Liputan6.com, Aceh - Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh mengeluarkan fatwa haram terhadap gim Player Unknown Battleground atau PUBG dan sejenisnya pada Rabu, 19 Juni 2019. Fatwa itu ditetapkan dalam sidang paripurna ulama III usai sarasehan yang melibatkan sejumlah pakar.
Mengandung unsur kekerasan, kebrutalan, menimbulkan perilaku agresif dan kecanduan, serta menodai simbol agama, adalah beberapa alasan mengapa gim PUBG dan sejenisnya diharamkan oleh MPU Aceh.
Baca Juga
Advertisement
Ketetapan para mufti itu disambut oleh Dinas Syariat Islam (DSI) Kota Langsa dengan mengambil ancang-ancang memberlakukan uqubat (hukuman) cambuk bagi masyarakat yang kedapatan memainkan gim tersebut.
Cetusan Kepala DSI Kota Langsa, Ibrahim Latif ini memang belum pasti ditetapkan atau tidak. Karena yang bersangkutan mengaku belum dapat menentukan kategori jarimah (perbuatan yang dilarang) mana yang akan diberlakukan terhadap pemain gim PUBG dan sejenisnya.
Sebagai informasi, Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat hanya mengatur 10 jenis pidana yang pelakunya dapat dihukum cambuk, yakni: khamar (minum-minuman keras), maisir (perjudian), khalwat (mesum), ikhtilath (bermesraan/bercumbu), zina, pelecehan seksual, pemerkosaan, qadzaf (fitnah zina tanpa saksi minimal empat orang), liwath (homoseksual), dan musahaqah (lesbian).
Ibrahim memberi bocoran bahwa gim PUBG dan sejenisnya hendak dimasukkan dalam kategori maisir. Itu pun jika permainan tersebut memang terbukti mengandung unsur perjudian di dalamnya.
"Kalau memang gim tersebut memenuhi unsur dan ada barang buktinya terkait dengan maisir, itu diproses hukum cambuk," ujarnya kepada Liputan6.com, belum lama ini.
Melangkahi Arab Saudi
Terbitnya fatwa haram terhadap gim PUBG dan sejenisnya dinilai berlebihan apalagi muncul rencana memberlakukan hukuman cambuk kepada para pemainnya. Provinsi yang ditabalkan sebagai Serambi Makkah ini dianggap sudah terlalu jauh melangkahi Arab Saudi, negara di mana Makkah berada, dari segi aturan yang benar-benar menerapkan hukum Islam.
Di tengah hiruk pikuk fatwa haram dan rencana memberlakukan hukuman cambuk bagi pemain PUBG dan sejenisnya di Aceh, tersiar kabar bahwa Arab Saudi tengah mengadakan turnamen gim kontroversial tersebut.
Kompetisi ini digelar di Jeddah Season Festival yang berlangsung sejak 15 Juni hingga 18 Juli 2019. Penyelenggaranya adalah Federasi Saudi untuk Olahraga Elektronik dan Intelektual (SAFEIS).
"Arab Saudi saja, di mana Makkah Al-Mukarramah berada, ada turnamen besar-besaran. Kok, di Aceh disebut haram dan ada rencana memberi sanksi cambuk lagi," ketus Nassalamun (25), seorang pemuda di Kabupaten Aceh Barat yang mengaku masih memainkan gim besutan Brendan Greene tersebut kendati ulama telah mengharamkan.
Selain itu, Nassa, sapaannya, tidak setuju jika PUBG disebut-sebut mengandung unsur judi seperti yang ditukas oleh Kepala DSI Kota Langsa, Ibrahim Latif. Cetusan Ibrahim cenderung apriori.
"Bagi aku, bermain PUBG untuk menghibur diri, setelah lelah bekerja seharian. Tidak ada judi-judian di situ," kata dia.
Advertisement
Belum Bisa Diterapkan
Direktur YLBHI-LBH Banda Aceh, Syahrul, mengatakan bahwa fatwa MPU Aceh tidak bisa serta-merta diejawantah menjadi landasan hukum untuk memberlakukan hukuman cambuk bagi pemain gim PUBG dan sejenisnya.
Agar gim PUBG dan sejenisnya masuk di deretan lis jarimah (perbuatan yang dilarang), maka harus ada proses lebih lanjut yang melibatkan eksekutif dan legislatif. Dengan kata lain, Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat, satu-satunya aturan tentang hukum cambuk, harus dipermak jika aturannya berlaku untuk seluruh Aceh.
Bisa juga dengan menerbitkan aturan otonom yang tetap mengacu pada aturan qanun yang dimaksud, jika aturannya bersifat lokalitas. Namun, dari sekian banyak aturan yang ada di kabupaten/kota yang ada di Aceh, tidak ada satu pun yang memberlakukan aturan liyan mengenai hukuman cambuk terhadap suatu pelanggaran di luar pedoman qanun yang dimaksud.
Kota Langsa adalah yang pertama memberlakukan hukuman cambuk terhadap suatu jarimah di luar Qanun Nomor 6 Tahun 2014, seandainya yang dicetuskan oleh Kepala DSI Kota Langsa menjadi kenyataan. Kendati tidak menutup kemungkinan diikuti oleh kabupaten/kota lainnya.
"Sampai saat ini, itu belum bisa diterapkan. Imbauan itu dianggap menjadi landasan hukum, padahal secara hukum tidak masuk kategori hirarki perundang-undangan," jelas Syahrul kepada Liputan6.com, Rabu malam.
Simak video pilihan berikut ini: