Harapan Petani Tebu untuk Periode Kedua Pemerintahan Jokowi

Petani tebu menyampaikan harapan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang akan kembali memimpin lima tahun mendatang.

oleh Liputan6.com diperbarui 28 Jun 2019, 21:17 WIB
Aktivitas petani tebu di Desa Betet, Pesantren, Kediri, Jatim pada akhir September lalu. Pada tahun 2018, stok gula konsumsi surplus 2,4 juta ton dengan rincian stok sisa akhir tahun 2017 sebesar 1 juta ton. (Merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - Petani tebu menyampaikan harapan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang akan kembali memimpin lima tahun mendatang.

Salah satu harapan yang disampaikan agar Jokowi dapat memerhatikan kebutuhan para petani.

Ketua Umum Dewan Pembina DPP Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), HM Arum Sabil mengatakan, sejauh ini para petani tebu mengalami beberapa kesulitan. Mulai dari mengakses permodalan hingga minimnya varietas tebu unggul. 

"Mereka harusnya diberikan kemudahan untuk bisa mengakses pendanaan, varietas yang unggul," kata dia, dalam diskusi di Jakarta, Jumat (28/6/2019).

Selain itu, infrastruktur yang mendukung sektor pertanian khususnya tebu diharapkan dapat ditingkatkan. "Irigasi diperbaiki, itu harusnya hal-hal yang dipersiapkan dengan baik," ujar dia.

"Belum lagi ketika sudah panen, petani tidak memiliki kepastian. Ini yang pada akhirnya membuat petani frustasi," imbuhnya.

Atas dasar itu, dia berharap nantinya Jokowi dapat melakukan berbagai kebijakan yang mendukung tumbuh kembang pertanian tebu dalam. Selain itu, memilih para 'pembantu' alias menteri yang mampu menjalankan ide-ide presiden demi kepentingan masyarakat.

"Saya berharap Pak Jokowi nantinya akan bisa mengangkat menteri-menteri yang dalam mengambil kebijakan adalah Menteri yang benar-benar bisa melakukan kebijakan yang memang untuk kepentingan rakyat," tandasnya.

 

Reporter: Wilfridus Setu Embu

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini


Cerita Industri Gula Tanah Air

Aktivitas petani tebu di Desa Betet, Pesantren, Kediri, Jatim pada akhir September lalu. Bulog hanya membeli sekitar 100 ribu ton, sehingga sebagian petani terpaksa menjual gula dengan harga di bawah Rp 9.000 per Kg. (Merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Sebelumnya, Ketua Umum Dewan Pembina DPP Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) HM Arum Sabil mengeluhkan kondisi industri gula yang saat ini menunjukkan penurunan kinerja. Salah satu bukti yakni jumlah produksi gula yang menurut dia mengalami penurunan.

Dia menuturkan, berdasarkan catatan sejarah, industri gula telah menjadi industri tertua dan unggulan sejak jaman kolonialisme. Pada era sebelum Perang Dunia II tahun 1930-1940, pulau Jawa menjadi salah satu penghasil gula terbesar di dunia, sekaligus sebagai pengekspor gula terbesar kedua setelah Kuba.

Pada waktu itu, pabrik gula di Indonesia bisa menghasilkan hingga 3 juta ton per tahun dengan luas areal lahan tebu sebesar 200.000 hektare.

"Kita kejayaan luas area tebu 200 ribu hektare produksi 2,9 juta ton hampir 3 juta ton. Tahun 1930. Waktu itu dikenal pengekspor terbesar kedua setelah Kuba," ungkapnya, dalam diskusi di Jakarta, Jumat (28/6/2019).

Hal ini berbanding terbalik dengan apa yang saat ini sedang berjalan. Saat ini luas lahan tebu sekitar 400.000 hektare. Namun produksi gulanya malah turun. Diketahui pada tahun 2018 capaian produksi gula nasional mencapai 2,1 juta ton.

"Di zaman modern luas areal kita berkurang. Tiga tahun kalau 470.000 ha bisa 500.000 ha. tiga tahun belakangan ini jadi luas 400.000 ha, berkurang hampir 70.000 ha," ujar dia.

Pada waktu itu, pabrik gula di Indonesia bisa menghasilkan hingga 3 juta ton per tahun dengan luas areal lahan tebu sebesar 200.000 hektare.

"Kita kejayaan luas area tebu 200 ribu hektare produksi 2,9 juta ton hampir 3 juta ton. Tahun 1930. Waktu itu dikenal pengekspor terbesar kedua setelah Kuba," ungkapnya, dalam diskusi di Jakarta, Jumat (28/6/2019).

Hal ini berbanding terbalik dengan apa yang saat ini sedang berjalan. Saat ini luas lahan tebu sekitar 400.000 hektare. Namun produksi gulanya malah turun. Diketahui pada tahun 2018 capaian produksi gula nasional mencapai 2,1 juta ton.

"Di zaman modern luas areal kita berkurang. Tiga tahun kalau 470.000 ha bisa 500.000 ha. tiga tahun belakangan ini jadi luas 400.000 ha, berkurang hampir 70.000 ha," ujar dia.

 


Sinergi Kebijakan

Aktivitas petani tebu di Desa Betet, Jatim September lalu. Rembesan gula rafinasi tahun 2018 sebesar 800 ribu ton, produksi gula konsumsi tahun 2018 sebesar 2,1 juta ton, impor gula konsumsi tahun 2018 sebanyak 1,2 juta ton. (Merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Sebelumnya, Dia membeberkan sejumlah faktor yang menyebabkan turunnya industri gula di Tanah Air. Salah satunya disebabkan belum sinergisnya kebijakan pemerintah dengan arah pemberdayaan pertanian tebu.

"Karena tampaknya tidak ada sinergi kebijakan pemerintah dengan arah bagaimana pemberdayaan pertanian. Dan pertanian tebu belakang ini tidak memiliki nilai ekonomi bagi petani sehingga semangat menanam tebu menjadi runtuh. Itu yang buat luas lahan menurun," tandasnya.

Selain itu masalah efisiensi pabrik tebu juga menjadi faktor turunnya industri gula Tanah Air. "Kenapa pada tahun 1930 itu luas 200 ribu ha tapi bisa menghasilkan 3 juta ton? Karena waktu itu punya efisiensi yang sangat tinggi. Rendemennya 12-14 persen," kata dia.

Faktor berikut yang dia sebut menjadi penyebab, yakni tidak berkembang lembaga riset dan penelitian. Padahal lembaga riset menjadi ujung tombak yang menghasilkan varietas-varietas tebu unggul.

"Saat ini walaupun areal hampir 2 kali lipat, yang terjadi saat ini krisis variasi unggul. Lembaga riset seperti Pusat Penelitian Gula Indonesia di Pasuruan, varietas tebu sampai hampir di atas 5.000 tidak dikelola karena para peneliti dibiarkan terlantar, karena sibuk dengan urusan ekonominya dan lembaga riset ini dibiarkan merana," jelasnya.

"Padahal kita tahu negara-negara produsen gula terbesar di dunia, bisa memiliki daya saing dan maju karena penelitian dan lembaga riset dijadikan garda terdepan," imbuhnya.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya