Liputan6.com, Tokyo - Menjadi tuan rumah penyelenggaraan KTT G20, Jepang berharap para pemimpin dunia akan mengesahkan kesepakatan untuk mengatasi masalah limbah plastik di laut, dan menemukan dan landasan bersama terkait perubahan iklim.
Ironisnya, catatan lingkungan Jepang sendiri sedang dalam pengawasan yang meningkat dari berbagai aktivis terkait.
Dikutip dari Channel News Asia pada Kamis (27/6/2019), Jepang telah ketinggalan dalam mengurangi konsumsi plastik, dan mengalah pada tekanan Amerika Serikat (AS) untuk menggunakan kata perubahan iklim sebagai "bentuk penyederhanaan isu".
Baca Juga
Advertisement
Jepang, yang memimpin pertemuan G20 di Osaka, telah mendapatkan persetujuan dari para menteri lingkungan mengenai kesepakatan limbah plastik laut, yang akan disahkan pada pekan ini.
Kesepakatan itu mendorong anggota G20 untuk mengurangi limbah plastik, namun tidak menjelaskan detail tentang bagaimana komitmen tersebut dicapai.
Gagasan bersama itu hanya mengusulkan langkah-langkah sukarela dan laporan tahunan tentang kemajuan penangangan isu lingkungan.
Sebelumnya pada bulan lalu, Perdana Menteri Shinzo Abe mengatakan isu lingkungan akan menjadi "salah satu tema terpenting di G20", menambahkan bahwa Jepang berharap memaminkan peran krusial di dalamnya.
Tetapi, sementara para aktivis mengatakan perjanjian tersebut adalah "langkah pertama", mereka berpendapat itu harus lebih ambisius.
"Diperlukan peraturan internasional yang mengikat secara hukum dengan jadwal dan tujuan yang jelas", kata Yukihiro Misawa, manajer kebijakan plastik pada kelompok lingkungan WWF Jepang, kepada kantor berita AFP.
Jepang Dinilai Bergerak Lamban
Kesepakatan di atas muncul ketika para aktivis mengkritik Jepang karena bergerak terlalu lambat dalam mengurangi konsumsi plastik, terutama karena negara itu menghasilkan lebih banyak sampah plastik per kapita daripada negara mana pun selain Amerika Serikat.
Jepang memuji sistem pengelolaan limbah yang patut ditiru, dan 86 persen limbah plastiknya didaur ulang.
Tetapi banyak dari "daur ulang" itu hanya melibatkan pembakaran plastik, sering kali untuk menghasilkan energi, suatu proses yang menghasilkan karbon dioksida dan berkontribusi terhadap perubahan iklim.
Jepang mengekspor sekitar 10 persen limbah plastiknya untuk didaur ulang di luar negeri.
Tetapi, penelitian oleh para penggiat lingkungan menunjukkan bahwa limbah tersebut dapat berakhir di lautan, atau dibakar secara tidak layak yang berisiko memancarkan polutan berbahaya.
Bulan lalu, Jepang mengumumkan strategi baru untuk mengurangi limbah plastik, termasuk rencana untuk akhirnya meminta pengecer mengenakan biaya untuk kantong plastik.
Akan tetapi, kebijakan itu masih jauh di belakang aturan banyak negara yang melarang secara langsung penggunaan kantong plastik dan plastik sekali pakai lainnya.
"Apa yang diharapkan dari Jepang adalah berperilaku sebagai panutan," kata Misawa.
Advertisement
Masalah Perubahan Iklim
Jepang juga menghadapi pengawasan meningkat terhadap isu-isu perubahan iklim, terutama konsumsinya batu bara yang semakin besar di sana.
Padahal Jepang adalah salah satu dari hampir 200 negara yang menandatangani perjanjian iklim Paris, di mana berupaya membatasi pemanasan global agar "jauh di bawah" dua derajat Celsius.
Namun, pada awal bulan ini, Jepang mengatakan akan terus bergantung pada pembangkit listrik tenaga batu bara, dan menetapkan tanggal target untuk status netral karbon setelah 2050.
Greenpeace mengatakan bahwa Jepang "tidak benar-benar serius tentang mitigasi perubahan iklim".
Senada dengannya, para pengamat memperkirakan Jepang akan menghadapi tekanan tambahan atas bagian perubahan iklim dari komunike akhir G20.