Liputan6.com, Jakarta PT PLN (Persero) mengklaim rasio pemadaman listrik skala nasional turun. Hal ini ditunjukkan pada parameter perhitungan pemadaman listrik SAIDI dan SAIFI.
Pelaksana tugas (Plt) Direktur Utama PLN Djoko Abumanan mengatakan, rasio pemadaman listrik turun dengan melihat pada perhitungan rata-rata lama pemadaman listrik dalam setahun (SAIFI).
Advertisement
"Lama pelanggan padam rata-ratanya dinyatakan jadi SAIDI," kata Djoko, saat rapat dengan Komisi VI DPR, di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (27/6/2019).
Dia menyebutkan, pada 2016 lama pemadaman 1.532 menit yang dialami per pelanggan. Kemudian 2017 lama pemadaman 1.160 menit per pelanggan, pada 2018 lama pemadaman 958 menit per pelanggan dan triwulan pertama 2019 lama pemadaman 279 menit per pelanggan.
"Contoh dari total pelanggan PLN, dalam setahun 4 sekian menit per Pelanggan," tuturnya.
Djoko melanjutkan, selain SAIFI PLN juga mencatat penurunan frekuensi pemadaman listrik per pelanggan dalam satu tahun (SAIDI). Pada 2016 frekuensi pemadaman listrik 15,09 kali per pelanggan, 2017 rata-rata pemadaman listrik terjadi sebanyak 12,65 kali per pelanggan.
Sedangkan pada 2018 rata-rata frekuensi pemadaman listrik kembali mengalami penurunan, menjadi 9,90 kali per pelanggan dan kuartal pertama 2019 mencapai 2,96 kali per pelanggan.
"SAIFI fekuensinya, contoh 15.99 Kali per pelanggan dalam satu tahun. Ini akumulasi per pelanggan," tandasnya.
YLKI: Tarif Listrik Tak Hanya Naik, Tapi Harus Bisa Turun
Yayasan Lembaga Konsumen Indoneia (YLKI) mengingatkan, PT PLN (Persero) tidak menjadikan penerapan kembali tarif listrik tidak tetap untuk golongan nonsubsidi, dijadikan alasan menaikkan tagihan listrik.
Ketua Umum YLKI, Tulus Abadi mengatakan, penerapan tarif listrik tidak tetap atau adjustment tarif merupakan hal yang lumrah, tapi jangan dijadikan ketetapan PLN untuk hanya menaikan tarif. Sebab jika skema tarif listrik tidak tetap juga diterapkan, ada kemungkinan tarif juga turun.
"Adjusment konsep yang terjadi di mana-mana, tapi jangan sampai adjusment sifatnya menjadi legitimasi untuk menaikkan tarif, adjusment itu bisa naik bisa turun," kata Tulus, di Jakarta, Kamis (27/6/2019).
Baca Juga
Tulus menuturkan, dalam menetapkan besaran tarif PLN harus mengikuti pergerakan formula, sehingga jika formula harga turun, tarif listrik juga mengikutinya.
"Kalau dinamika eksternalnya mewajibkan tarif untuk turun, ya harus turun tarifnya, jangan sampai yang terjadi adjusment untuk naikkan tarif tapi juga harus disetting untuk bisa menurunkan tarif," tutur dia.
Untuk diketahui, dalam penetapan tarif PLN mengacu pada tiga faktor, yaitu inflasi, kurs dolar Amerika Serikat (AS) dan harga minyak Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP).
Dia mengungkapkan, sebenarnya masyarakat pengguna listrik nonsubsidi sudah terbiasa dengan tarif listrik tidak tetap, tapi sejak pertengahan Juli 2016 pemerintah memutuskan untuk menahan tarif hingga akhir 2019.
"Karena ada inkonsistensi kebijakan ada peraturan Menteri ESDM sudah jelas ada adjusment, sudah bagus minimal untuk non subsidi itu bagus, tapi ditahan lagi jadi akhirnya kalau menurut saya harus dimulai lagi dari nol," tandasnya.
Advertisement
PLN: Tarif Listrik Bisa Berubah Setiap Saat
Sebelumnya, Pemerintah berencana kembali memberlakukan tarif listrik tidak tetap (adjustment ) untuk golongan pelanggan nonsubsidi pada 2020. Ini setelah sejak pertengahan 2016 sampai akhir 2019 tarif listrik tak berubah.
Pelaksana tugas (Plt) Direktur Utama PLN Djoko Abumanan mengatakan, untuk menetapkan besaran tarif listrik, PLN mengacu pada tiga faktor. Ketiganya yaitu inflasi, kurs dolar Amerika Serikat (AS) dan harga minyak Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP)
"BPP (Biaya Pokok Produksi) sangat dipengruhi oleh beberapa faktor. Terutams kurs dan ICP," kata Djoko, di Jakarta, Rabu, 26 Juni 2019.
Djoko mengungkapkan, jika tarif listrik tidak tetap untuk golongan pelanggan non subsidi berlaku kembali, maka besaran tarif bisa berubah dalam waktu tertentu mengikuti pergerakan tiga faktor tersebut.
"Makanya, apabila mau mengikuti tarif adjustment, maka harga bisa berubah sewaktu waktu," ujar dia.
Menurut Djoko, tarif listrik untuk semua golongan sampai akhir 2019 diputuskan tidak berubah dengat rata-rata besaran Rp 1.132 per kilo Watt hour (kWh).
Padahal jika mengikuti pergerakan formula harga rata-rata tarif listrik sebesar Rp 1.3448 per kWh pada Maret 2019 dan Rp 1.352 per kWh pada April 2019.
"Namun, masyarakat kan menikmati harga yang ditahan seperti saat ini sebesar Rp 1.132 per kwh. Selisih harga inilah yang diberikan oleh pemerintah sebagai kompensasi," tandasnya.