghapus rintangan: Palestina."
Palestina dianggap 'duri dalam daging' yang menghalangi normalisasi hubungan AS dan negara-negara Arab Arab sepenuhnya.
Advertisement
Proposal Baru, tapi Ide Daur Ulang
Proposal Perdamaian Israel-Palestina yang digagas Donald Trump, menuai kritik banyak pihak. Rakyat Palestina sendiri menolak mentah-mentah. Pasalnya, solusi yang ditawarkan hanya sebatas ekonomi, tidak ada pembicaraan tentang wilayah dan aspek politik.
Bahkan kosakata seperti "pendudukan, kebebasan, kesetaraan, dan blokade" yang santer dalam konteks narasi konflik Israel-Palestina, tidak tercantum dalam dokumen itu.
"Tidak adanya kata-kata itu sebenarnya cukup mencolok dan sangat menunjukkan apa yang sebenarnya AS lihat mengenai konflik itu," kata Diana Buttu, seorang analis yang berbasis di Haifa dan mantan penasihat hukum untuk negosiator perdamaian Israel-Palestina, mengatakan kepada Al Jazeera, dikutip pada Selasa (25/6/2019).
"Mereka hanya menyusun rencana ekonomi, sambil berharap bahwa siapa saja yang terlibat akan akan senang dengan hasilnya. Tetapi itu tidak berlaku untuk isu Palestina karena (konflik itu) telah mengambil konteks politik," lanjut Buttu.
Sementara itu, banyak yang menyesalkan bahwa proposal AS merupakan daur ulang ide-ide lama. Seperti salah satunya, usulan koridor transportasi senilai US$ 5 miliar yang akan menghubungkan Tepi Barat ke Jalur Gaza yang terpisahkan oleh wilayah Israel.
Gagasan untuk koridor transportasi pertama kali muncul sekitar tahun 2005, ketika organisasi riset RAND mengusulkan untuk membangun jalur kereta "The Arc" yang menghubungkan Gaza dengan kota-kota lain di Tepi Barat, yang dimaksudkan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi dan kapasitas penduduk.
Namun, proyek itu tidak pernah terwujud karena kerumitan dalam perencanaan dan pengimplementasian di lapangan.
"(Rencana ekonomi yang diusulkan AS adalah) campuran ide-ide lama, bukan sesuatu yang baru. (Rencana itu) digambarkan sebagai perspektif baru yang segar, namun kebanyakan adalah ide lama yang sama sekali tidak pernah terjadi," Yara Hawari, seorang analis Palestina di lembaga think-tank, Al-Shabaka - The Palestinian Policy Network, kepada Al Jazeera.
"Anda akan melihat bahwa gambar-gambar yang mereka gunakan dalam dokumen proposal tersebut adalah foto yang diambil staf program USAID, program-program yang pendanaannya telah dipotong dari pemerintahan Presiden Trump. Sangat ironis."
"Meyakinkan rakyat Palestina akan proposal baru itu pada dasarnya meyakinkan mereka untuk mengambil insentif ekonomi dengan imbalan hak-hak mereka," kata Hawari.
Abaikan Solusi Dua Negara
Dokumen usulan AS juga tidak membahas isu politis seperti hambatan terhadap kebebasan bergerak yang dihadapi rakyat Palestina yang hidup di bawah blokade Israel-Mesir selama 12 tahun di Jalur Gaza; pendudukan Israel di Tepi Barat yang dikelilingi oleh permukiman ilegal Israel; diskriminasi warga Palestina; status kewarganegaraan orang Palestina yang terusir sejak Perang Enam Hari 1967 hingga perdebatan tentang Yerusalem.
Seorang ahli juga mengatakan, proposal Donald Trump itu tidak mencerminkan solusi dua negara.
"Saya kira jelas bukan solusi dua negara. Fokusnya hanya lebih pada ekonomi, sama sekali tidak merespons okupasi yang luas di Palestina," kata Mohammad Iqbal Ahnaf, dosen Program Studi Agama dan Lintas Budaya, sekolah pascasarjana Universitas Gadjah Mada, lewat sambungan telepon kepada Liputan6.com.
Menurutnya, proposal damai ala Donald Trump itu justru akan memperburuk keadaan. "Jangan-jangan ini akan menutup babakan yang sejak lama sudah diusahakan," kata Iqbal. Sebagaimana diketahui, deal of the century adalah terobosan pertama dari presiden AS dalam sejarah, yang sama sekali tidak mempertimbangkan aspek politik.
"Jika Trump ingin menghidupkan kembali perdamaian, seharusnya kembalikan solusi dua negara. Solusi ekonomi tanpa solusi politik sama saja (bohong)," lanjutnya.
Iqbal juga menyayangkan figur Donald Trump yang berusaha menjadi mediator konflik Israel-Palestina dengan proposal damai yang ia tawarkan.
Pasalnya, presiden nyentrik itu sering beretorika yang sangat konfrontatif. Sebagai contoh, pengakuan sepihaknya bahwa Yerusalem merupakan ibu kota Israel pada Desember 2017 lalu.
AS dan Israel Penyebab Ekonomi Palestina Ambruk
Beberapa hari sebelum proposal AS diumumkan pekan ini, Gubernur Otoritas Moneter Palestina (PMA) mengatakan pada Selasa, 18 Juni 2019 mengatakan bahwa keuangan negaranya berada di ambang kehancuran setelah penangguhan dana bantuan senilai ratusan juta dolar dari Amerika Serikat menyusul krisis politik antara kedua pihak menyusul polemik status Yerusalem.
Ramallah memutus hubungan politik dengan AS sebagai protes atas pemindahan kedutaan Amerika ke Yerusalem. Sebagai balasan, Amerika menangguhkan mayoritas dana bantuan yang selama ini mereka alirkan kepada Palestina.
Kondisi itu menyebabkan tekanan keuangan yang meningkat dan memicu peningkatan utang Palestina menjadi US$ 3 miliar dan menyebabkan kontraksi parah dalam ekonomi senilai US$ 13 miliar, kata Gubernur PMA, Azzam Shawwa, seperti dikutip dari Al Jazeera.
Pemotongan dana bantuan untuk Palestina oleh AS selama setahun terakhir secara luas dilihat sebagai upaya untuk menekan PA untuk kembali ke meja perundingan terkait komponen ekonomi Deal of the Century.
Sementara PBB dan para analis menilai bahwa goyahnya perekonomian Palestina turut disebabkan karena pendudukan Israel.
Sebuah laporan PBB pada tahun 2016 menemukan bahwa ekonomi wilayah Palestina yang diduduki mungkin mencapai dua kali ukurannya saat itu jika pendudukan militer Israel yang ilegal dicabut.
"Pendudukan membebani biaya besar," tulis laporan PBB, yang menyebut bahwa Israel melakukan "pembatasan pergerakan orang dan barang; erosi sistematis dan perusakan sumber daya produksi; hilangnya tanah, air dan sumber daya alam lainnya," serta menyebabkan beberapa hambatan yang mengganggu pertumbuhan wilayah.
Palestina belum memiliki kontrol kedaulatan penuh atas ekonomi mereka karena: pasar domestik yang terfragmentasi dan pemisahan dari pasar internasional, blokade di Gaza, perluasan permukiman ilegal Israel, pembangunan tembok pemisah di wilayah Palestina dan isolasi Yerusalem Timur, lanjut laporan PBB tahun 2016 itu.
Sam Bahour, seorang konsultan bisnis Palestina-Amerika, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa sejatinya Palestina tidak memerlukan sebuah "lokakarya" ekonomi baru dari AS untuk menunjukkan tentang proyek-proyek besar yang dapat mengangkat kondisi finansial Palestina.
"Kami sudah tahu itu sejak lama," kata Bahour.
"Apa yang perlu kita perhatikan sekarang adalah bagaimana kita bisa menghilangkan pembatasan dan embargo yang dijatuhkan pada kami oleh Israel berkat dukungan total dari AS," kata Bahour.
Usulan AS Menegasikan Isu Sengketa Wilayah
Nur Arafeh, analis lain untuk Al-Shabaka - The Palestinian Policy Network, telah merinci bagaimana, sejak pendudukan dimulai pada tahun 1967, Israel telah berupaya untuk memasukkan ekonomi Palestina ke dalam infrastruktur perekonomian mereka sendiri, demi memungkinkan Negeri Bintang David melakukan pengambilalihan tanah secara maksimal.
Hal yang kurang lebih senada juga disampaikan oleh Agus Haryanto, dosen Ilmu Hubungan Internasional di Universitas Jenderal Soedirman. Menurutnya, solusi ekonomi tidak akan berhasil untuk menyelesaikan konflik pelik Israel-Palestina yang pada dasarnya dipicu oleh sengketa tanah dan wilayah.
"Karena permasalahan inti di sana adalah wilayah," kata Agus. "Terlebih masalah Yerusalem juga belum jelas. Jika misalnya akan dibagi, bagaimana cara membaginya?"
Ia menambahkan, jika proposal perdamaian bernama Deal of the Century itu diberlakukan, maka Palestina akan semakin tidak memiliki hak atas wilayahnya sendiri.
"Hak Palestina akan semakin terkikis," ia menegaskan, "Sementara proposal ini akan berakhir pada status quo, serta tidak ada kemajuan dalam perdamaian Israel-Palestina," sambung Agus.
Advertisement