Bos Bapennas Beberkan Alasan Pemindahan Ibu Kota

Saat ini beban Jakarta juga sudah meningkat seperti rawan banjir hingga kemacetan yang menimbulkan kerugian sampai Rp 56 triliun per tahun.

oleh Ayu Lestari Wahyu Puranidhi diperbarui 26 Jun 2019, 16:00 WIB
Pekerja menyelesaikan pembuatan panggung HUT ke-492 DKI di area Bundaran HI, Jakarta, Kamis (20/6/2019). Sejumlah artis Ibu Kota akan menghibur dalam peringatan HUT ke-492 DKI Jakarta. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Meskipun menimbulkan banyak polemik, pemerinah tetap teguh akan memindahkan ibu kota dari Jakarta saat ini. Bahkan, hingga hari ini nama calon pengganti ibu kota baru semakin jelas meskipun memang belum diresmikan.

Menteri PPN/Bappenas Bambang Brodjoneggoro mengatakan, kandidat terkuat ibu kota baru akan berada di luar Pulau Jawa, yaitu tepatnya berada di pulau Kalimantan. Hal ini ia sampaikan pada saat diskusi nasional II pemindahan ibu kota  dengan mengangkat tema Menuju Ibu Kota Aman, Lestari dan Sejahtera, di Bappenas, Jakarta, Rabu (26/6/2019).

Bambang menjelaskan, sebelumnya terdapat tiga opsi tentang rencana ibu kota baru, namun opsi pembangunan ibu kota baru di luar pulau jawa lah yang menjadi pilihan dengan alasan karena saat ini pulau jawa sudah menanggung beban yang sungguh luar biasa.

“Beban pulau jawa yang sudah luar biasa. Dari 167 juta penduduk yang ada, 57 persen penduduk berada di pulau Jawa, dan membuatnya menjadi pulau dengan kontribusi PDB terbesar yaitu sekitar 58 persen. Sementara sisanya berada di pulau-pulau lainnya.” Jelasnya.

Selain itu, menurut Bambang saat ini beban Jakarta juga sudah meningkat seperti rawan banjir, permukaan tanah yang turun, meningkatnya permukaan air laut, kualitas air yang menurun bahkan tercemar, hingga kemacetan yang menimbulkan kerugian hingga Rp 56 triliun per tahunnya.

Dengan adanya hal ini lah yang menjadi alasan utama mengapa ibu kota baru harus berada di luar Pulau Pawa menurut Bambang. Pulau Kalimantan dipilih karena menurutnya, pulau ini lah yang hampir memenuhi kriteria sebagai ibu kota baru.


Anggaran Pemindahan Ibu Kota Rp 466 Triliun

Pemandangan gedung bertingkat di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Kamis (14/3). Bank Indonesia (BI) memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2019 akan berada di kisaran 5-5,4 persen. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Pemerintah telah menyepakati akan memindahkan Ibu Kota Negara dari Jakarta menuju sebuah kota di luar Jawa. Sampai saat ini belum dipastikan dimana lokasinya. Hanya saja Presiden RI Joko Widodo sudah meninjau langsung Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.

Kementerian PPN/Bappenas telah membuat kajian mengenai rencana pemindahan ibu kota tersebut. Hasilnya, setidaknya butuh Rp 466 triliun untuk mewujudkan rencana besar pemerintah tersebut.

Dikutip Liputan6.com dari hasil kajian Bappenas, Jumat (7/6/2019), Rp 466 triliun ini didapatkan dari tiga skema pembiayaan untuk ibu kota baru, yaitu APBN, Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) dan swasta.   

Kawasan Ibu Kota ini nantinya terbagi dalam tiga komponen. Pertama, fungsi utama, yang terdiri dari gedung legislatif, gedung eksekutif, gedung yudikatif, Istana Negara dan bangunan strategis TNI/POLRI.

Komponen pertama ini akan dibangun dengan anggaran Rp 32,7 triliun. Dimana khusus untuk pembangunan Istana Negara dan bangunan strategis TNI/POLRI akan bersumber dari APBN.

