Idris Laena Sebut Demokrasi Pancasila Tidak Mengenal Istilah Oposisi

Pancasila sebagai dasar negara selama ini telah diakui bersama sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia dan telah menjelaskan dengan gamblang melalui sila ke empat.

oleh Gilar Ramdhani diperbarui 30 Jun 2019, 14:16 WIB
Sekretaris Fraksi Golkar MPR RI, Idris Laena.

Liputan6.com, Jakarta Sekretaris Fraksi Golkar MPR RI, Idris Laena mengatakan Pancasila sebagai dasar negara selama ini telah diakui bersama sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia dan telah menjelaskan dengan gamblang melalui sila ke empat.

“Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/Perwakilan” yang bermakna, bahwa semua proses pengambilan kebijakan, selalu mengedepankan musyawarah untuk mufakat. Dan jika musyawarah tidak tercapai barulah opsi pengambilan keputusan diambil melalui voting oleh perwakilan yang ada di legislatif. Karena itulah, selama Orde baru praktek ini dilaksanakan termasuk memilih presiden dan menetapkan haluan negara, yang kita kenal dengan istilah GBHN. Sehingga presiden disebut mandataris MPR," kata Idris Laena.

Namun "Reformasi" pada tahun 1998, menuntut reformasi di segala bidang, termasuk Reformasi Hukum dan Demokrasi. Presiden tidak lagi dipilih oleh Anggota MPR, melainkan dipilih lansung oleh Rakyat.

"Pada kenyataannya, hasil amandemen konstitusi membuat kita tidak lagi mengenal lembaga tertinggi negara yaitu MPR. Namun pada hakekatnya Presiden, MPR, DPR, DPD dan (beberapa lembaga tinggi negara) memiliki kedudukan yang sama. Sehingga tidak bisa saling mengintervensi antara satu dengan yang lainnya," ujarnya.

Lebih lanjut, Idris Laena mengatakan pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat bermakna ingin memberi legitimasi yang kuat kepada presiden dan wapres. Namun setelah pilpres dilaksanakan, siapapun peserta kontestasi, maka seyogyanya harus legowo mendukung presiden dan wakil presiden terpilih, untuk dapat menjalankan Pemerintahannya selama lima tahun ke depan.

"Sesuai amanat yang tersirat dalam PANCASILA (khususnya sila keempat), dan UUD NRI Tahun 1945. Karena keduanya tidak memberi ruang dan tidak mengatur tentang adanya istilah opisisi," ujar Idris Laena.

Bagaimana fungsi Chek and Balances?

Idris Laena menjelaskan bahwa di Indonesia menganut sistem presidensial yang berarti bahwa presiden terpilih meskipun dipilih oleh mayoritas rakyat. Namun tetap dapat dikontrol oleh legislatif dari fraksi-fraksi yang ada di parlemen, baik yang tergabung dalam koalisi ataupun yang tidak masuk dalam koalisi pendukung.

"Koalisi dibentuk sebagai syarat dukungan untuk mengusung capres/cawapres pada pilpres namun tidak selalu bersifat permanen karena juga tidak diatur dalam konstitusi. Tetapi yang perlu dipahami bahwa tugas anggota legislatif sesuai amanah konstitusi yaitu melaksanakan fungsi pengawasan, penganggaran, dan legislasi," jelas Idris Laena.

Berdasarkan uraian tersebut, Idris Laena berpendapat bahwa jika undang-undang pemilu diubah, maka yang penting dipertimbangkan bahwa peserta kontestasi pilpres tidak perlu hanya diikuti dua pasangan. Termasuk tidak perlu diadakan dua putaran untuk menetapkan pemenang yang mendapatkan dukungan mayoritas.

"Semakin banyak peserta kontestasi, maka akan lebih baik dan cukup satu putaran yang memperoleh suara terbanyak langsung ditetapkan sebagai Presiden/Wakil Presiden terpilih," ujarnya. Hal tersebut, dikatakan Idris Laena untuk menghindari terbelahnya masyarakat, yang berpotensi merusak persatuan dan kesatuan Bangsa.

"Bukankah, demokrasi Pancasila mengajarkan bahwa siapapun yang menang, maka yang kalah harus mengakui dan mendukung meskipun tetap dapat mengkritisi di Parlemen. Sesuai sila :”Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat, kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan," tuturnya.

 

(*)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya