Konferensi Bahrain, Cara AS Bermain Licik di Tanah Palestina

Duta Besar Palestina Zubair Al Shun mengecam Konferensi Bahrain yang membahas proposal perdamaian negara itu dengan Israel besutan Donald Trump.

oleh Siti Khotimah diperbarui 26 Jun 2019, 17:01 WIB
Duta Besar Palestina untuk Indonesia Zubair Alshun dalam konferensi pers pada Rabu, 26 Juni 2019 (Liputan6.com/Siti Khotimah)

Liputan6.com, Jakarta - Amerika Serikat di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump menawarkan proposal perdamaian Israel-Palestina yang bernama Deal of the Century atau Kesepakatan Abad Ini. Bagian ekonomi dari inisiatif itu telah diumumkan, bernama Kerangka Kerja Perdamaian untuk Kesejahteraan. Negeri Paman Sam menggagas megaproyek investasi senilai US$ 50 miliar di Timur Tengah, dengan Ramallah konon akan menjadi prioritas.

Paket pembangunan ekonomi itu telah diumumkan oleh Jared Kushner, menantu sekaligus penasihat Donald Trump. Banyak proyek disebutkan, seperti pengembangan jalan, penyeberangan perbatasan, pembangkit listrik, dan pariwisata. Donald Trump juga optimis hendak "menciptakan satu juta pekerjaan bagi warga Palestina" dengan proyek tersebut, sebagaimana dikutip dari The Straits Times.

Proposal yang menuai kontroversi itu juga sedang dibahas dalam Konferensi di Manama, Bahrain. Sejumlah negara Arab menghadiri lokakarya itu. Di antaranya Mesir, Yordania, Maroko, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab.

Terkait Lokakarya yang berlangsung di Bahrain, Duta Besar Palestina untuk Indonesia angkat bicara. Zuhair Al Shun mengatakan pada Rabu (26/6/2019), konferensi itu adalah bagian dari langkah Amerika Serikat untuk bermain licik di tanah Palestina.

Palestina sendiri tidak berpartisipasi dalam lokakarya tersebut.

"Hal itu menjadi tanda yang jelas, bagaimana terdapat pernikahan, namun tidak dihadiri oleh salah satu mempelai," kata Dubes. "Bagaimana bisa pembahasan proyek-proyek yang akan ada di Palestina namun tidak diikuti oleh Palestina?"

Dengan demikian, konferensi di Manama yang telah berlangsung berpotensi akan "mengambil hak orang-orang Palestina."

Zuhair manambahkan, tanah Palestina bukanlah tempat yang dapat diperjual-belikan. "Oleh karenanya kita menolak (Konferensi Bahrain)," tandas Zuhair.

Jika inisiatif tentang pembangunan ekonomi itu disepakati oleh negara-negara peserta Konferensi Bahrain, Palestina mengatakan, justru Israel yang diuntungkan. Tel Aviv disinyalir akan menjadi pihak yang nantinya akan memasarkan proyek-proyek tersebut kepada negara-negara Arab.

Simak video pilihan berikut:


Hamas: Palestina Tidak untuk Dijual

Warga Palestina di Kota Gaza pada 24 Juni 2019, mengibarkan bendera nasional dan memegang spanduk yang mengecam konferensi Perdamaian untuk Kemakmuran yang dipimpin AS di Bahrain. (MOHAMMED ABED / AFP)

Presiden Palestina, Mahmoud Abbas, juga telah menolak rencana itu, dengan mengatakan "situasi ekonomi tidak boleh dibicarakan sebelum situasi politik" sebagaimana dikutip dari The Independent.

"Selama tidak ada solusi politik, kami tidak berurusan dengan solusi ekonomi apa pun", katanya seperti dikutip kantor berita WAFA.

Sementara itu, kelompok Hamas yang berbasis di Gaza, dengan tegas menjawab penawaran Kushner: "Palestina tidak untuk dijual."

Jibril Rajoub, seorang pejabat senior Fatah, menggemakan kata-kata Abbas, mengatakan kepada lembaga penyiaran publik Israel: "Jalur ekonomi bukan solusi" dan bahwa dana itu "tidak berarti selama pendudukan terus berlanjut". 

Hanan Ashrawi, anggota Komite Eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) juga mengatakan hal yang senada dengan kelompok-kelompok lainnya.

"Pertama-tama hentikan pengepungan Gaza, hentikan pencurian Israel atas tanah, sumber daya, dan dana kami, beri kami kebebasan bergerak dan kontrol atas perbatasan, wilayah udara, perairan teritorial, dll. Kemudian perhatikan kami untuk membangun ekonomi ... sebagai (pihak) yang bebas dan berdaulat," katanya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya