Jarak Rumah ke Sekolah Belum Jadi Pertimbangan Calon Pembeli Rumah

Kebijakan pemerintah menerapkan sistem zonasi pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di sekolah-sekolah negeri menimbulkan pro dan kontra di masyarakat.

oleh Arthur Gideon diperbarui 28 Jun 2019, 08:40 WIB
Maket rumah yang dipamerkan dalam pameran Indonesia Property Expo (IPEX) 2017 di JCC, Senayan, Jakarta, Jumat (11/8). Pameran proyek perumahan ini menjadi ajang transaksi bagi pengembang properti di seluruh Indonesia. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Kebijakan pemerintah menerapkan sistem zonasi pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di sekolah-sekolah negeri menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Dalam sistem zonasi, pertimbangan utama pihak sekolah untuk menerima calon peserta didik adalah kedekatan jarak antara sekolah dengan rumah.

Kebijakan ini diadakan pemerintah untuk berusaha membentuk sistem pendidikan yang adil bagi seluruh anak Indonesia dengan melakukan pemerataan kualitas pendidikan sehingga meniadakan sekolah favorit. Kebijakan baru ini cukup membuat kontroversi ini karena selama ini masyarakat selalu memilih sekolah favorit bagi anak mereka tanpa mempertimbangkan kedekatan jarak tempat tinggal dengan sekolah.

Fakta tersebut juga terungkap dari hasil survei Rumah.com Property Affordability Sentiment Index H1 2019, dimana 5 besar faktor pertimbangan dalam membeli properti, kedekatan jarak rumah ke sekolah tidak menjadi pertimbangan utama.

Survei berkala ini dilaksanakan oleh Rumah.com sebagai pemimpin pasar properti portal di Indonesia untuk mengikuti secara langsung perkembangan yang terjadi di pasar, diselenggarakan dua kali dalam setahun oleh Rumah.com bekerjasama dengan lembaga riset Intuit Research, Singapura.

Head of Marketing Rumah.com Ike Hamdan menjelaskan, mengacu pada hasil survei Rumah.com Property Affordability Sentiment Index H1 2019, ada banyak hal yang menjadi pertimbangan responden saat memilih rumah yang cocok. Di antara pertimbangan-pertimbangan tersebut, jarak ke fasilitas transportasi umum menjadi pertimbangan responden terbanyak, yakni sebesar 76 persen.

Kemudian disusul dengan jarak ke tempat kerja, kedekatan ke sarana kesehatan, masing-masing sebesar 47 persen dan 43 persen.

Kedekatan jarak antara rumah dengan sekolah belum menjadi pertimbangan utama karena sistem zonasi sekolah baru diterapkan setahun terakhir ini sehingga orang tua bisa bebas menyekolahkan anaknya di sekolah yang selama ini favorit tanpa harus memiliki kedekatan jarak dengan sekolah tersebut.

“Pertimbangan jarak dan lingkungan yang menjadi pertimbangan utama tersebut berkaitan dengan kelompok usia responden yang berencana membeli rumah dalam enam bulan ke depan, yakni usia 21-39 tahun. Usia ini merupakan usia produktif dan akan atau berkeluarga kecil, sehingga mobilitas dan lingkungan yang ramah anak-anak jadi pertimbangan utama," kata Ike, Jumat (28/6/2019).

"Selain itu mereka belum terlalu memikirkan pendidikan lanjutan bagi anak-anak mereka untuk jenjang SMP dan SMA sehingga kedekatan rumah dengan sarana pendidikan belum termasuk jadi pertimbangan utama,” tambah dia. 

Kebijakan sistem zonasi saat ini terutama diterapkan untuk sekolah negeri jenjang SMP dan SMA. Sehingga jika melihat perjalanan hidup seseorang secara umum, kebijakan ini memang baru akan berdampak ketika mereka berusia 35-40 tahun ke atas dan memiliki anak usia sekolah tingkat lanjut.

Sangat mungkin belum terbayang untuk mereka yang baru membeli rumah pertama kali di usia yang relatif masih muda, misal 25-30 tahun, untuk memikirkan tentang kedekatan rumah dengan sekolah yang diinginkan.

Dengan demikian, ada dua hal yang dapat dilakukan untuk mengantisipasi masalah ini. Pertama yang wajib dilakukan adalah mempelajari area rumah baru tersebut. Sangat dianjurkan untuk melakukan pengecekan mengenai rencana tata kota daerah yang bersangkutan. 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


PPh Rumah Mewah Jadi 1 Persen Bakal Tarik Minat Investor Asing

Maket rumah yang dipamerkan dalam pameran Indonesia Property Expo (IPEX) 2017 di JCC, Senayan, Jakarta, Jumat (11/8). Pameran proyek perumahan ini menjadi ajang transaksi bagi pengembang properti di seluruh Indonesia. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Pemerintah akhirnya menurunkan pajak penghasilan (PPh) atas penjualan rumah dan apartemen dengan harga di atas Rp 30 miliar dari lima persen menjadi satu persen.  Langkah tersebut dinilai dapat menggairahkan sektor usaha selain properti.

Ketentuan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 92/PMK.03/2008 tentang wajib pajak badan tertentu sebagai pemungut pajak penghasilan dari pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah.

Barang mewah tersebut antara lain pesawat terbang dan helikopter pribadi, kapal pesiar, yacht, dan sejenisnya.

Selain itu, rumah beserta pribadinya dengan harga jual dan pengalihannya lebih dari Rp 30 miliar atau luas bangunan lebih dari 400 m2. Tak hanya itu, ada juga apartemen, kondominium dan sejenisnya dengan harga jual atau pengalihannya lebih dari Rp 30 miliar atau luas bangunan lebih dari 150 m2. 

Untuk pengenaan pajak penghasilan satu persen berlaku untuk rumah beserta tanahnya dengan harga jual dan pengalihan lebih dari Rp 30 miliar dengan luas bangunan lebih dari 400 m2. Selain itu, apartemen, kondominium dan sejenisnya dengan harga jual atau pengalihannya lebih dari Rp 30 miliar atau luas bangunan lebih dari 150 m2.

Sementara itu, barang mewah lainnya yaitu kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang berupa sedan, jeep, sport utility vehicle (SUV), multi purpose vehicle (MPV), minibus dan sejeninys dengan harga jual lebih dari Rp 2 miliar dengan kapasitas silinder lebih dari 3.000 cc.

Kendaraan bermotor roda dua dan tiga dengan harga jual lebih dari Rp 300 juta dengan kapasitas silinder lebih dari 250 cc tetap dengan pengenaan pajak penghasilan lima persen.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak), Hestu Yoga Saksama menuturkan, pajak penghasilan atas penjualan properti jadi satu persen untuk mengairahkan sektor properti dan lainnya.

"Sektor properti memiliki multiplier efek yang luas ke sektor-sektor lain. Di samping itu, pertumbuhan sektor properti kurang begitu bagus akhir-akhir ini, jadi dengan stimulus itu diharapka produksi dan penjualannya meningkat," ujar Hestu saat dihubungi Liputan6.com, lewat pesan singkat, seperti ditulis Rabu (26/6/2019).

Sementara itu, pengamat pajak Ruston Tambunan menuturkan, berdasarkan revisi PMK tersebut, pemungut pajak dalam hal ini penjual atau pengembang mengenakan pajak penghasilan dari pembeli. Hal ini berarti memberikan insentif untuk pembeli karena PPh atas penjualan barang mewah dalam hal ini rumah dan apartemen mewah turun jadi satu persen. Hal tersebut dinilai dapat menarik investasi terutama dari investor asing.

"Ini menarik minat investor asing. Sedangkan bagi lokal ini ada pengurangan beban karena tadinya lima persen jadi  hanya bayar satu persen," ujar Ruston saat dihubungi Liputan6.com.

Ia menambahkan, dengan revisi aturan tersebut tidak hanya berdampak terhadap sektor properti tetapi juga sektor lainnya.”Real estate akan bangun properti ini butuh semen, dan industri akan berdampak positif karena juga ada bahan baku baku lainnya dibutuhkan,” kata Ruston.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya