Liputan6.com, Tripoli - Komandan pasukan Libya yang beroposisi, Jenderal Khalifa Haftar, memerintahkan anak buahnya untuk menembak kapal dan 'berbagai kepentingan lain' milik Turki yang masuk atau berada di sejumlah wilayah di Libya.
Perintah itu --yang diumumkan pada Jumat 28 Juni 2019-- datang setelah Ankara mengumumkan dukungannya terhadap lawan Jenderal Haftar; pasukan Government of National Accord (GNA) alias pemerintahan Libya pimpinan PM Fayez al-Sarraj yang diakui internasional.
Rangkaian konflik berlarut antara Libyan National Army (LNA) pimpinan Haftar dengan seterunya tengah berada pada salah satu titik terpanas, setelah GNA merebut kota Gharyan di selatan dari LNA pada Rabu 19 Juni lalu.
"Perintah telah diberikan kepada angkatan udara (LNA) untuk menembak kapal Turki yang masuk ke perairan Libya," kata juru bicara untuk Haftar, Ahmed al-Mismari pada Jumat lalu, dilansir Al Jazeera, Minggu (30/6/2019).
Baca Juga
Advertisement
Mismari menambahkan bahwa "fasilitas strategis, perusahaan dan proyek milik Turki di Libya juga dianggap sebagai target terlegitimasi bagi pasukan bersenjata (LNA)."
Jenderal Haftar juga mengumumkan pelarangan pesawat terbang komersial dari Libya ke Turki.
"Warga negara Turki di teritorial Libya akan ditangkap," lanjut Mismari.
Turki telah memasok drone dan truk untuk pasukan GNA.
Namun, LNA bukan tanpa dukungan asing. Sejumlah diplomat menduga bahwa pasukan pimpinan Haftar itu telah menerima dukungan dari Prancis, Uni Emirat Arab dan Mesir --Al Jazeera melaporkan.
LNA, yang bersekutu dengan pemerintah paralel di timur yang berbasis di Benghazi, telah gagal untuk mengambil Ibu Kota Tripoli dari tangan GNA sejak konflik bersenjata pecah beberapa bulan lalu.
Tetapi, LNA memiliki superioritas udara dan telah beberapa kali menyerang bandara internasional Tripoli, Libya yang rutin beroperasi.
Pertempuran di Gharyan
Penangkapan Gharyan ke tangan GNA pekan ini telah dipandang sebagai kemunduran besar bagi pasukan Jenderal Khalifa Haftar dan kampanye mereka untuk merebut ibukota.
Juru bicara untuk Haftar, Ahmed al-Mismari mengatakan pasukannya telah kehilangan 43 tentara dalam pertempuran di kota selatan Libya itu.
Di sisi lain, Ahmed Milad, seorang pejuang pro-GNA, mengatakan kepada Al Jazeera: "Kami berkoordinasi dengan sesama pejuang kami di dalam kota (Gharyan) bersama dengan komando militer wilayah barat untuk mengatur serangan."
"Sejatinya butuh waktu berminggu-minggu, tetapi kota itu berhasil jatuh ke tangan kami dalam waktu sekitar tujuh jam."
Advertisement
Jejak Senjata dari Negara Asing
Setelah pertempuran itu, pasukan GNA mengatakan mereka menemukan berpeti-peti rudal buatan AS di pangkalan LNA di Gharyan.
Setelah penangkapan Gharyan, GNA memamerkan puluhan rudal anti-tank yang mereka klaim sebagai buatan AS dan dipasok oleh Uni Emirat Arab (UEA) --Al Jazeera melaporkan.
Penanda pada kontainer pengiriman rudal menunjukkan bahwa mereka pada awalnya dijual dari AS ke UEA --salah satu sekutu dekat Amerika di jazirah Arab-- pada 2008.
Jika UEA memang menyediakan senjata, itu kemungkinan akan menjadi sebuah pelanggaran perjanjian penjualan senjata dengan AS, serta berpotensi memicu embargo PBB.
Aturannya adalah bahwa jika AS menjual senjata ke UEA atau ke negara lain, UEA tidak akan diizinkan untuk menjualnya kepada negara lain, apalagi negara atau entitas yang berada di bawah sanksi PBB.
Dalam hal ini, rupanya, seorang panglima perang yang juga di bawah sanksi PBB, yakni Jenderal Khalifa Haftar, memiliki senjata buatan AS.
Seorang juru bicara Kementerian Luar Negeri AS mengatakan dalam sebuah pernyataan yang dikirim ke Al Jazeera: "Kami menanggapi semua dugaan penyalahgunaan aset pertahanan asal AS dengan sangat serius."
Pernyataan itu menambahkan: "Kami mengetahui laporan ini dan kami mencari informasi tambahan. Kami mengharapkan semua penerima peralatan pertahanan asal AS mematuhi peraturan dan kewajiban penggunaan."
Sementara itu, belum ada tanggapan langsung dari pihak Jenderal Khalifa Haftar mengenai senjata-senjata tersebut.
Sekilas Perang Saudara Libya
Libya telah dilanda konflik bersenjata sejak penggulingan mantan pemimpinnya, Kolonel Moammar Gaddafi. Lusinan milisi beroperasi di negara ini.
Namun, sejak beberapa waktu terakhir, milisi itu terbelah ke dua kubu: bersekutu dengan GNA yang diakui PBB; atau berkoalisi dengan LNA pimpinan Jenderal Haftar, seorang anti-Islamis yang memiliki dukungan dari Mesir dan Uni Emirat Arab, serta kuat di Libya timur.
Jenderal Haftar membantu Kolonel Gaddafi merebut kekuasaan pada tahun 1969 sebelum jatuh bersamanya dan pergi ke pengasingan di Amerika Serikat. Dia kembali pada tahun 2011 setelah pemberontakan melawan Gaddafi dimulai dan menjadi komandan pemberontak.
Pemerintah persatuan alias GNA dibentuk pada perundingan pada tahun 2015, tetapi Jenderal Haftar telah berjuang untuk menegaskan kontrol nasional.
Di sisi lain, Perdana Menteri Fayez al-Serraj mengatakan bahwa ia akan mempertahankan mandat kekuasaan atas GNA yang dipercayakan kepadanya.
Serraj mengklaim bahwa ia telah menawarkan konsesi kepada Jenderal Haftar untuk menghindari pertumpahan darah, namun kemudian "ditusuk dari belakang".
Haftar, yang berusia 75 tahun, telah menggambarkan dirinya sebagai satu-satunya solusi untuk ketidakstabilan Libya, tetapi banyak pihak di negara itu khawatir dia bisa mencoba untuk mengembalikan kekuasaan otoriter.
Advertisement