Liputan6.com, Jakarta Indonesia pernah menjadi salah satu negara yang terkena dampak krisis keuangan global pada 1998 dan 2008. Dampak yang dirasakan Indonesia antara lain pelemahan nilai tukar Rupiah, inflasi yang tinggi, serta perlambatan pertumbuhan perekonomian.
Inflasi pada saat itu mencapai 70 persen dan nilai tukar melonjak dari level 2.000 ke level 17.000 per dolar AS (USD).
Advertisement
Lalu bagaimana cara agar Indonesia bisa menghindari terulangnya tragedi tersebut ?
Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia (BI), Juda Agung menyebutkan untuk menangkal krisis, BI mengeluarkan kebijakan yang mengatur interaksi antara makroekonomi dengan mikroekonomi, yang dikenal dengan kebijakan makroprudensial.
Kebijakan tersebut diterbitkan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan dan mendukung kestabilan perekonomian Indonesia.
"Krisis datang dari mana saja, bersumber dari mana saja, menelan biaya yang sangat besar, dan waktunya pemulihan yang sangat tinggi," kata dia dalam sebuah acara diskusi di Grand Indonesia, Jakarta, Rabu (26/6/2019).
Dia menganalogikan krisis keuangan sebagai sebuah kecelakaan mobil. Di mana kecelakaan tersebut dapat dicegah jika hal-hal yang dapat memicu terjadinya kecelakaan dapat dihindari.
"Dari institusi keuangan harus sehat. Banknya harus sehat, makanya ada dalam aturan itu ada minimal requirement misalnya untuk masalah tertentu. Misalnya, modal bank minimal 8-15 persen, itu indikator yang menunjukkan bank sehat atau tidak. Kemudian, likuiditas, kalau masyarakat tarik banyak, namun bank masih punya kecukupan, apalagi ketika rush. Waktu 98 ada 16 bank yang tutup di hari yang sama akibat krisis. Itu pernah terjadi di Indonesia, bukan ketika 98 saja, meski yang masif saat 98," ujarnya.
Kemudian, supir mobil juga harus dalam keadaan sehat, jangan yang mabok,mengantuk atau mengebut.
"Makanya supir bank pun harus di fit and proper, dilihat pengalaman dan track record. Pernah tidak ngemplang dan melakukan kejahatan perbankan, ini yang namanya mikroprudensial, melihat satu per satu institusi perbankan, termasuk asuransi dan lain-lain. Itu lembaganya OJK, dulunya di BI. Setelah lepas, BI masih memiliki wewenang atau hak untuk awasi lalu lintas sistem," ujarnya.
Reporter: Yayu Agustini Rahayu
Sumber: Merdeka.com
Pengawasan
Pengawasan mikroprudensial ini, lanjutnya, dilakukan dengan mencegah penularan terhadap sistem keuangan. "Ketika terjadi pohon jatuh dan mobil tabrakan, kemudian tidak menyebabkan kemacetan di mana-mana. Caranya, jalannya dibuat tidak satu jalan saja, ada saluran lain, ada aturan 3 ini 1, ganjil genap dan lain-lain," ujarnya.
Hal itu juga akan mencegah efek domino saat ada satu bank yang bangkrut. Sehingga kebangkrutan tidak akan menular pada bank yang lainnya. Terutama setelah adanya aturan bank sistemik.
"Sekarang ada 201 bank, ada yang namanya bank sistemik, yaitu bank besar yang kalau jatuh akan punya dampak ke bank lain. Ini yang kami plototin terus. Bank sistemik ini requirementnya lebih tinggi, risk manajemen harus lebih canggih, orang lebih pengalaman, dan lain-lain. Contoh, bank BUMN umumnya adalah bank sistemik," ujarnya.
Selanjutnya, saat berada di dalam kondisi yang baik, dana yang dimiliki jangan sampai dihabiskan, namun harus digunakan untuk cadangan yang dapat digunakan untuk stabilisasi ketika keadaan ekonomi memburuk.
"Di bank juga harus sama. Ketika ekonomi membaik, orang optimis, pinjam kredit, bank harus sisihkan sebagian kekeayaannya di modal, modal harus ditambah, in case ekonomi nanti melemah. Itu countercyclical capital buffer, sekarang nol persen, tapi nanti kalau kredit tinggi, kami buat tambahkan modal," tutupnya.
Advertisement