Komponen kedua, kawasan ibu kota ini terdiri dari rumah dinas, sarana pendidikan, sarana kesehatan dan Lembaga Pemasyarakatan. Adapun total anggaran pembangunan sebesar Rp 265,1 triiliun.

Mengenai sumber pendanaan, dalam komponen ini tidak ada yang berasal dari APBN, semua akan berkonsep KPBU dan murni swasta.


Fungsi Pendukung

Pemandangan gedung bertingkat di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Kamis (14/3). Kondisi ekonomi Indonesia dinilai relatif baik dari negara-negara besar lain di Asean. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Kemudian komponen ketiga, yaitu merupakan fungsi pendukung. Kawasan pendukung ini terdiri dari sarana dan prasaran (jalan, listrik, telekomunikasi, air minum, drainase, pengolahan limbah; sarana olah raga), ruang terbuka hijau.

Kawasan pendukung ini akan dibangun dengan anggaran Rp 160,2 triliun. Adapun untuk fasilitas sarana dan prasarana dibangun dengan skema KPBU dan ruang terbuka hijau dibangun dengan APBN.

Terakhir, pemerintah tetap menganggarkan untuk pengadaan lahan. Hanya saja, anggaran untuk ini tidaklah besar, hanya Rp 8 triliun.


Ini Standar Ibu Kota Baru Pengganti Jakarta

Pemerintah mengkaji pemindahan Ibu Kota pemerintahan dari Jakarta. (Liputan6.com/Abdillah)

Pemerintah berencana untuk memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke wilayah lain di luar Jawa. ‎Untuk mendukung pemindahan ibu kota ini, pemerintah menyiapkan standar kota untuk menjadi pengganti Jakarta.

‎Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro mengatakan, standar ibu kota yang baik yaitu kota yang mampu memenuhi kebutuhan dasar penduduknya.

Dia menjalankan, meski pun selama ini Jakarta sebagai ibu kota negara kerap dijadikan standar bagi pengembangan kota lainnya di Indonesia, namun sebenarnya Jakarta belum memenuhi kriteria kota yang baik bagi penduduknya.

"Kita mungkin merasa hari ini kita sudah memenuhi, padahal belum. Contoh paling sederhana, di Jakarta misalkan, kita merasa di Jakarta adalah standarnya kota di Indonesia," ujar dia saat berbincang khusus dengan Liputan6.com di Jakarta beberapa waktu lalu.

Salah satu masalah yang membuat Jakarta belum memenuhi standar ibu kota yang baik adalah soal tata kelola air baku untuk kebutuhan masyarakat. Selama ini warga ibu kota masih banyak mengandalkan air tanah sebagai air baku dan untuk konsumsi sehari-hari.

"Apakah Anda pernah membayangkan bahwa air yang kita pakai sehari-hari di Jakarta adalah air yang langsung mengambil dari tanah. Padahal untuk kota ideal yang kategori liveable, yang benar air harus dari pipa.‎ Jadi ada distribusi air yang kualitasnya bagus sehingga akhirnya orang bisa menikmati air yang bersih sehat dan sesuai kebutuhan. Sedangkan yang kita tahu di Jakarta banyak yang mengandalkan air tanah yang merusak lingkungannya sendiri. Itu contoh simpel," jelas dia.

Selain itu juga soal pengolahan limbah rumah tangga. Selama ini, Jakarta hanya mampu mengelola 2 persen dari limbah yang dihasilkan oleh penduduknya.

"Contoh lainnya air limbah, bayangkan ‎kota sebesar ini air limbahnya pengolahannya cuma bisa tercover 2 persen dari wilayah Jakarta . Sisanya kita mengolah air limbah belum pada standar yang benar. Ini contoh-contoh simpel bahwa kota baru nanti harus memenuhi kebutuhan dasar secara layak. Jadi tidak boleh lagi air itu misalkan dari air tanah. Artinya air tanah itu hanya untuk sumber awalnya. Tapi penyalurannya dari pipa, bukan setiap rumah membuat sumur sendiri-sendiri," tandas dia.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya