Liputan6.com, Osaka - Para negara anggota G20 mendesak Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan timpalannya dari China, Xi Jinping, untuk mencapai kesepakatan perdagangan, atau jika tidak, maka akan berisiko menggotakan ekonomi global.
Desakan terhadap dua negara ekonomi terbesar itu utamanya diajukan oleh Presiden Rusia Vladimir Putin, Perdana Manteri India Narendra Modi, dan Presiden Komisi Eropa Jean-Claude Juncker, demikian sebagaimana dikutip dari The Guardian pada Jumat (28/6/2019).
Ketiganya mendesak AS dan China untuk menyelesaikan perselisihan terkait ketika mereka bertemu di sela-sela pertemuan puncak G20 pada Sabtu esok.
Baca Juga
Advertisement
Tetapi, pasar keuangan di seluruh Asia terlanjur jatuh pada hari Jumat, di tengah berkembangnya kekhawatiran bahwa perundingan akan gagal memecahkan kebuntuan, serta melihat gelagat presiden AS yang mengancaman jatuhkan tarif tambahan untuk barang-barang China.
Sementara itu, Donald Trump telah mengadopsi posisi "siap berperang" menjelang pertemuan puncak G20 pada hari Sabtu, dengan mengatakan bahwa China sangat ingin mencapai kesepakatan karena ekonominya "melemah".
Di lain pihak, Xi Jinping membalas pada hari Jumat, dengan mengatakan bahwa beberapa negara maju mengambil langkah-langkah proteksionis yang mengarah pada konflik perdagangan dan blokade ekonomi.
Xi juga menyebut paar negara maju ini sebagai risiko terbesar dari peningkatan ketidakstabilan di ekonomi global.
"Semua ini menghancurkan tatanan perdagangan global," katanya kepada para pemimpin negara-negara Brics (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan) di Osaka.
Desakan Meredakan Ketegangan Dagang
Sementara itu, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe mendesak para pemimpin G20 untuk bekerja sama meredakan ketegangan perdagangan dan politik, di mana ia menggambarkan isu-isu terkait sebagai ancaman terhadap pertumbuhan dan stabilitas ekonomi global.
Menurut pada pengamat, PM Abe berupaya menghindari munculnya "dendam" di KTT G20 pertama yang digelar di Jepang.
Abe mengatakan ekonomi "bebas dan terbuka" sangat penting untuk perdamaian dan kemakmuran, menambahkan bahwa tidak ada yang akan mendapat manfaat dari tindakan pembalasan atas perdagangan.
Bersamaan dengannya, Donald Trump mengancam Jepang atas apa yang disebutnya keuntungan tidak adil dalam perdagangan. Abe, yang menjamu presiden AS ke-45 itu pada kunjungan kenegaraan bulan lalu, memulai pertemuan puncak dengan menyerahkan kepadanya sebuah dokumen yang menguraikan investasi otomotif di Negeri Paman Sam.
Trump mengatakan sebelum pertemuan bilateral dengan Abe pada hari Jumat pagi: "Saya menghargai kenyataan bahwa Anda mengirim banyak perusahaan mobil ke Michigan, dan Ohio, dan Pennsylvania, dan North Carolina -banyak negara bagian kami. Saya melihat mereka membangun di seluruh Amerika Serikat, banyak perusahaan mobil Jepang yang hebat ... dan perusahaan Jepang lainnya juga."
"Tetapi khususnya, perusahaan mobil sangat hebat. Mereka datang dan membangun pabrik yang luar biasa. Kami belum memilikinya, dan kami sangat menghargainya. Jadi kita akan membahas perdagangan. Kami akan membahas militer. Dan kami akan membahas pembelian banyak peralatan militer oleh Jepang, dan kami menghargai itu," lanjut Trump yang dinilai menyindir ekspansi masif Tokyo di industri otomotif.
Advertisement
Kekhawatiran Telah Lebih Dulu Muncul
Hannah Anderson, ahli strategi pasar global dari JP Morgan Asset Management, mengatakan kekhawatirannya adalah bahwa pasar telah "melihat kemungkinan buruk ini sebelumnya".
"Pembicaraan China dan AS, kebocoran dari para pembuat kebijakan di kedua sisi mendorong spekulasi bahwa kita dekat dengan kesepakatan (dagang). Tapi kemudian, segalanya berantakan, AS menekan maju dengan tarif yang lebih tinggi dan pasar menyatakan ketidaksenangan mereka dengan koreksi dan volatilitas yang lebih tinggi," ujar Anderson prihatin.
Dolar AS, yang merosot tajam akibat sinyal dari Federal Reserve --bank sentral Amerika-- tentang rencana pemotongan suku bunga segera, yang dimaksudkan untuk menahan kemajuan signifikan dari enam mata uang rival utamanya.
Sementara itu, dolar Australia, yang dilihat sebagai proksi bagi ekonomi China, dilaporkan rasio nilai tukarnya naik di atas US 70 sen.
Di pasar komoditas, kekhawatiran perdagangan terus membebani industri minyak, dengan patokan global, minyak mentah Brent turun 0,56 persen menjadi US$ 66,18 per barel.
Beruntung, emas yang menjadi alat investasi tradisional bagi para investor, nilainya naik menjelang akhir pekan ini. Harga perdagangannya naik 0,79 persen menjadi US$ 1.420,35 per ons.