Liputan6.com, Malang - Tiamah duduk di tengah timbunan sampah kering. Tangannya cekatan memilah serpihan plastik dan kertas. Seluruh limbah itu bukan didapat dari rumah tangga atau industri biasa. Tapi sampah impor sisa produksi sebuah perusahaan yang berada di desanya.
Tiamah memilah sampah di depan rumahnya, di Dusun Krajan, Desa Gampingan, Kecamatan Pagak, Kabupaten Malang. Di desa ini, hampir di setiap pelataran rumah warga tampak timbunan sampah. Aktivitas memilah sampah impor seolah sebuah pemandangan biasa.
“Sampah ini semua ya dari luar negeri. Kami beli dari perusahaan seharga Rp 150 ribu per truk,” kata Tiamah, Kamis lalu.
Baca Juga
Advertisement
Timbunan sampah itu sebagian juga milik tetangganya. Hasil pemilahan tiap kertas, kardus, dan plastik dijual lagi ke pengepul seharga Rp 1.000 per kg. Sedang atom plastik atau sisa botol, produk kemasan serta produk lainnya dijual Rp 2.000 per kg.
Kadang – kadang Tiamah dan tetangganya tidak beruntung. Karena lebih banyak sampah yang tidak bisa dipilah alias tak bernilai. Sedangkan limbah sisanya biasanya dibeli seharga oleh usaha pembuatan gamping di desanya maupun desa tetangga seharga Rp 50 ribu.
“Dibuat bahan bakar pembuatan gamping. Ada juga yang dibakar begitu saja,” tutur Tiamah.
Sampah masih basah saat baru tiba di rumah-rumah penduduk. Tiap truk bisa memuat antara 3-4 ton sampah impor tersebut. Seluruhnya harus dijemur dulu. Bila musim hujan, lindi kerap mengalir dari sampah yang belum kering.
“Sebenarnya ya khawatir bisa berbahaya, kan itu dari luar negeri. Tapi alhamdulillah selama ini kami tidak pernah mengalami apapun,” ucap Tiamah.
Aktivitas pemilahan sampah bagi Tiamah dan tetangganya hanyalah pekerjaan sampingan. Ada beberapa warga setempat juga pernah bekerja di perusahaan itu. Sepengetahuan mereka, perusahaan mengambil bahan kertas sampah impor untuk didaur ulang.
Sampah Dibakar
Perusahaan yang dimaksud Tiamah dan tetangganya adalah PT Ekamas Fortuna, sebuah perusahaan kertas yang berdiri di Kecamatan Pagak, Malang, sejak puluhan tahun silam. Kamropi, salah satu pengepul sampah di Desa Gampingan juga melakoni hal serupa.
Selain menerima hasil pemilahan kiriman warga, ia juga membeli sampah dari PT Ekamas Fortuna juga senilai Rp 150 ribu per truk. Saban hari truk hilir mudik di gudangnya. Dalam satu bulan ia merogoh duit sebesar Rp 10 juta – Rp 15 juta untuk membeli dari perusahaan itu.
“Bisa puluhan ton yang saya beli, terus dibakar biar dapat sisa besi di dalamnya. Sisa abunya dipakai menimbun lahan milik saya,” ucap Kamropi.
Sampah kertas dan kardus yang diterimanya dari warga dijual kembali ke perusahaan tersebut. Sementara plastik dan atom plastik dikirim ke industri pengolahan plastik. Sedangkan besi dijual ke Sidoarjo dan Surabaya.
Hal senada dikatakan Kholifah, warga Dusun Krajan Desa Gampingan. Ia tidak hanya mengepul atom plastik hasil pemilahan tetangganya. Tapi juga membeli limbah plastik yang sudah kering seharga Rp 350 ribu per truk untuk bahan bakar tungku pembuatan gamping.
Kholifah memiliki usaha pembuatan gamping di Dusun Bekur, Desa Sumberejo. Di desa ini juga banyak usaha pemilahan sampah maupun pembuatan gamping. Sebuah desa yang berada tak jauh dari Desa Sumberejo.
“Butuh delapan truk sampah plastik kering untuk bakar gamping. Itu bisa memproduksi 12 ton batu gamping,” ucapnya.
Dahulu, bahan bakar gamping biasa menggunakan kayu maupun ban karet bekas. Tapi kedua bahan baku itu lebih sulit didapat. Sedangkan sampah plastik lebih mudah dan harganya lebih terjangkau.
“Tidak pernah ada masalah kesehatan, paling cuma gatal-gatal sebentar di tangan,” katanya.
Advertisement
Terselip Mata Uang Asing
Di antara timbunan sampah itu mudah menemukan merek dari berbagai produk baik itu makanan kemasan sampai perlengkapan mandi dari luar negeri. Misalnya Pasta Del Capitano, pasta gigi produksi Italia. Sant’Anna air kemasan juga berbasis di Italia serta merek lainnya.
Di antara warga kerap menemukan barang berharga mulai dari uang sampai perhiasan bercampur sampah. Tiamah pernah mendapat beberapa lembar dolar Singapura, Riyal Arab, Euro, Mark Jerman. Termasuk potongan gelang emas laku, dijual seharga Rp 550 ribu
“Suami saya pernah menemukan 500 Euro terselip di antara sampah, kondisinya masih bagus. Lha wong sampah dari luar negeri,” ujar Tiamah.
Kholifah juga pernah mendapatkan belasan dollar Amerika sampai potongan gelang kaki emas berbobot 20 gram. Tapi keberuntungan memperoleh barang berharga di antara sampah itu hanya sesekali terjadi saja.
“Kalau sudah rezeki ya bisa dapat bonus barang berharga di antara sampah itu,” ucap Kholifah.
Meski demikian, di balik temuan barang berharga itu warga tahu ada ancaman bahaya lainnya. Misalnya, tanaman sulit tumbuh subur lantaran limbah plastik ditanam ke tanah. Asap pembakaran sesekali juga mengganggu.
"Ya mau bagaimana lagi. Ini kan juga juga demi perekonomian dapur rumah," ujar Suwandi, salah seorang warga Gampingan.
Tidak Punya Pengolahan Limbah
PT Ekamas Fortuna membenarkan sampah yang ada di tangan warga berasal dari limbah produksi mereka. Sebab perusahaan tidak memiliki sistem pengolahan sendiri. Perusahaan membayar ongkos angkut ke rekanan untuk membuang limbah itu dan hanya mau bersih.
“Perusahaan hanya ingin tahu bersih. Kalau ada yang beli itu ulah sopir rekanan karena kami tidak memperjualbelikan,” ujar juru bicara PT Ekamas Fortuna, Mohammad Sugeng Abriyanto.
Menurut dia, perusahaan memiliki lahan sendiri untuk membuang limbah produksi perusahaan. Namun daya tampungnya tidak mencukupi. Karena itu pula, membayar rekanan mengangkut limbah produksi perusahaan. Tiap hari sedikitnya 20 truk rekanan hilir mudik.
“Untuk pengolahan limbah kami tidak punya. Kalau rekanan terserah armadanya mau buang ke mana,” ucap Sugeng.
Ia juga membantah ada ada impor limbah plastik dari luar negeri. Perusahaan hanya mengimpor limbah kertas dan kardus dari Jerman dan Jepang. Jika di dalamnya ada plastik, itu hanya solatip pengingat kardus – kardus tersebut.
“Bahan impor langsung masuk ke pengolahan dan dipilah sendiri untuk daur ulang. Yang tak bisa didaur ulang itu kami buang. Impor tiap tiga bulan sekali,” papar Sugeng.
Perusahaan telah mengantongi izin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Serta izin dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Sugeng menyebut kementerian juga menyatakan limbah impor itu bebas dari bahan berbahaya dan beracun (B3).
“Soal dampak lingkungan ya silakan prediksi sendiri. Prinsipnya kami tidak impor sampah plastik dan tidak memperjualbelikan limbah produksi,” kata Sugeng.
Kabid Pengolahan Sampah dan Limbah B3 Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Malang, Renung Rubiyataji mengatakan perusahaan harus punya sistem pengolahan limbah sendiri. Namun ia tidak tahu terkait limbah produksi PT Ekamas Fortuna.
“Limbah industri itu tanggungjawab perusahaan. Juga harus dilihat mengandung B3 atau tidak dan tidak boleh diperjualbelikan. Perizinannya kan langsung dari Kementerian LHK,” ujarnya.
Advertisement
Menolak Sampah Impor
Yayasan Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah atau Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) mencatat sampah impor menyerbu Indonesia sejak Januari 2018. Tepat setelah Tiongkok menghentikan impor sampah dari Inggris.
Beberapa negara di ASEAN seperti Malaysia dan Vietnam juga sudah menghentikan impor sampah. Ironisnya, Indonesia masih terus menerima tetap terbuka menjadi tempat pembuangan sampah dari berbagai belahan dunia.
“Amerika jadi pembuang sampah plastik terbesar ke Indonesia. Sampahnya beragam, ada limbah domestik bentuk produk kemasan sampai kantong plastik,” ujar Ketua Ecoton, Prigi Arisandi dalam sebuah diskusi di Malang akhir bulan lalu.
Investigasi Ecoton, ada pabrik kertas yang bahan bakunya impor dari luar negeri. Total ada 52 perusahaan dengan 12 perusahaan di antaranya berada di Jawa Timur. Namun, impor kertas itu turut disusupi sampah plastik secara ilegal.
“Berdasarkan data juga menunjukkan ada peningkatan impor limbah plastik di Indonesia,” tutur Prigi.
Data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2018 impor sampah plastik Indonesia mencapai 283.152 ton atau naik 141 persen. Jika dibandingkan dengan impor sampah plastik pada 2013 yang hanya sekitar 124.433 ton.
Melubernya sampah plastik impor itu berdampak buruh tidak hanya pda kesehatan masyarakat. Tapi juga pencemaran lingkungan. Sungai Brantas di Jawa Timur misalnya, turut andil mencemari plastik di laut.
Lindi atau air hasil timbunan sampah meresap ke tanah, mengancam kandungan air tanah. Plastik yang ditimbun di tanah juga sulit terurai selama puluhan tahun. Abu hasil pembakaran plastik turut berpotensi merusak unsur tanah.
“Negara lain banyak yang sudah mendeklarasikan menolak impor sampah, tapi Indonesia belum. Malah membuka diri untuk impor,” tegas Prigi.